Keesokan pagi nya, seperti biasa Gita akan mengunjungi kediaman Mirza. Gadis itu pergi seorang diri tanpa Bi Nur kali ini. Membuka pintu rumah Mirza dengan perlahan, Gita masuk ke dalamnya dan langsung menuju dapur. Hari ini perempuan itu bangun sedikit terlambat karena tadi malam ia tidak bisa tetidur sebab perutnya terasa nyeri. Hal seperti itu sudah biasa Gita alami jika dirinya sedang datang bulan. Apalagi hari pertama seperti saat ini, rasanya begitu menyakitkan Gita rasakan.
Dengan memegangi perutnya, Gita berjalan gemetaran. Sesekali gadis itu duduk berjongkok untuk menahan rasa sakitnya.
“Rasanya nyeri banget,” keluh perempuan itu.
Keringat dingin mengucur di seluruh wajahnya. Seharusnya Gita ingat untuk membawa obat pereda nyeri ketika datang ke kampung ini. Tetapi karena pergi mendadak ditambah kemarin perasaannya sangat kacau. Gita jadi melupakan hal penting tersebut.
Perempuan itu berusaha untuk berdiri dan melakukan pekerjaannya. Namun sayang, sekuat apa pun Gita menahan tetap saja ia tidak bisa. Sekali lagi, Gita merosot ke lantai.
*****
Di kamarnya, Mirza terbangun karena suara alarm yang menginterupsi tidurnya. Pria itu tidak langsung turun dari kasur, sejenak Mirza hanya duduk sambil memandangi cahaya mentari pagi yang memaksa masuk di sela jendela kamarnya.
Pria itu kemudian meregangkan otot tubuhnya yang terasa kaku akibat tidak banyak bergerak. Selama ia pindah ke kampung ini, Mirza sama sekali tidak ada kegiatan selain berkeliling kampung menggunakan motornya. Setelah rasa cukup, Mirza beranjak turun kemudian membuka langkah untuk pergi ke lantai dasar.
Suara sandal di setiap langkah kaki Mirza saat menapaki satu per satu anak tangga terdengar sangat jelas. Bahkan menggema di seluruh ruangan di sekitarnya. Hingga kakinya menyentuh anak tangga terakhir, Mirza menahan langkahnya. Terlebih dahulu Pria itu memeriksa lantai di sana, apakah basah kuyup seperti kemarin ataukah tidak. Setelah dipastikan lantai dalam keadaan kering. Mirza langsung melanjutkan langkahnya yang sempat tertahan.
Hanya dengan melihat sekilas, Mirza sudah tahu jika lantai tersebut belum di pel sama sekali. Pria itu sedikit bergumam. “Di mana dia?” ujarnya. Tentu saja ‘dia’ yang dimaksud olehnya adalah Gita.
Mata Mirza berkeliling mencari sosok itu, namun ia sama sekali tidak menemukan tanda-tanda kehadirannya.
Mengedikkan bahu. Mirza kemudian berkata, “Ah, pasti dia berhenti. Perempuan manja macam dia nggak akan betah bekerja seperti ini,” ucapnya seenak jidat.
Detik kemudian pria itu berjalan menuju dapur. Karena saat ini tenggorokannya begitu haus. Mirza perlu meminum sesuatu untuk membasahi tenggorokannya. Ketika dirinya berada di dapur, Mirza dibuat terkejut setengah mati karena melihat Gita yang tergeletak di sana.
“ASTAGA! Ngapain dia tiduran di sini,” racau nya tidak jelas. Padahal Mirza tahu betul jika Gita tidak sedang tiduran di sana melainkan perempuan itu sedang tidak sadarkan diri.
Tanpa berpikir panjang, Mirza segera merengkuh tubuh Gita untuk dibawa ke tempat yang lebih layak.
*****
Sekarang Gita telah berada di atas sofa. Beberapa saat lalu Mirza merebahkannya di atas sana. Tubuhnya pun sudah terbalut selimut. Wajahnya yang semula basah akan keringat, sekarang sudah kering seperti biasa. Semua itu Mirza yang melakukannya.
Cukup lama Gita tidak sadarkan diri. Hingga kesadarannya perlahan mulai kembali. Gita membuka kedua matanya dengan perlahan dan mendapati keberadaan Mirza di sampingnya. Pria itu duduk berjongkok dengan wajah yang ia tumpu dengan tangan.
“Akhirnya lo bangun juga. Gue pikir tadi lo pingsan sekalian tidur.”
Sungguh kalimat yang sama sekali tidak ingin Gita dengar disaat-saat seperti ini. Namun bukan Mirza namanya jika tidak membuat Gita kesal setengah mati setiap berhadapan dengannya. Selain karena memang sifatnya, Mirza juga sangat senang ketika melihat ekspresi Gita yang kesal karena ulahnya.
Gita sedikit mengerang. Perempuan itu juga menghela napas dengan kasar.
“Lo sakit?” tanya Mirza pada akhirnya.
Gita menggeleng lemah. Wajahnya kini semakin pucat akibat rasa sakit yang semakin menjadi-jadi.
“Lo yakin nggak sakit? Kalau sakit, lo boleh pulang. Kalau kenapa-napa, kan gue juga yang repot,” ucap Mirza.
Mendengar kata repot, Gita tiba-tiba berkeinginan untuk merepotkan pria bernama Mirza itu. Pria yang sangat menyebalkan dan suka berbicara semaunya.
Gita bangun dari posisi tidurnya. Memegangi perutnya yang benar-benar sakit, Gita memulai aksi balas dendam dengan memanfaatkan situasi yang ada.
“Ouch!” perempuan itu mengerang kesakitan, “Tuan, tolong aku.” Pintanya lirih.
Melihat Gita yang tiba-tiba mengerang. Mirza menjadi sedikit panik dari sebelumnya.
“Heh Gita. Lo kenapa?” tanyanya.
Gita masih mengerang. Tangannya meremas kuat selimut yang saat ini menutupi bagian bawah tubuhnya.
“Tuan, rasanya sakit sekali.” Gita kembali mengerang.
Kini Gita memindahkan tangannya, menggenggam kuat lengan Mirza. Semakin perempuan itu mengerang, semakin erat genggamannya di lengan Mirza.
“Lo kenapa sih?” Mirza yang semakin panik, berinisiatif untuk membawa Gita ke rumah Mantri terdekat. Karena saat ini mereka berada di kampung, hanya ada Mantri yang dapat menolong perempuan itu.
“Tuan, kamu mau membawaku ke mana?” tanya Gita ketika Mirza merengkuh kembali tubuhnya.
“Gue akan membawa lo ke Mantri terdekat.”
Sial! Gita terjebak dalam permainannya sendiri. Mirza akan mengetahui yang sebenarnya jika ia membawa Gita berobat ke Mantri.
Berusaha untuk turun dari gendongan Mirza, Gita nampak kalang kabut.
“Tidak perlu, Tuan,” cegah Gita, “Rasa sakitku sekarang berangsur mereda. Tuan tidak perlu membawaku berobat ke Mantri.”
Kedua alis Mirza saling bertaut. Matanya menelisik tingkah Gita yang sedikit aneh.
“Lo serius udah mendingan? Atau jangan-jangan dari awal memang lo nggak terlalu kesakitan. Dan lo hanya ingin mempermainkan gue?” sergah Mirza. Membuat Gita semakin kalang kabut.
“Ti..tidak, Tuan. Rasanya tadi memang sangat menyakitkan. Sekarang sudah sedikit mereda.” Gita menundukkan kepala, “Terima kasih atas kebaikan Tuan karena telah menolongku. Sekarang aku akan memasak sarapan untuk Tuan,” ucap Gita kemudian hendak berlalu menuju dapur.
“Nggak usah. Lo nggak perlu masak sarapan untuk gue.”
“Kenapa Tuan? Jika alasan Tuan memintaku untuk jangan memasak adalah karena makanan buatanku tidak enak. Maka Tuan tenang saja. Aku telah belajar cara mema—”
“Bukan itu. Gue cuman lagi nggak pengin sarapan,” tutur Mirza memotong kalimat Gita.
“Kalau begitu, setidaknya Tuan harus meminum sesuatu. Aku akan—”
Lagi-lagi Mirza memotong kalimat Gita. “Gue juga lagi nggak pengin minum teh.”
Menghela napas pelan, Gita sedikit kecewa. Padahal dirinya ingin sekali menunjukkan kemampuan memasak dan membuat teh hangat pada Mirza. Gadis itu ingin membungkam Mirza dengan aksinya. Agar pria itu tidak lagi membentak dan memarahi dirinya karena tidak bisa membuat secangkir teh hangat dengan benar.
“Gue akan antar lo pulang. Hari ini lo nggak perlu bekerja. Istirahat saja di rumah,” tukas Mirza sungguh-sungguh.
Nyatanya, melihat keadaan Gita yang sedang tidak enak badan seperti ini. Mirza menjadi tidak tega jika membiarkan perempuan itu tetap bekerja. Untuk itu ia menyarankan agar Gita pulang dan beristirahat saja di rumah.
*****