Gita duduk di teras sembari menikmati pemandangan sore. Matanya terus memandangi pepohonan yang bergoyang. Hembusan angin sepoi yang menyentuh kulit Gita, membuatnya merasa bersyukur. Setidaknya ia masih bisa menikmati keindahan ini, walau hatinya sedang dirundung pilu. Ditemani secangkir teh hangat yang Bi Nur buatkan untuknya, Gita menikmati waktu santainya.
‘Apa kabar Andreas di sana?’
Pikiran itu terus berputar di kepala Gita. Meskipun dirinya telah bertekad, nyatanya melupakan seseorang tidak semudah yang Gita kira. Perasaan yang sudah tumbuh dan bersarang selama bertahun-tahun itu seakan enggan pergi dari hatinya. Jujur saja, Gita masih mengharapkan sebuah keajaiban datang menghampirinya.
Tanpa sadar, air mata telah jatuh dari ekor matanya. Gita merasa sesak dan sangat kesakitan kala kenangan tentang Andreas terputar begitu saja.
“Non Gita,” seru Bi Nur dengan nada khawatir. Wanita tua itu terkejut ketika mendapati Gita yang tiba-tiba menangis.
Gita membisu. Bibirnya bergetar sebab menahan agar tangisannya tidak pecah. Bi Nur tahu, alasan dibalik Gita menangis adalah karena pria itu—Andreas. Jika perempuan itu tiba-tiba bersikap seperti ini, sudah pasti karena menangisi sikap Andreas.
Bi Nur mengusap lembut punggung Gita. Memberi semangat untuk perempuan yang tengah bersedih itu. “Non ...,” panggil Bi Nur dengan suara lembut.
Gita menyeka wajahnya yang basah akan air mata. Kemudian menatap Bi Nur yang duduk di sampingnya. “Bi Nur ....” panggil Gita dengan begitu getir.
“Ingat tujuan Non Gita datang ke sini adalah untuk memulai kembali semuanya. Meskipun sulit, tapi Bibi tahu dan yakin jika Non Gita mampu melewati semuanya. Non Gita adalah wanita yang kuat. Selain itu, Non Gita juga cantik,”
Gita terkekeh pelan. Merasa geli dengan kalimat Bi Nur yang mengatakan dirinya cantik. “Apaan sih Bibi ini,” ujarnya.
“Nah, tersenyum seperti ini kan tambah cantik jadinya,” sahut Bi Nur ikut tersenyum.
Gita memaksakan kedua sudut bibirnya tersungging ke atas. Meski tidak sinkron dengan suasana hatinya sekarang, tetapi Gita berusaha untuk tersenyum di depan Bi Nur. Samar-samar Gita merasakan sebuah getaran yang berasal dari dalam saku celananya. Meraih benda pipih yang ia simpan di dalam sana, Gita mendapati sebuah panggilan dari Helen di sana.
Sebelum menjawab panggilan, Gita terlebih dahulu menormalkan suaranya dengan sedikit berdeham. Gita tidak ingin Helen tahu jika dirinya baru saja menangis. Gita tidak ingin Helen menjadi khawatir.
“Halo, Bu,” sapa Gita menjawab panggilan Helen.
Di seberang sana, Helen yang tengah duduk di dapur menjawab, “Halo, Gita. Bagaimana kabar kamu, Sayang?”
“Kabar Gita baik, Bu. Di sini sangat nyaman dan tenang,” sahutnya berbohong, “Ibu bagaimana?”
“Kabar Ibu baik, jika kamu juga baik. Di sini sangat sepi tidak ada kamu, Ta. Jangan lama-lama ya di sana,” pinta Helen. Wanita paruh baya itu memainkan sayur kangkung yang hendak ia masak.
“Iya, Bu. Gita tidak akan lama di sini. Secepatnya Gita akan pulang ke rumah,” kata Gita ramah.
“Besok, Ibu berencana akan menghampiri kamu di sana,” beritahu Helen, membuat Gita terkesiap dan sontak berdiri.
“JANGAN, BU!” ujarnya setengah berteriak. Detik kemudian perempuan itu menormalkan suaranya dan kembali berkata, “Ibu tidak perlu ke sini. Di sana saja tunggu Gita pulang.”
Meletakkan sayur kangkung yang berada di tangannya, Helen menjawab dengan heran. “Kenapa Ibu tidak boleh ke sana, Ta? Ada apa?” Helen sedikit menaruh curiga dengan tingkah Gita yang tidak biasa. Kenapa pula putrinya itu melarangnya datang ke sana, pikir Helen.
Gita menjadi kewalahan, bingung harus menjawab apa pertanyaan yang Helen lontarkan.
“Pokoknya, Ibu tidak perlu ke mari. Gita akan pulang secepatnya. Perjalanan ke sini jauh, nanti Ibu lelah.” Gita berdalih. Berharap dalam hati jika Helen akan menuruti ucapannya.
“Ya sudah, kalau begitu. Ibu tutup dulu ya, mau masak.”
Setelah mengucap kalimat cinta pada Helen, panggilan menegangkan tersebut akhirnya berakhir juga. Gita menghela napas lega sembari tangannya meletakkan handphone di atas meja.
*****
Senja telah menyingsing. Cahaya berwarna jingga itu menghiasi seluruh langit yang membuatnya nampak sangat indah. Gita masih setia menatap pemandangan itu. Mengabadikannya dalam hati sebagai penutup hari yang melelahkan ini.
“Non, ayo masuk ke dalam. Anak perawan tidak baik berada di luar saat senja seperti ini,” kata Bi Nur.
Gita menatap ke arah Bi Nur yang berdiri di ambang pintu. Baru kali ini Gita mendengar gagasan seperti itu. “Kenapa, Bi?” tanyanya.
“Pokoknya tidak baik, Non. Ayo masuk ke dalam rumah segera.”
Gita membuka langkah untuk masuk ke dalam rumah. Perempuan itu membuntuti Bi Nur, merengek pada wanita tua itu agar memberi tahu alasan ‘kenapa anak perawan tidak boleh berada di luar saat senja’.
Bi Nur menahan langkahnya, kemudian mengajak Gita duduk di sofa. Wanita tua berusia hampir 60 tahun itu sangat kental dengan kebiasaan dan pemahaman orang tua zaman dulu. Bi Nur menjelaskan pada Gita, jika senja seperti saat ini akan ada makhluk halus yang berkeliaran.
Gita merasakan bulu halus di tubuhnya berdiri karena merinding. Kisah Bi Nur yang menyinggung makhluk tak kasat mata sukses memicu adrenalin Gita.
‘Tok Tok Tok’
Suara pintu yang diketuk membuat Gita terkesiap. Perempuan itu menahan lengan Bi Nur yang terlihat hendak beranjak. Gita menggeleng, matanya menatap Bi Nur dengan rasa khawatir.
“Jangan dibuka, Bi,” ujarnya.
Bi Nur menahan langkah, bersiap untuk memposisikan kembali dirinya di atas sofa. Namun suara ketukan pintu terdengar kembali. Membuat Gita semakin menegang dan bersembunyi di balik tubuh Bi Nur.
Bi Nur beranjak dari duduknya. Kemudian menatap Gita yang nampak ketakutan. “Non, Bibi akan periksa,” kata wanita tua itu. Ia membuka langkah menuju pintu dan membukanya.
“Tuan Mirza?”
Gita langsung membetulkan posisi ketika indra pendengarannya menangkap nama Mirza. “Jadi, dia setannya,” cicit perempuan itu. Hampir saja ia menggigil ketakutan sebab suara ketukan tersebut, “Lagian, kenapa dia nggak membuka suara, sih? Dan yang paling penting ada kepentingan apa dia datang ke mari saat senja begini?” decaknya sebal.
Gita tidak menghampiri Mirza yang berdiri di luar pintu. Ia sengaja tetap duduk di sofa menunggu Bi Nur kembali duduk. Menyimak dengan seksama percakapan dua orang tersebut.
“Baik, Tuan ... Bibi mengerti,” kata Bi Nur begitu sopan.
Setelah Mirza pamit, Bi Nur kembali masuk ke dalam dan menghampiri Gita yang duduk menunggu. Perempuan itu langsung melontarkan pertaanyaan pada Bi Nur. Ada hal apa Mirza datang ke mari pada jam segini.
“Ah, Tuan Mirza—”
Gita mengangkat tangan kanannya. Menyanggah kalimat Bi Nur yang menyebut kata ‘Tuan’. “Bi, tolong jangan panggil dia ‘Tuan’ ketika hanya ada kita berdua. Oke?” Bi Nur mengangguk.
“Jadi, dia datang ke mari karena memberi tahu jika besok dia akan ke Jakarta.”
Gita bersorak senang. Tangannya yang terkepal ia angkat tinggi-tinggi. “YES! Besok aku akan bebas dari pria menyebalkan,” tukasnya senang.
“Tapi, Non Gita harus tetap bekerja untuk membersihkan rumahnya. Dan dia juga minta agar Non Gita tinggal di sana sementara dia di Jakarta.”
Gita mengangguk paham. “Oke, bukan masalah besar untuk Gita lakukan,” sahutnya.
*****
Keesokan paginya ...,
Gita datang ke kediaman Mirza yang telah kosong. Pria itu sudah berangkat sepuluh menit yang lalu. Gita merasakan kebebasan ketika dirinya berada di rumah ini. Sendirian, tidak ada Mirza yang akan mengomelinya. Dan tidak akan ada Mirza yang memerintahkannya untuk mengerjakan ini dan itu.
Gita menari dan berputar-putar dengan bebas. Tanpa ia tahu, jika Mirza tengah memperhatikannya melalui rekaman CCTV yang dapat ia lihat secara langsung karena benda tersebut telah terhubung dengan ponsel pintarnya.
Mirza tertawa geli ketika melihat tingkah Gita yang sangat konyol. Hingga detik kemudian tawa dari bibirnya luntur bersamaan dengan Gita yang tiba-tiba merosot ke lantai dan menutupi wajahnya dengan telapak tangan.
“Ada apa dengannya?” Mirza bergumam.
“Ada apa, Tuan? Apa terjadi sesuatu?” tanya Leon.
“Ah, tidak apa-apa. Jalan saja terus dan jangan hiraukan aku,” sahut Mirza. Matanya tetap memperhatikan layar ponsel.
Gita yang tadinya begitu senang. Tiba-tiba teringat kenangan saat dirinya menari seperti ini bersama dengan Andreas. Membuat perempuan itu harus merasakan pedih dan menangis untuk memulai hari.
“SIAL! Kenapa aku terus mengingat pria b******k itu,” umpat Gita begitu kesal.
Ia mengacak rambut frustasi. Tidak berapa lama, ia segera menyeka air mata di pipinya.
Gita beranjak, membuka langkah menuju gudang. Mengambil sapu dan alat pel. Perempuan itu mulai mengerjakan tugasnya untuk membersihkan rumah yang sangat besar ini. Karena tidak ada Mirza, Gita jadi tidak harus memasak sarapan. Perempuan itu merasa terselamatkan. Hingga sekarang, memasak adalah kelemahan Gita dalam menjalankan tugas sebagai seorang asisten rumah tangga.
Selesai mengepel lantai di seluruh ruangan. Termasuk kamar Mirza yang memang sengaja dibiarkan terbuka oleh pria itu. Gita merasa sedikit kelelahan. Perempuan itu merebahkan tubuhnya di atas kasur sang Tuan rumah.
“Mirza pasti marah jika tahu aku berbaring di atas tempat tidurnya,” kata Gita terkekeh. Perempuan itu masih tidak sadar jika ada kamera CCTV yang selalu mengintai setiap gerak-geriknya.
Karena terlalu nyaman tiduran di atas tempat tidur Mirza. Tempat paling empuk yang sudah beberapa hari tidak Gita rasakan sejak menginap di rumah Bi Nur. Perempuan itu tertidur di atas sana. Begitu nyaman dan nyenyak. Tidak ada yang mengganggunya hingga ia terkesiap dan segera bangun dari sana.
“Astaga. Aku ketiduran,” ucapnya kemudian beranjak keluar kamar.
Langkah kaki Gita yang menuruni satu persatu anak tangga terdengar begitu menggema. Karena di rumah ini hanya ada dirinya seorang diri. Hingga langkah kaki pun terdengar sangat jelas.
“Apa dia nggak kesepian ya di rumah ini seorang diri?” cicit Gita. Membayangkan Mirza yang setiap hari tinggal sendirian di dalam rumah yang begitu kosong ini.
*****
Tidak ada yang bisa Gita lakukan di dalam rumah ini. Seluruh pekerjaan telah Gita kerjakan. Perempuan itu meraih benda pipih miliknya untuk membunuh waktu yang tersisa.
“Malam masih lama, apalagi pagi,” erang Gita ketika mendapati jam yang masih menunjukkan pukul sebelas.
Gita membuka sosial media stargram yang beberapa hari tidak ia buka. Mengintip pemberitahuan dan pesan masuk yang dikirimkan oleh beberapa temannya. Mata Gita membola ketika melihat isi pesan yang dikirim oleh salah satu teman sekolahnya.
Tangan Gita seketika bergetar dan menjatuhkan handphone yang saat ini ia genggam. Pesan yang berisi pertanyaan mengapa perempuan itu tidak jadi menikah, padahal semuanya telah disiapkan dengan begitu matang.
Gita sedikit berdecih. “Apa tidak ada hal lain yang bisa dia bicarakan. Kenapa harus membahas hal itu?” cicit Gita berusaha tegar dan tidak terkecoh dengan kalimat tersebut. Namun air mata seakan tidak bisa menutupi segalanya. Bulir bening itu kembali menetes di kedua sudut mata Gita.
“Sial, aku jadi menangis terus karena hal yang bersangkutan dengannya ataupun karena namanya.”
*****