Setelah dipaksa oleh Mirza agar pulang saja ke rumah, akhirnya Gita tidak punya pilihan. Perempuan itu dibantu oleh Mirza untuk naik ke atas motor pria itu. Tangannya menggenggam erat tangan Mirza yang membantu dirinya.
“Pelan-pelan,” kata Mirza mengingatkan.
Ketika Gita sudah duduk di atas motornya, Mirza segera melajukan kendaraan tersebut menuju kediaman Bi Nur. Sedangkan di belakang, Gita merasa perutnya semakin sakit. Perempuan itu hampir mengerang kembali, membuat Mirza sedikit terkesiap.
“Heh, Gita. Lo baik-baik aja ‘kan di belakang sana?” tanya Mirza.
Gita mengangguk tanpa bersuara, memangnya Mirza akan tahu kalau dirinya menjawab dengan sebuah anggukan? Dasar perempuan itu.
“Gita ...,” panggil Mirza kembali, “Lo baik-baik aja ‘kan?” ujarnya mengulangi pertanyaan yang sama.
Masih tidak ada jawaban dari Gita. Membuat Mirza harus menepikan motornya untuk memeriksa sendiri keadaan perempuan itu. Setelah berada di sisi jalan, Mirza segera memutar badan menghadap ke belakang dan mendapati Gita yang tengah kesakitan dengan wajah penuh keringat.
“Lo sakit apa sih sebenarnya? Sampai pucat dan keringat dingin begitu?”
“Perutku sakit sekali, Tuan. Biasanya tidak sesakit hari ini,” sahut Gita menjelaskan.
“Pegangan! Gue antar secepatnya pulang ke rumah Bi Nur,” kata Mirza.
Motor Mirza kembali melaju. Tidak perlu waktu lama agar mereka sampai di kediaman Bi Nur. Pria itu segera membantu Gita turun dari motornya dan memapahnya untuk masuk ke dalam rumah.
Mirza langsung melayangkan ketukan pada pintu rumah Bi Nur. Namun cukup lama mereka menunggu, pintu tersebut tidak kunjung terbuka. Gita mendesah pelan, ia baru saja ingat jika Bi Nur pasti sedang pergi ke pasar.
“Lo nggak punya kunci rumahnya?” tanya Mirza, dijawab dengan sebuah gelengan kepala oleh Gita.
Mirza menatap perempuan di sampingnya itu. Menghela napas kemudian berkata, “Nggak ada pilihan lain. Kita harus kembali ke rumah gue. Nggak mungkin ‘kan lo mau di sini nunggu Bi Nur pulang dari pasar?”
Gita membalas tatapan Mirza. Berpikir, jika yang dikatakan Mirza adalah benar. Menunggu di sini hingga Bi Nur pulang dari pasar dengan kondisi seperti ini. Sangatlah tidak mungkin untuk Gita lakukan. Sekarang saja misalnya, perempuan itu hendak sekali jungkir balik karena perutnya sama sekali tidak nyaman.
“Apa tidak apa-apa seperti itu, Tuan?” tanya Gita.
*****
Gita dan Mirza telah kembali ke kediaman pria itu. Setelah mendapat izin dari Mirza untuk menggunakan kamar tamu yang terletak di lantai dasar. Gita segera masuk ke dalam sana dan menuju kasur. Perempuan itu meringkuk di atas sana. Tidak cukup dengan posisi tersebut, Gita juga membuat dirinya jungkir balik.
“Sakit sekali ya Tuhan,” erang Gita. Ia benar-benar kesakitan.
“Aku harus minum obat pereda nyeri datang bulan. Tapi di sini nggak ada apotik ‘kan? Astaga!” ujarnya kembali mengerang. Tangannya meremas perutnya yang nyeri.
Gita beranjak. Perempuan itu terus mengubah posisi agar tubuhnya nyaman. Mencari cara agar rasa sakit ini berkurang. Namun, rasa sakit tersebut tidak berkurang sedikit pun. Bahkan sekarang kakinya menjadi pegal karena ia terus menjungkir balikkan badannya.
Jika saja perempuan itu berada di rumahnya. Ia tidak akan sampai kesakitan seperti ini. Setidaknya jika Gita berada di rumah Bi Nur. Pastilah wanita tua itu merawatnya dengan begitu baik. Gita merangkak. Berusaha keluar dari kamar karena tenggorokannya terasa haus. Ketika dirinya berada di ambang pintu, tiba-tiba pintu terbuka karena seseorang mendorongnya dari luar.
‘Brak!’
Daun pintu membentur kepala Gita cukup keras. Sudahlah dirinya kesakitan sebab datang bulan, sekarang kepalanya pula terbentur pintu. Lengkap sudah penderitaan Gita pagi ini.
Gita meringis. Memindahkan tangannya yang memegang perut untuk mengusap kepalanya. Gita merasa sangat pusing. Ruangan ini tiba-tiba seperti berputar.
“Astaga! Lo ngapain lesehan di sana, Gita! Kejedot pintu kan lo jadinya,” tukas Mirza.
Gita tidak paham. Kenapa pria bernama Mirza ini senang sekali berbicara seenaknya. Dan selalu menghakimi Gita seolah-olah semua adalah salah perempuan itu. Jelas-jelas jika pria itu yang telah membuat kepala Gita membentur pintu. Tapi malah dirinya yang disalahkan.
“Aku ingin ke dapur, Tuan. Aku haus sekali,” sahut Gita lemas.
Segera Mirza membantu Gita berdiri. “Berdiri yang benar,” kata Mirza pada Gita.
“Rasanya kakiku lemas sekali, Tuan,” keluh Gita kemudian hampir merosot ke lantai jika Mirza tidak cepat tanggap menahan tubuhnya.
Merengkuh tubuh Gita ke dalam gendongannya. Mirza berniat memposisikan perempuan itu kembali ke kasur. “Lo diam aja di sini. Jangan merangkak ke mana-mana lagi. Biar gue yang ambilkan minum untuk lo,” ucap Mirza.
“Tapi Tuan ...,” Gita menangkap lengan Mirza, “Aku ingin pulang saja ke rumah Bi Nur,” lirihnya.
“Nanti gue antar lo pulang. Setelah Bi Nur kembali dari pasar,” sahut Mirza kemudian melepaskan genggaman tangan Gita pada lengannya. Pria itu kemudian berlalu.
-----
Mirza telah kembali dengan secangkir teh hangat untuk Gita. Pria itu menyerahkannya pada perempuan itu. “Nih, minum pelan-pelan,” ujarnya.
Gita menerima cangkir teh hangat yang Mirza berikan. Kemudian berkata, “Terima kasih, Tuan,” Gita meneguk dengan pelan teh beraroma melati itu. Hingga tiga tegukan, Gita berhenti meminumnya. Meletakkan cangkir teh tersebut di atas nakas.
Gita tidak kembali merebahkan tubuhnya. Perempuan itu duduk meringkuk. Membuat Mirza tidak nyaman melihatnya. Masih ada rasa sakit di raut wajah Gita. Mirza dapat melihatnya dengan sangat jelas. Jika perempuan itu berusaha menahan rasa sakit.
*****
[Kediaman Bi Nur]
Gita berbaring di atas kasur setelah Bi Nur memberikan sebuah kompres hangat pada perutnya. Meski tidak sepenuhnya menghilangkan rasa sakit. Setidaknya hal itu sungguh membantu meringankan rasa nyeri itu. Gita memejamkan kedua mata. Berusaha untuk beristirahat sejenak. Rasa sakit di kepalanya yang benjol sebab terbentur pintu kamar di kediaman Mirza, masih Gita rasakan hingga sekarang.
Sedikit mengerang, Gita sangat kesulitan untuk memejamkan mata. Perempuan itu meringis. Lalu memanggil Bi Nur dengan sedikit lirih.
Bi Nur datang sesaat setelah Gita memanggilnya. “Ada apa, Non?” tanya nya.
“Rasanya Gita enggak tahan, Bi. Kepala dan perut Gita rasanya sakit sekali,” keluhnya.
Bi Nur membuka langkah. Menipiskan jarak dengan Gita kemudian menyerahkan sesuatu. “Ini, Non. Obat untuk meredakan nyeri datang bulan.”
Gita bangun dari posisi tidur dengan tiba-tiba. Menerima dengan penuh syukur obat tersebut.
“Terima kasih banyak, Bi,” ucapnya dengan nada hampir putus asa.
Segera Gita meminum obat tersebut kemudian berbaring kembali di atas kasur.
“Kalau begitu, Bibi pamit dulu ya Non. Kalau ada apa-apa, Bibi ada di luar,” ucap Bi Nur kemudian mengundurkan diri.
Lima menit yang lalu ...,
Bi Nur bergegas menuju pintu sebab seseorang mengetuknya. Membuka pintu tersebut dan mendapati keberadaan Mirza di sana. Pria muda itu tersenyum kala matanya saling bertatapan dengan Bi Nur.
“Maaf, Bi. Saya hanya ingin memberikan ini,” cicit Mirza sembari menyerahkan sebuah plastik berisi obat pereda nyeri, “Berikan pada Gita. Dan jangan bilang jika saya yang memberikan.”
Bi Nur menerima dengan sungkan obat yang diberikan oleh Mirza. “Terima kasih, Tuan. Kebetulan di dalam kamar dia sangat kesakitan,” kata Bi Nur memberi tahu.
“Kalau begitu. Saya permisi dahulu, Bi ...,” ucap Mirza kemudian berlalu.