Gita menarik napas dalam. Udara segar khas perkampungan tanpa bercampur polusi memang sangat menyegarkan. Gita berdiri di depan rumah Bi Nur, matanya berkeliling memperhatikan sekitar. Tidak hanya udaranya yang bagus, pemandangannya juga tidak kalah bagus. Hijau pepohonan yang dibalut dengan embun pagi. Rasanya benar-benar menyegarkan mata yang memandangnya.
Sejenak perempuan itu berpikir, bagaimana jika dirinya memulai pagi ini dengan berjalan-jalan. Ia harus benar-benar memulai kembali semuanya. Gita harus segera melupakan perasaannya pada Andreas dan segala kenangan mereka.
"Kamu pasti bisa, Gita! Dimulai dari hal kecil dulu. Yang pasti kamu harus berusaha, sisanya biarkan Tuhan yang mengatur." Gita menyorak dalam hati. Memberi semangat pada dirinya sendiri.
Jika dibilang masih cinta, tentu saja Gita masih mencintai Andreas. Tidak mudah bagi Gita melunturkan perasaan yang sudah melekat dalam hatinya selama bertahun-tahun. Meskipun Andreas telah memberikan luka yang begitu besar dan sangat dalam. Cinta terkadang membuat seseorang kehilangan akal sehatnya.
"Perlahan, kamu pasti bisa melupakan Andreas." Gita bermonolog lagi.
Perempuan itu kembali masuk ke dalam rumah. Mengganti pakaiannya agar lebih nyaman dan mudah saat berjalan ataupun berlari kecil. Tidak lupa Gita menguncir rambutnya karena jika dibiarkan tergerai dia juga yang akan repot kegerahan.
*****
Ditemani beberapa lagu yang tersambung dengan earphone, Gita berlari kecil untuk memulai jogging nya. Oke, ternyata asyik juga. Gita mulai menikmati kegiatan sederhana pagi ini.
Mungkin warga di kampung sini bertanya-tanya siapa kah perempuan yang sedang berlari pagi ini. Ini adalah hari pertama Gita dan ia belum sempat melapor kepada kepala desa. Meskipun begitu mereka sangatlah ramah. Sepanjang Gita berpapasan dengan mereka selalu diberi senyuman.
Entah sudah berapa jarak yang Gita tempuh saat berlari, kakinya mulai merasakan penat. Keringat bercucuran membasahi kepala dan wajahnya. Nafasnya mulai tersengal dan tidak beraturan.
Gita berniat untuk beristirahat.
"Aku..ha..russs istirahat ...."
Brukkkk ...
Gita jatuh tersungkur. Karena seseorang menabraknya dari belakang.
"Aduh ...." Ringis Gita menahan sakit.
Seorang pria bergegas turun dari motor kemudian menghampiri Gita yang masih tersungkur di atas tanah.
"Lo budeg ya? Dari tadi gue klakson kagak denger. Jatuh kan lo." Pria itu mengomel.
Reaksi macam apa ini? Gita dibuat terperangah mendengar ucapan pria itu. Emosi Gita mulai meluap. Dia yang ditabrak malah dia yang kena marah.
"Dasar pria sinting!" Batin Gita.
"Sini gue bantu berdiri." pria itu mengulurkan tangan.
Febian Mirza Nugroho, pria yang memiliki julukan handsome devil itu memang selalu berkata dan berbuat semaunya. Tidak heran jika dia sampai dijuluki setaan tampan karena wajahnya yang memang rupawan namun buruk rupa dalam bersikap. Dan yang menabrak Gita tadi adalah Mirza. Sungguh suatu kebetulan yang ironis.
"Nggak usah!" tolak Gita cepat. Perempuan itu berusaha berdiri sendiri.
Mirza menatap Gita dengan seringai khasnya. "Nggak usah sok kuat deh lo. Wanita manja macam lo udah pasti kesakitan."
Gita menatap tajam ke arah Mirza dan mengunci tatapannya. Bagaimana bisa ada orang yang begitu menyebalkan seperti pria ini, pikirnya. Meskipun Gita sudah menolak mentah-mentah tawaran Mirza, pria itu tanpa peduli memapah Gita dan membantunya berdiri.
"Nggak usah bantuin deh. Kalau bantunya sambil ngatain. Nggak ikhlas banget," tukas Gita kesal.
"Kenapa? Masalah banget ya buat lo?" Lirik Mirza. "Makanya kalau jalan nggak usah pakai earphone. Rem gue nggak berfungsi, coba aja kalau lo denger pas gue klakson nggak bakal gue tabrak. Jadi ini semua bukan salah gue," cicitnya seenak jidat.
Kepala Gita benar-benar sudah dibuat sangat mendidih. Ingin sekali dia mengumpat kata kasar pada pria kurang ajar di depannya itu. Tapi keberadaan Gita di sini bukan untuk hal seperti ini. Maka dari itu Gita berniat pergi karena jika terus berada di sini tidak menjamin emosinya tidak akan meledak keluar.
"Sabar, Git. Anggap aja dia orang gila dan kalian nggak akan bertemu lagi," gumam Gita dalam hati.
Sembari menahan sakit pada kakinya, Gita berjalan terpingkal. Gita tidak peduli dengan lutut dan telapak tangannya yang berdarah karena tergores aspal. Ia harus segera pulang.
*****
Dengan penuh perjuangan dan menolak tawaran beberapa warga yang menawarkan untuk mengantarnya pulang. Gita akhirnya tiba di rumah Bi Nur. Gadis itu segera mendudukkan dirinya di teras dan memanggil Bi Nur untuk menolong dirinya.
"Astaga, Non Gita, ada apa ini? Kenapa Non Gita bisa terluka seperti ini?" Bi Nur kelihatan sangat panik saat melihat keadaan Gita yang penuh luka.
"Gita tadi jatuh, Bi." Beritahu gadis itu.
"Walah ... sudah besar masih jatuh juga pas jalan. Tunggu di sini biar Bibi ambilkan obat."
Bi Nur setengah berlari masuk ke dalam rumah. Sedangkan Gita masih terduduk meringis kesakitan. Sesekali dirinya mengibas-ngibas luka yang terasa perih dan panas. Banyak pasir yang menempel disekitar luka tersebut.
Tidak lama setelah berlari ke dalam rumah untuk mengambil kotak P3K, Bi Nur datang masih dengan raut wajah khawatir.
"Non Gita, aduh, sini mari Bibi bantu bersihkan dan obati."
Bi Nur langsung mengeksekusi luka yang terdapat di beberapa bagian tubuh Gita.
"Pasti sakit sekali. Kasihan Non Gita. Tapi kenapa Non Gita bisa sampai jatuh?" tanya Bi Nur.
Gita memutar bola mata malas, mengingat kejadian menjengkelkan yang menyebabkan dirinya mendapatkan beberapa luka di tubuhnya. Membuat hati Gita benar-benar sangat kesal.
"Itu, Bi ... tadi Gita ditabrak orang gila," sahutnya malas.
Sontak Bi Nur langsung terkejut. Keningnya saling bertaut karena heran.
"Tadi ada orang gila naik motor, terus nabrak Gita. Tapi yang bikin nggak habis pikir, dia yang nabrak malah Gita yang dimarahi," ucap Gita memberitahu kekesalannya.
"Loh? Bibi baru tahu kalau di kampung sini ada orang gila yang naik motor."
Mendengar sahutan Bi Nur, Gita langsung dibuat tertawa sampai terbahak-bahak. Rasanya lucu saja bagi Gita mendengar ucapan Bi Nur itu.
"Mungkin dia orang gila baru, Bi," sahut Gita masih dengan tawa. Perutnya seperti digelitik oleh sesuatu.
Bi Nur mengangguk pelan. Berpura mempercayai ucapan Gita kemudian ikut tertawa bersama. Wanita tua itu tahu persis, mana ada orang gila di kampungnya.
Setelah luka Gita selesai diobati, perempuan itu berniat untuk beranjak masuk. Badannya dipenuhi dengan keringat, setidaknya ia ingin mencuci muka dahulu. Baru saja Gita beranjak dan masih di daun pintu, terdengar suara motor berhenti tepat di depan pagar rumah Bi Nur.
"Hah? Dia lagi!" Gita langsung menggerutu begitu melihat keberadaan Mirza di sana.
Mirza turun dari motornya kemudian berjalan memasuki halaman, kehadirannya langsung disambut oleh Bi Nur.
"Ah, Tuan. Ada apa datang kemari?" Tanya Bi Nur ramah.
Gita terperangah mendengar Bi Nur yang menyebut pria menyebalkan itu dengan sebutan Tuan.
Mirza tersenyum tipis. "Bi, saya 'kan sudah bilang. Jangan panggil saya Tuan. Panggil saja Mirza."
'Oh, jadi nama orang gila itu adalah Mirza,' batin Gita.
*****