Setelah gagal dalam mengurus sarapan, sekarang Gita diminta untuk mengurus cucian. Perempuan itu memandangi keranjang pakaian yang berisikan pakaian kotor milik Mirza. Tidak banyak, hanya beberapa lembar pakaian dan semuanya berwarna putih. Memasukkan pakaian kotor tersebut ke dalam mesin cuci. Menuangkan sedikit detergen dan pewangi. Kemudian menekan beberapa tombol dengan sembarang, Gita menunggu cucian tersebut selesai dicuci.
Ah yang benar saja, perempuan itu tidak tahu tentang apa pun. Ia hanya akan membuang-buang waktu jika menunggu cucian tersebut selesai dicuci. Ditambah pengaturan waktu yang default, akan menghabiskan banyak waktu hingga mesin cuci itu berhenti berputar.
Cukup lama Gita menunggu, perempuan itu mulai merasa bosan dan kram. Mengintip ke arah mesin cuci, Gita bergumam pelan, “Kapan sih mesin cuci ini berhenti? Aku sampai kram menunggunya.”
Krukkk …
Cacing dalam perut Gita meronta agar perempuan itu memberikan hak mereka. Memegangi perutnya yang terasa lapar, Gita bermonolog sendiri. “Sabar ya cacing. Aku kerja dulu. Nanti dimarahi lagi oleh pria menyebalkan itu,” ujarnya sedikit mendengkus.
Gita merasa sangat kesal ketika mengingat dirinya dibentak dan dimarahi oleh pria bernama Mirza itu. Rasa kesal Gita terhadap Mirza berada di ambang batas hingga rasanya ia ingin melempar pria itu ke laut.
Karena merasa sangat lama menunggu, akhirnya Gita sudah tidak tahan. Rasa lapar yang menyerangnya membuat perempuan itu tidak bisa lagi menunggu lebih lama. Gita beranjak dan bergegas menuju ruang makan. Perempuan itu mengambil selembar roti tawar untuk sarapan. Seperti pesan Bi Nur kepada nya. Bahwa Gita bebas memakan apa pun yang berada di dalam kulkas dan dapur. Sudah menjadi kebiasaan untuk Gita memakan selembar roti tawar untuk sarapannya sejak dulu. Hal itu Gita lakukan untuk tetap menjaga agar angka berat badannya tidak bertambah.
“Akhirnya aku merasa kenyang juga,” ucap Gita mengusap perutnya.
Selesai sarapan, Gita kembali menghampiri cucian yang sempat ia cuci. Apakah mesin cuci tersebut sudah selesai berputar atau belum.
“Astaga!” Gita memekik frustasi, “Kapan sih selesai nya?”
Gita mendengus sebal, merasa dipermainkan oleh benda persegi yang bernama mesin cuci ini. Ck! Siapa pun akan dibuat tertawa jika tahu apa yang sedang Gita pikirkan sekarang. Bukannya mesin cuci tersebut mempermainkan dirinya, dia nya saja yang tidak tahu apa-apa.
Mulai dari berdiri, berjongkok hingga duduk lesehan di atas lantai. Gita masih setia menunggu mesin cuci tersebut selesai mengerjakan tugasnya. Hingga suara langkah kaki seseorang terdengar mendekat. Ternyata seseorang itu adalah Mirza. Pria itu dibuat tak habis pikir saat melihat Gita yang duduk lesehan di atas lantai dan bersandar di dinding dengan mata terpejam.
Mirza berhenti tepat di depan Gita, berjongkok agar wajah mereka sedikit sejajar. “Hei, Gita!” panggil Mirza sembari menjentikkan jari.
Gita membuka kedua matanya dan sangat panik ketika mendapati sosok Mirza telah berada di hadapannya. Sontak perempuan itu berdiri dengan tidak terduga dan membuat kepalanya membentur wajah Mirza yang cukup dekat dengannya.
Mirza mengerang kesakitan. Pria itu menangkup wajahnya yang terasa sangat panas sebab kepala Gita menyeruduk nya. Pun dengan Gita yang merasa kepalanya sedikit sakit sebab berbenturan dengan wajah Mirza.
“Tuan, apa tuan baik-baik saja?” Gita menanyai Mirza dengan pertanyaan konyol itu. Tentu saja Mirza merasa kesakitan.
Mirza menurunkan telapak tangan dari wajahnya, kemudian menatap Gita dengan kesal. “Kenapa lo tiba-tiba berdiri dengan panik gitu sih! Pakai nyeruduk gue lagi kayak banteng!” desis Mirza sangat kesal.
“Ma..maaf, Tuan,” imbuh Gita dengan wajah masam. Perempuan itu menutupi mulutnya dengan kedua telapak tangan.
Mirza berdecak kemudian beranjak berdiri. “Lagian lo ngapain tidur di sana hah? Kerja tuh yang bener!”
“Maaf. Tapi aku memang lagi bekerja!” sanggah Gita, “Hanya saja mesin cuci itu lama banget berputarnya.”
Mirza menghela napas dalam. Memandangi wajah Gita yang terlihat polos saat menjelaskan keadaannya. “Lo ini emang nggak tahu apa-apa tentang mesin cuci atau bagaimana?” tanya pria itu.
Gita membalas tatapan Mirza. Hening sesaat hingga kemudian perempuan itu menjawab, “Tahu kok!” ujarnya yakin. Bagi Gita, memang dirinya tahu tentang cara kerja mesin cuci.
Mirza melipat kedua tangannya di daada. “Kalau lo emang beneran tahu, mestinya lo tahu kalau lama waktu mencuci dan lainnya dapat diatur! Jadi untuk mencuci pakaian sedikit begini nggak memakan banyak waktu!”
Gita terperangah dengan penjelasan Mirza barusan. “APA?” ujarnya memekik, “Yang benar saja … kalau begitu artinya aku hanya membuang waktu untuk cucian ini?” perempuan itu mendengus sebal.
Di seberangnya, Mirza menatap heran perempuan bernama Gita ini. Kenapa perempuan itu tidak tahu apa pun tentang pekerjaan rumah. Sangat berbanding terbalik dengan Bi Nur yang dapat mengatasi hal seperti itu dengan mudah.
“Jangan bilang ini adalah pengalaman pertama lo dalam bidang pekerjaan ini?” tanya Mirza, Gita menjawab dengan sebuah anggukan.
Jika diperhatikan, memang penampilan perempuan ini sangat jauh dari penampilan asisten rumah tangga pada biasanya. Kulitnya putih bersih, terlihat sangat mulus dan Mirza berani bertaruh jika kulitnya sangat lembut ketika disentuh. Dan yang paling menarik perhatian Mirza adalah kukunya. Ya! Kuku Gita yang berwarna-warni dengan sedikit hiasan. Penampilan seperti itu bukanlah penampilan seorang asisten rumah tangga.
“Pantesan! Lo sama sekali nggak bisa melakukan semuanya dengan benar.”
*****
Siang menjelang, Gita baru saja selesai dengan pekerjaannya. Kini waktunya untuk perempuan tersebut beristirahat. Duduk di teras sembari menikmati hembusan angin yang terasa sangat menyejukkan. Gita memijat pelan lengan dan kakinya yang terasa sangat pegal.
“Ternyata pekerjaan ini sangat melelahkan. Kasihan Bi Nur,” cicitnya mengingat wanita tua yang telah lama bekerja untuk keluarganya.
Baru saja Gita mulai menikmati hembusan angin, suara Mirza memanggil dirinya terdengar begitu memekakkan telinga. Gita mendesis tepat sebelum dirinya beranjak.
“Kenapa sih pria itu? Senang banget teriak-teriak sejak tadi pagi,” ujarnya sebal, “Nggak bisa apa memanggil dengan nada santai.”
“IYA! TUAN …,” sahutnya kemudian. Berteriak seperti yang telah Mirza lakukan saat memanggil dirinya.
Gita menghampiri Mirza yang telah duduk di ruang tengah, menatap wajah pria itu kemudian berkata, “Ada apa Tuan memanggil saya?”
“Bi Nur nggak memberi tahu atau lo yang nggak ingat? Setiap hari lo harus mengganti semua sarung bantal ini.” Mirza menatap bantal-bantal sofa yang tersusun rapi. Kemudian beralih menatap Gita yang berdiri tidak jauh darinya.
Gita terperanjat. Seingatnya, Bi Nur tidak pernah memberi tahu hal tersebut padanya.
“Maaf. Kalau begitu akan segera aku ganti,” sahut Gita.
Mirza mengangguk pelan. “Sarung bantalnya ada di lemari dalam Gudang.”
Gita pun berlalu menuju gudang yang menyimpan barang-barang. Hingga ia berada di dalam ruangan tersebut, Gita juga dibuat terperangah ketika mendapati keadaan di dalamnya begitu rapi dan bersih.
“Seharusnya dia tidak menyebut ruangan ini sebagai gudang. Melainkan ruang penyimpanan. Akan lebih baik jika seperti itu,” cicitnya.
Segera Gita membuka lemari yang ada di sana dan mencari sarung bantal sofa. Gita terus dibuat berpikir dengan gaya hidup Mirza yang harus serba bersih dan tertata rapi. “Apa dia mengidap … ah kenapa juga aku memikirkannya,” ujarnya kemudian.
Gita telah kembali ke ruang tengah. Mengganti semua sarung bantal sofa seperti keinginan Mirza. “Padahal sarung-sarung bantal ini tidak kotor. Kenapa harus diganti setiap hari?” gumam Gita pelan, namun berhasil tertangkap oleh indra pendengaran Mirza yang memang sangat tajam.
“Lo bilang kenapa harus diganti setiap hari?” ujar Mirza mengulangi kalimat Gita, membuat Gita sedikit terperanjat.
‘Astaga! Ternyata dia mendengarnya,’ batin Gita.
Belum Gita menjawab, Mirza sudah membuka mulutnya dan berkata, “Kalau lo keberatan dengan hal itu. Besok lo nggak usah datang ke sini lagi untuk bekerja.”
Gita merasa sangat gemas dengan pria di hadapannya ini. Kenapa setiap kalimat yang keluar dari mulutnya selalu tajam dan tidak enak untuk didengar. Berusaha tersenyum, Gita menjawab kalimat yang Mirza lontarkan.
“Aku sama sekali tidak keberatan untuk mengganti semua sarung bantal ini, Tuan,” ujarnya.
Mirza mengangguk pelan. “Lo bisa langsung pulang setelah selesai dengan hal itu,” cicitnya.
“Benarkah itu? Tapi Bi Nur bilang aku akan bekerja dari pagi hingga sore. Dan sekarang masih tengah hari.”
“Lo nggak perlu bekerja selama itu. Yang ada nanti rumah gue macam kapal pecah. Semua hal yang lo kerjakan nggak ada yang benar.”
“Setidaknya biarkan aku memasak makan siang untuk—”
Mirza mengangkat salah satu tangannya. Menyanggah kalimat Gita. “Lo nggak perlu memasak lagi untuk gue. Makanan yang lo bikin benar-benar nggak layak untuk dimakan oleh manusia.”
Gita meremas kuat sarung bantal yang saat ini ia genggam. Pria bernama Mirza ini perlu diberi suntikan attitude dalam dirinya yang minim sopan santun dan menghargai orang lain. Pantas saja Bi Nur selalu mengingatkan Gita untuk tetap bersabar dalam menghadapi Mirza. Rupanya pria ini memang sangat menyebalkan dan membuat seseorang mengelus daada karena perkataannya.
*****
Gita pamit mengundurkan diri. Ketika Mirza meminta nya untuk pulang, perempuan itu tidak membuang kesempatannya. Sepanjang jalan menuju kediaman Bi Nur, Gita terus menggerutu. Sesekali ia juga mengumpati Mirza. Hingga ia telah tiba di depan rumah Bi Nur. Gita langsung menyerukan nama wanita tua itu ketika dirinya berada di daun pintu.
“Loh, Non Gita sudah pulang?” tanya Bi Nur heran.
“Dia sendiri yang menyuruh Gita untuk pulang, Bi.”
“Kenapa, Non?”
Gita membisu. Terdengar helaan napas keluar dari mulutnya. Perempuan itu menceritakan pada Bi Nur jika hari ini ia selalu dibentak dan dimarahi oleh Mirza karena tidak bisa melakukan pekerjaan dengan benar.
“Padahal Gita sudah berusaha sebaik mungkin,” dengusnya dengan kedua tangan yang bersedekap di daada.
Bi Nur tersenyum hangat. Wanita tua itu mengusap lembut puncak kepala Gita. “Yang terpenting, Non Gita sudah berusaha. Masalah dibentak dan dimarahi, Tuan Mirza memang orang yang seperti itu. Tapi meskipun begitu, dia adalah pria yang baik, Non. Dia hanya kesepian,” tutur Bi Nur.
Lagi-lagi Bi Nur menyebutkan jika Mirza adalah pria yang baik. Tapi sejauh ini, di mata Gita dia adalah pria paling menyebalkan.
“Sebelum pulang Gita juga dimarahi karena lupa mengganti sarung bantal sofa.” Rasa kesal dalam hati Gita semakin bertambah. “Tapi seingat Gita, Bibi memang tidak pernah menyebutkan tentang mengganti sarung bantal sofa setiap hari,” cicitnya menatap Bi Nur.
“Memang tidak pernah Bibi mengatakannya. Memangnya kenapa, Non?”
Mendengar jawaban dan reaksi dari Bi Nur, Gita langsung tahu jika Mirza hanya mengerjai dirinya dengan hal tersebut.
Gita kembali mengerang kesal. Kakinya menghentak beberapa kali saking kesalnya ia rasakan. “Awas saja kamu Mirza!!!!”
Sedangkan di kediamannya, Mirza tertawa puas karena berhasil mengerjai Gita dengan ulahnya.