CHAPTER 6

1314 Kata
Gita benar-benar kesal sebab merasa dikerjai oleh Mirza. Sedari tadi perempuan itu hanya berdecak dan menggerutu. “Benar-benar menyebalkan!” tukasnya dengan raut wajah masam. Bi Nur menepuk pelan punggung Gita. Wanita tua itu kemudian berkata, “Sudahlah, Non. Lebih baik sekarang Non Gita makan siang dulu.” Sebuah senyuman hangat terbit dari bibirnya. Gita merasa emosinya sedikit mereda. “Bi Nur memang yang terbaik,” pujinya sembari mengangkat jempol. Detik kemudian mereka berdua berjalan masuk menuju dapur. Gita memposisikan Bi Nur duduk di atas kursi makan, sedangkan dirinya sibuk menyiapkan semua makanan yang telah dimasak oleh wanita tua itu. “Bibi duduk saja. Biar Gita yang menyiapkan semuanya.” “Tapi, Non—” “Sudahlah, Bi. Bibi duduk saja dengan tenang ya,” sanggah Gita. Selesai menyiapkan makanan, Gita ikut memposisikan diri di samping Bi Nur. Menyantap dengan nikmat makanan yang rasanya memang sangat nikmat di lidahnya sejak dulu. “Hmmm, Gita rindu masakan ini,” ujarnya kemudian semakin menikmati makanan tersebut. Tidak lama kemudian, samar-samar terdengar suara ketukan pintu di depan. Bi Nur beranjak berniat untuk memeriksa siapa yang telah datang. “Tunggu sebentar ya, Non. Bibi ke depan dulu,” ujarnya. Bi Nur berlalu. Membuka langkah menuju pintu depan. Ketika wanita tua itu membuka pintu, ia mendapati sosok Mirza berdiri dengan kedua tangan menjinjing plastik berisi  sayur dan buah. Mirza tersenyum simpul. Segera pria itu memberikan plastik tersebut kepada Bi Nur. “Ini untuk Bibi,” ujarnya. Menerima plastik buah dan sayur yang diberikan oleh Mirza, Bi Nur mengucapkan terimakasih yang tulus dari lubuk hatinya. Mirza memang biasa memberi Bi Nur hal-hal seperti ini. “Sama-sama, Bi,” sahut Mirza tersenyum, “Kalau begitu Mirza pamit dulu.” Ketika Mirza hendak membuka langkahnya, Bi Nur menahan lengan pria itu. “Kebetulan Bibi lagi makan siang bersama Non … ah maksud Bibi bersama Gita. Tuan Mirza pasti belum makan siang, kan? Ayo makan siang bersama di rumah Bibi.” Ajak Bi Nur. Mirza berpikir sejenak. Pria itu merasa tidak nyaman makan di rumah orang lain, untuk itu ia berniat menolak tawaran Bi Nur. Tapi ketika melihat wajah Bi Nur yang sangat tulus, Mirza mengurungkan niatnya, “Baiklah, kalau begitu.” ***** Gita sangat terkejut ketika Bi Nur masuk bersama dengan Mirza. Hampir saja perempuan itu menyemburkan semua makanan yang berada di dalam mulutnya. “Tuan Mirza akan ikut makan siang bersama kita,” kata Bi Nur membuka suara sebelum Gita bertanya. Gita mengangguk lemah. Nafsu makannya seketika melayang entah ke mana ketika melihat keberadaan Mirza. Memposisikan diri di samping Gita, Mirza duduk tanpa sungkan sama sekali. Sedangkan di sampingnya, Gita segera beranjak dari duduknya. “Mau ke mana lo?” tanya Mirza. Menatap Mirza yang juga tengah menatapnya, Gita menjawab, “Aku akan mengambilkan makanan untuk Tuan,” sahutnya. Mengerang dalam hati, Gita sangat kesal setiap kali harus menyebut Mirza dengan sebutan ‘Tuan’. “Ah, biar Bi Nur saja yang mengambilkan,” kata Bi Nur menyela. Wanita tua itu membuka langkah kemudian menyiapkan makanan untuk Mirza. Gita kembali memposisikan diri. Rasanya tidak ada kedamaian sama sekali suasana di sini. “Gerah sekali di sini,” kata Mirza sembari mengibaskan baju. Mirza tidak tahu saja jika ruangan itu telah diselimuti hawa amarah dari Gita. Makanya terasa sangat panas hingga membuatnya pengap. “Ini, Tuan, makanannya. Silahkan dinikmati.” Bi Nur menyerahkan piring berisi makanan pada Mirza. “Terimakasih, Bi,” sahut pria itu. Mirza dan Bi Nur mulai menyantap makanannya. Sedangkan Gita sama sekali tidak menyentuh makanannya kembali. Perempuan itu hanya menatapnya. “Kenapa lo nggak makan?” Mirza kembali menanyai Gita. Baru saja Gita hendak menjawab, pria itu malah membuka suara dan berbicara pada Bi Nur. Membuat Gita semakin kesal dan keinginan untuk melempar pria bernama Mirza itu ke Segitiga Bermuda saat itu juga. ‘Benar-benar pria menyebalkan!’ ucap Gita dalam hati. Sekarang ketiga orang itu telah selesai makan siang. Mirza berpamitan untuk mengundurkan diri. Sekali lagi pria itu mengucapkan banyak terima kasih kepada Bi Nur karena telah mengajaknya makan siang. “Sama-sama, Tuan. Hal ini bukan apa-apa,” sahut Bi Nur mengantar Mirza hingga ke depan pintu. ***** Gita yang masih berada di dapur, berusaha meredam amarah dan mengembalikan emosinya agar  normal seperti semula. Nyatanya, bertemu dengan Mirza selalu berhasil membuat hati Gita merasa sangat panas. Pria itu sangat berbakat membuat emosi seseorang melonjak hingga ke ambang batas. Bi Nur telah kembali selepas mengantar Mirza hingga ke depan. Wanita tua itu mendapati Gita yang duduk dengan wajah merengut. Lantas, membuatnya heran kemudian bertanya, “Non Gita, ada apa?” tanyanya. Terdengar suara helaan napas dari mulut perempuan itu. “Bi, kata Bibi kemarin bahwa Bibi bekerja untuk sementara saja ‘kan untuk pria itu? Kira-kira berapa lama waktu spesifiknya?” tanya Gita. Bi Nur mengedikkan bahu. Wanita tua itu juga tidak tahu berapa lama spesifiknya ia harus bekerja untuk Mirza. Yang Bi Nur tahu jika Mirza tidak akan lama menetap di kampung ini. “Semoga saja selesai tepat sebelum Gita kembali ke kota,” ujarnya penuh harap. “Kalau Non Gita merasa keberatan bekerja untuk Tuan Mirza, biar Bi Nur saja yang bekerja. Non Gita bisa mencari kegiatan lain selama di sini,” kata Bi Nur pada Gita. Gita menggelengkan kepalanya, meskipun sangat berat bekerja untuk Mirza. Gita lebih merasa berat hati jika membiarkan Bi Nur yang bekerja di sana. “BIar Gita saja yang bekerja untuknya. Tapi Gita minta diajarkan beberapa hal pada Bibi,” pinta perempuan itu. Tentu saja Gita harus belajar beberapa hal. Hal paling kecil yang harus Gita pelajari adalah cara mengepel lantai dengan benar dan cara membuat teh. Gita bercerita pada Bi Nur jika tadi pagi dia menyebabkan Mirza jatuh terpeleset sebab lantai yang basah kuyup. Perempuan itu juga menceritakan perihal nasi goreng buatannya yang terasa sangat asin. Dan tidak lupa pula Gita bercerita tentang teh buatannya yang terlalu kemanisan. Bi Nur sontak tertawa karena merasa geli. “Ya ampun, Non. Maafkan Bibi karen tertawa. Tapi menurut Bibi ini lucu sekali. Pasti Tuan Mirza sangat kesal karena hal itu,” ujarnya menebak. Gita semakin menghela napas, perempuan itu membenarkan kalimat Bi Nur barusan. “Ayolah, Bi. Ajarin Gita,” rengeknya, “Gita nggak mau besok-besok dibentak dan dimarahi dia lagi.” Bi Nur meredakan tawa, berganti dengan senyum simpul yang menghiasi bibirnya. “Baik, Non. Akan Bibi ajarkan. Sekarang berhubung kita masih berada di dapur, Bibi akan ajarkan cara membuat teh dulu, ya.” Gita mengangguk. Bi Nur meminta Gita untuk langsung praktek membuat teh dengan diawasi langsung olehnya. Sudah macam kursus saja padahal hanya membuat teh manis biasa. Setelah diajari langsung oleh Bi Nur, kini Gita paham jika membuat teh untuk Mirza hanya perlu memasukkan satu setengah sendok gula saja. Karena Mirza tidak terlalu menyukai makanan dan minuman manis. “Selanjutnya ajarkan Gita cara mengepel.” Pintanya pada Bi Nur. Dengan sangat senang hati Bi Nur mengajarkan Gita cara mengepel lantai dengan benar. Memberi tahu setiap step agar lantai tidak basah kuyup saat perempuan itu mengepel nanti. Gita mengangguk paham, kemudian berseru, “Ternyata mudah banget caranya,” ujarnya, “Kalau memasak sarapan dan makan siang?” Bi Nur sedikit berdeham. “Kalau memasak akan sedikit lebih sulit untuk Non Gita yang tidak terbiasa.” “Benar juga yang Bibi katakan,” sahutnya setuju. “Tapi Non Gita tenang saja. Untuk sementara Non Gita hanya perlu menguasai dua masakan, yaitu Nasi Goreng dan Ayam Lalapan. Karena kedua makanan itu adalah kesukaan Tuan Mirza.” “Oh ya?” Gita tersenyum lebar. Perempuan itu berpikir jika ia bisa mengatasi hal tersebut. Sedangkan di kediamannya, Mirza yang baru saja tiba langsung menghempas tubuhnya di atas sofa. Kedua matanya ia tutup, suara napasnya terdengar pelan dan tenang. Di dalam kepalanya terus berputar banyak hal. Di dalam hatinya telah bersarang sesuatu yang begitu menyesakkan. Tanpa seorang pun tahu, Mirza memikul sebuah rahasia dan masalah yang sangat besar ketika dirinya datang ke kampung ini. *****                
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN