CHAPTER 4

2005 Kata
Gita langsung membuntuti Bi Nur masuk ke dalam rumah. Gadis itu sangat penasaran kenapa Bi Nur memanggil Mirza dengan sebutan Tuan. "Bi, pria yang berbicara dengan Bibi tadi itu siapa?" "Itu Non, dia Tuan Mirza. Dua minggu ini Bibi bekerja di rumahnya untuk bantu bersih-bersih dan masak." Mata Gita hampir melotot keluar. "Bibi bekerja lagi setelah memutuskan pensiun?" tanyanya tak terima. "Bibi bekerja di sana cuman sementara. Bibi nggak enak menolak, soalnya Pak Tanto meminta langsung pada Bibi untuk membantu Tuan Mirza." "Siapa lagi itu Pak Tanto?" Gita memijat pelipisnya. Gadis itu sangat tidak setuju jika Bi Nur bekerja lagi. Seharusnya wanita tua itu menikmati sisa harinya yang mungkin tidak banyak lagi. Bukannya malah bekerja. "Pak Tanto itu Juragan pemilik kebun teh di sini. Dia orang paling berpengaruh di kampung ini, Non." Bi Nur menjelaskan. Juragan kebun teh atau apalah statusnya, Gita tetap saja tidak setuju. Keluarganya saja meminta Bi Nur untuk pensiun supaya wanita tua itu tidak lelah bekerja lagi. "Gita nggak setuju Bibi bekerja lagi. Terlebih bekerja untuk orang gila itu." Sungut Gita. Mata Bi Nur mengerjap beberapa kali. Jadi orang gila yang Gita sebutkan sejak kemarin adalah Mirza. Gita tidak salah menilai, Bi Nur sendiri pun tahu bagaimana sifat pemuda itu. Laki-laki yang masih memiliki sifat kekanak-kanakan dalam dirinya, yang selalu ingin menang sendiri dan tidak mau disalahkan, dan yang paling minus adalah mulutnya yang selalu berbicara seenaknya. Bi Nur tersenyum simpul. Sedikit kekehan keluar dari mulut wanita tua itu. "Tapi dia orang baik, Non." Gita semakin terperangah. "Baik dari segi mananya? Jelas-jelas dia itu menyebalkan." Gita tidak terima Bi Nur menyebut Mirza adalah orang yang baik. Mengingat pertemuan mereka tidak menyenangkan, tentu saja Gita protes dengan pernyataan Bi Nur. Gita melipat tangannya di d**a. Jika Bi Nur bersikeras untuk bekerja dengan lelaki menyebalkan itu, Gita terpaksa harus menggantikan Bi Nur selama dirinya tinggal di sini. "Kalau begitu, biar Gita yang menggantikan Bibi bekerja di sana." "Tapi, Non---" "Tidak ada kata tapi, Bi." Sanggah Gita. Gita bersikeras untuk menggantikan Bi Nur bekerja dengan Mirza. Astaga yang benar saja. Memangnya dia bisa apa? Selama ini Gita itu hidup serba dilayani, masa tiba-tiba dia yang melayani seseorang. Membuat teh dan kopi saja dia masih tidak bisa. Bagaimana ia akan mampu mengatasi pekerjaan rumah tangga lainnya nanti? "Lagipula Gita perlu melakukan sesuatu untuk mengalihkan pikiran." Sambungnya lagi. Mendengar hal itu Bi Nur tidak bisa berkata-kata lagi. Gita sudah mengeluarkan kartu Joker nya. Mana mungkin wanita tua itu tega untuk tidak mengizinkan setelah apa yang Gita ucapkan. "Ya sudah. Kalau itu kemauan Non Gita." Gita tersenyum puas. Lengannya merentang meminta Bi Nur memeluk dirinya. "Jadi, kapan Gita mulai bekerja?" Tanya Gita antusias. Dia tidak tahu saja betapa sulitnya bekerja untuk Mirza. "Besok, pagi-pagi sekali." Bi Nur menjelaskan apa saja yang harus Gita lakukan untuk memulai pekerjaannya. Yaitu dengan memasak untuk sarapan kemudian dilanjutkan dengan merapikan dan membersihkan rumah. Gita juga harus mengecek cucian kotor di keranjang kemudian mencucinya dengan benar dan sampai bersih. Iya, dengan benar! Benar dalam menjalankan setiap step yang sudah Mirza tentukan. Intinya pekerjaan Gita nanti adalah mengurus hidup Mirza. ***** Malam mulai larut. Suara jangkrik yang biasanya tidak pernah Gita dengar sebelumnya, kini bagai alunan lagu pengantar tidur untuknya. Gita merasa tenang dan damai. Mata perempuan itu masih belum terpejam. Ia masih menatap langit-langit kamar yang terbuat dari anyaman bambu. "Tenang sekali di sini. Selamat tidur, Gita. Semoga besok adalah hari yang menyenangkan untukmu!" Perempuan itu memejamkan kedua matanya. Berusaha masuk ke dalam alam mimpi yang ia harapkan menjadi sesuatu hal yang indah. Di sini sangat dingin, bahkan tanpa penyejuk ruangan sekali pun. Gita harus menutupi tubuhnya dengan selimut yang ia bawa sendiri dari rumah. Malam pertama Gita di rumah Bi Nur. Perempuan itu tidak bisa tertidur sebab banyak nyamuk. "Astaga, nyamuk banget di sini!" Gita menepuk nyamuk yang hinggap di kulit badannya. Plakkk.. Plakkk... Suara tepukan itu terdengar nyaring dan beruntun. 'Tok Tok Tok!' Bi Nur mengetuk pintu kamar Gita. Wanita tua itu tidak sengaja mendengar sebuah suara yang berasal dari dalam bilik Gita. "Non Gita. Ada apa, Non?" tanya Bi Nur khawatir. Wanita tua itu berdiri di depan pintu. Gita membuka pintu kamar begitu mendengar suara Bi Nur memanggil namanya. "Bi, nyamuk banget di sini," keluh Gita sembari tangannya menggaruk tubuhnya yang gatal sebab digigit nyamuk. "Tunggu sebentar, Non. Bibi ambilkan kelambu saja biar Non Gita tidak kenyamukan." Wanita tua itu segera bergegas menuju kamarnya. Mengambil kelambu untuk Gita. ----- "Terima kasih, Bi. Sekarang Gita bisa tidur dengan nyenyak," ujar perempuan itu. Menutup tirai kelambu yang menggantung, Bi Nur mengucapkan selamat malam kepada Gita. "Besok akan Bibi bangunkan pagi-pagi sekali ya, Non. Karena Non Gita akan ke kediaman Tuan Mirza 'kan?" Gita menghela napas pelan. "Baik, Bi," sahutnya. Setelah kelambu terpasang, Gita benar-benar terhindar dari serangan nyamuk. Perempuan itu kini bisa tertidur nyenyak. ***** Keesokan paginya, Gita terbangun karena sentuhan lembut dari Bi Nur di lengannya. Perempuan itu berusaha membuka kedua matanya yang seperti di lem super. Begitu lengket hingga membuat Gita harus mengeluarkan sedikit usaha agar kedua mata itu terbuka. "Non, ayo cepat bangun. Sekarang waktunya untuk Non Gita ke rumah Tuan Mirza," ujar Bi Nur. Mengucek kedua matanya, Gita menyahut perkataan Bi Nur, "Harus sepagi ini ya, Bi? Gita masih ngantuk," ujarnya. Bi Nur tersenyum lembut. "Ya sudah, Non Gita tidur lagi saja. Biar Bi Nur yang ke sana," ujar wanita tua itu. Sesaat Bi Nur hendak membuka langkah, Gita bergegas bangun kemudian menangkap tangan wanita tua itu. Gita mencegahnya. "Biar Gita saja, Bi!" ujarnya. "Kalau begitu, cepat Non Gita mandi dulu. Baru setelah itu ke rumah Tuan Mirza." Gita mengangguk kemudian berjalan keluar kamar. Menuju kamar mandi yang terletak di ujung rumah yang tidak seberapa luas. Seperti pesan Bi Nur agar Gita tidak terlalu lama saat membersihkan diri. Supaya Gita sampai di kediaman Mirza tepat pada waktunya. Setelah selesai membersihkan diri. Gita berangkat ditemani oleh Bi Nur. Mereka berdua berjalan kaki menuju kediaman Mirza. Cukup jauh mereka berjalan hingga keduanya sampai di tempat tujuan. Rumah yang berdiri begitu megah di kampung kecil yang terletak di pinggiran kota. Rumah yang terawat begitu bersih dan rapi dari luar. Dan tanaman bunga yang berjejer rapi di pekarangan. Membuat Gita merasa senang saat melihatnya. "Non, ingat ya, hadapi Tuan Mirza dengan sabar," pesan Bi Nur. Gita tersenyum lebar. "Iya, Bi. Gita paham kok. Bibi sudah kasih tahu Gita tentang hal ini sepanjang jalan menuju ke sini," sahutnya. Setelah memberi wejangan kepada Gita. Bi Nur segera membuka pintu rumah Mirza. Karena wanita tua itu diberikan kunci cadangan agar bisa mengakses rumah itu pagi-pagi tanpa mengganggu waktu tidur sang tuan rumah. Gita dan Bi Nur melangkah menuju dapur. Bi Nur memberi tahu Gita jika dia harus membuatkan sarapan untuk Mirza. "Oke oke ... Gita tahu. Sekarang, Bibi pulang dan istirahat saja di rumah. Gita bisa mengatasi hal ini," ujarnya. "Tapi, Non--" Gita meletakkan telunjuknya di bibir, memotong kalimat Bi Nur yang hendak berbicara. "Sekarang, Bi Nur pulang saja ya. Percaya sama Gita," ujarnya begitu yakin. Bi Nur menghela napas pelan. "Ya sudah, kalau begitu Bibi akan pulang." Setelah berhasil membuat Bi Nur pulang ke rumah. Gita memandangi dapur yang begitu bersih dan rapi ini. Jika sebelumnya Gita sangat percaya diri bisa mengatasi pekerjaannya sebagai Asisten Rumah Tangga, sekarang perempuan itu hanya bisa menarik napas panjang. Nyatanya, Gita sama sekali tidak bisa melakukan semua itu. "Oke. Tinggal bikin sarapan untuknya." Gita memeriksa bahan makanan yang tersedia di dalam kulkas. Ada begitu banyak bahan makanan di sana. Dimulai dengan mengambil beberapa sayuran, ayam dan telur. Gita mulai memasak makanan untuk Mirza sarapan nanti. "Aku akan memasak nasi goreng spesial ala Gita," ujarnya sembari terkekeh. Gita memulai aksinya memasak nasi goreng. Perempuan itu berlagak seperti seorang chef yang sedang memasak. Begitu percaya diri bahkan sambil bernyanyi-nyanyi. "Tadaaa! Nasi goreng ala chef Gita sudah selesai," serunya bangga. Setelah menata rapi masakan yang ia olah di atas meja. Sekarang giliran Gita untuk membersihkan rumah yang sangat luas ini. "Kata Bi Nur, aku harus menyapu lantainya terlebih dahulu sebelum mengepel nya." Gita mulai menyapu lantai yang terbuat dari keramik. Tidak banyak debu dan kotoran ada di sana. Rumah ini benar-benar bersih. Selesai menyapu, Gita mengambil pel lantai untuk mengepel. Perempuan itu mengepel lantai hingga semua keramik yang ada menjadi basah kuyup. Di saat Gita asyik mengepel lantai di teras. Mirza telah bangun dari tidurnya. Dengan mata yang masih mengantuk, pria itu turun menuju lantai dasar untuk pergi sarapan. Ketika kakinya menginjak lantai dasar yang masih basah, pria itu tergelincir dan jatuh terlentang. "Ouchhh!" pekik Mirza karena punggungnya terasa sakit sebab terbentur lantai. Gita yang mendengar suara pekikan berasal dari dalam rumah, lantas berlari masuk ke dalam dan ikut tergelincir seperti Mirza. "Aduh!" pekik perempuan itu. Mirza menatap ke arah Gita yang terduduk di ambang pintu. Pria itu mendesis kesal. ----- Gita duduk menunduk di atas sofa. Di seberangnya ada Mirza yang duduk dengan kaki bersilang. "Jadi, mulai hari ini, lo yang menggantikan Bi Nur. Begitu?" tanya Mirza pada Gita. Gita mengangguk. Kepalanya masih ia tundukkan. "Gue nggak tahu kalau Bi Nur punya keponakan." 'Kenapa juga kamu harus tahu," batin Gita menyahut kalimat Mirza. "Gue nggak mau kalau lo yang gantiin Bi Nur! Belum apa-apa juga gue udah celaka karena lo," tukas Mirza seenak jidat. Membuat Gita meremas kuat jemarinya dan semakin menggerutu dalam hati. "Tolong biarkan aku bekerja di sini. Aku akan bekerja dengan baik dan tidak akan mengecewakan kamu," kata Gita meyakinkan. Mirza menatap Gita yang nampak bersungguh-sungguh ingin bekerja. Sebelum ia memutuskan akan menerima perempuan itu bekerja untuknya. "Oke, gue akan izinkan lo bekerja di sini. Jadi, siapa nama lo?" "Ah, namaku Gita." Mirza mengangguk, kemudian beranjak. "Gue pengin sarapan. Lo sudah bikin sarapan 'kan?" Gita mengangguk. Mirza membuka langkah menuju dapur. Memposisikan diri kemudian mengambil sendok untuk menyantap sarapannya. Ketika nasi goreng olahan Gita masuk ke dalam mulutnya, tidak lama kemudian nasi goreng itu menyembur keluar. "Astaga! makanan apa ini?" pekik Mirza kemudian mengambil air minum dan menenggaknya. "GITA!!!" Teriak Mirza memanggil nama perempuan yang mulai hari ini bekerja sebagai Asisten Rumah Tangga di kediamannya. Gita yang dipanggil dengan nada tidak biasa. Lantas berlari terbirit-b***t menghampiri tuan nya. "Ada apa, Tuan?" ujarnya, matanya menatap nasi goreng yang berhamburan di lantai. "Lo bisa masak nggak sih? Nasi goreng bikinan lo rasanya asin banget tahu nggak!" bentak Mirza, membuat Gita sedikit tersentak. "Ma..maaf, Tuan. Tapi aku yakin jika nasi gorengnya enak," sahut Gita percaya diri. Menyerahkan piring nasi goreng kepada Gita. Mirza meminta perempuan itu mencicipi langsung makanan yang diolahnya. Dengan sangat percaya diri, Gita menyuap nasi goreng itu. Ekspresi wajahnya seketika berubah sebab nasi goreng itu benar-benar terasa sangat asin di indra pengecapnya. Gita berlari menuju wastafel yang berada tidak jauh dari tempat ia berdiri. Memuntahkan semua nasi goreng yang ada dalam mulutnya ke dalam sana. Menyeka mulutnya, Gita berjalan menghampiri Mirza yang masih duduk. Perempuan itu menunduk, kemudian berkata, "Aku benar-benar minta maaf. Ternyata nasi goreng itu benar-benar asin." Mirza bergeming, menatap Gita yang menunduk dengan wajah lemas. "Kalau begitu. Bikinkan gue sarapan lagi. Roti selai dengan teh hangat. Gue tunggu di ruang tengah." Mirza berlalu ..., Gita menghela napas pelan. Segera ia membuat sarapan sesuai permintaan Mirza. Setelah selesai, perempuan itu mendatangi Mirza di ruang tengah. Mirza menerima piring berisi roti selai olahan Gita. Menikmati makanan sederhana itu sebagai pengisi perutnya. Hingga ia merasa haus, Mirza mengambil cangkir yang berisi teh hangat kemudian meminumnya. Mirza tersedak begitu teh hangat itu masuk ke dalam mulutnya. "Astaga! Lo bisa nggak sih bikin teh? Manis banget ini, lo mau bikin gue sakit tenggorokan?" geram Mirza. Oke, cukup! Mirza sudah tidak tahan. Perempuan bernama Gita ini tidak bisa melakukan pekerjaan rumah dengan benar. Lagi-lagi Gita menundukkan kepala. Apa yang Mirza pikirkan adalah benar. Perempuan itu sama sekali tidak bisa melakukan pekerjaan rumah. Sebab selama ini dia adalah seorang putri yang hidupnya serba dilayani. "Aku benar-benar minta maaf," ucap Gita sangat tulus. Bahkan kini suaranya terdengar gemetar sebab menahan diri agar tidak menangis. Sejak tadi, Gita terus dibentak dan dimarahi. Semua pekerjaan yang dilakukannya gagal total padahal ia sudah bekerja keras. "Ya sudah! Kalau begitu mending lo urus cucian sana!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN