Gita berpamitan dengan kedua orangtuanya sebelum pergi mengunjungi Bi Nur di kampung. Pelukan perpisahan penuh haru tak bisa terhindarkan, baik Gita ataupun Helen, keduanya sama-sama menangis haru.
Sebenarnya yang Helen rasakan hanyalah kepiluan, ia merasa sangat iba pada anaknya. Melepas putri satu-satunya pergi untuk memulai kembali kehidupan, rasanya sangat memilukan untuk Helen. Terlebih karena alasan Gita untuk memulai kembali semuanya.
"Bu, Gita pamit, ya." Pamitnya seraya menciumi kedua pipi Helen bergantian.
Helen mengangguk pelan. Air mata masih bercucuran di kedua sudut matanya.
"Kamu baik-baik di sana ya, Sayang. Jangan lama-lama."
Gita mengangguk sembari memaksakan bibirnya tersenyum.
"Ibu juga baik-baik di sini. Gita pergi dulu."
Pak Aron--Ayah Gita--melangkah mendekati putrinya. "Hati-hati ya, Nak. Ingat, tinggalkan semua masalah dan rasa sakit kamu di sini. Setelah kamu meninggalkan kota ini dan tiba di kampung halaman Bi Nur, kehidupan kamu dimulai kembali. Ayah harap kehidupan kamu kedepannya dipenuhi dengan hal-hal baik. Kami sayang kamu," pesannya.
*****
Roda mobil melaju dengan cepat menuju tempat tujuan sang tuan. Hari ini Gita tidak pergi sendiri, ia pergi bersama dengan Pak Ahmad. Disepanjang jalan tidak ada percakapan yang terjadi. Hanya keheningan yang membalut mereka.
Bulir bening kembali menetes di kedua sudut mata Gita. Semakin keras ia berusaha untuk melupakan malah semakin kuat ingatan menyakitkan itu berputar di kepalanya. Setiap bait kata menyakitkan yang Andreas tuliskan untuknya terus berputar di kepala Gita. Rasa sakit itu kembali menyerang hatinya dan meninggalkan luka menganga yang sangat besar.
Andreas Fahri Utomo, pria itu sukses menghancurkan hati kekasihnya sendiri. Dalam sekejap hatinya yang hangat telah membeku. Entah apa pemicunya, yang jelas badai salju itu kini tengah menguasainya. Memutuskan tali kasih yang bertahun-tahun ia rajut berdua. Tanpa menatap, tanpa mengucap maaf. Sungguh kejam yang Andreas lakukan.
Sebenarnya Gita masih tak bisa menghindarkan bahwa dirinya masih mengharapkan Andreas datang dan meminta maaf kepadanya. Mengharap Andreas kembali ke dalam pelukannya dan melaksanakan pernikahan yang seharusnya terjadi. Tapi itu semua hanya angan. Seperti pungguk yang merindukan bulan.
Cukup. Gita harus segera menghentikan ingatan tentang Andreas menguasai pikirannya. Gadis itu hampir sepenuhnya tenggelam dalam kubangan kesedihan. Ia harus segera muncul ke permukaan.
"Pak, masih berapa lama lagi akan sampai?" tanya Gita.
"Kira-kira 20 menit lagi, Non."
Usai mendengar jawaban Pak Ahmad, Gita langsung meraih cermin kecil di dalam tas untuk memeriksa wajahnya sekarang.
"Pak, tolong menepi sebentar. Saya mau cuci muka dulu," ucapnya.
Tentu saja Gita harus membasuh wajahnya terlebih dulu. Matanya sudah sangat sembab dan merah. Selain itu bekas air mata juga memenuhi kedua pipinya.
Pak Ahmad segera menepikan mobil sesuai permintaan sang anak majikan.
Gita turun dari mobil dengan membawa sebotol air mineral untuk ia gunakan membasuh wajahnya. Sesaat perempuan itu tengah menuangkan air di dalam botol ke seluruh wajahnya, terdengar suara klakson kendaraan yang terus menerus dibunyikan.
Tiinnnn....
Tiinnnn....
"Woy! Minggir! Jalanan bukan punya Bapak lo!"
Gita tersentak mendengar teriakan seorang laki-laki yang mungkin saja warga kampung sini.
"Maaf, Mas," ucap Gita seraya membungkuk.
Dengan terburu-buru Gita masuk ke dalam mobil dan meminta Pak Ahmad kembali meneruskan perjalanan.
Untuk pertama kalinya seseorang meneriaki Gita seperti tadi.
"Enggak sopan banget! Padahal kan biasanya orang di kampung itu pada sopan," dengus Gita.
"Mungkin dia bukan orang kampung sini, Non. Dari penampilannya saja seperti bukan orang kampung," sahut Pak Ahmad.
Gita terkekeh geli. "Memangnya penampilan orang kampung itu seperti apa, Pak?" tanya Gita serius.
Baiklah. Ini adalah senyum pertama Gita setelah beberapa hari.
"Itu, Non tahu sendiri lah bagaimana penampilan kami orang kampung. Kelihatan jelas perbedaannya dengan orang di kota," jelas Pak Ahmad tersipu.
"Enggak lah, Pak. Sama saja kok, nggak ada bedanya."
Mobil berhenti tepat di depan pagar rumah Bi Nur. Rumah kayu sederhana dengan pagar setinggi pinggang dan halaman yang tak seberapa luasnya, Bi Nur duduk di teras menunggu kedatangan Gita.
Tak ingin berlama-lama, Gita pun berlari menghampiri wanita tua itu dan menghambur ke dalam pelukannya. Rasa rindu selama berbulan-bulan tak bertemu harus Gita bayar sepenuhnya.
Bi Nur memandangi lekat wajah perempuan cantik di hadapannya. Meskipun Bi Nur tahu persis apa yang terjadi pada anak mantan majikannya itu, tapi ia akan bersikap seolah tidak tahu. Itu semua untuk Gita. Tidak ada kesedihan di sini. Tidak ada tentang Andreas di sini.
"Non Gita belum makan 'kan? Tadi Bibi buatkan makanan kesukaan Non Gita," seru Bi Nur ramah.
Gita mengembangkan senyumnya. "Ya ampun Bi. Sambutan macam apa ini? Gita baru saja datang malah langsung disuruh makan. Harusnya disuruh masuk dulu atuh," sahutnya menggoda.
Bi Nur menepuk pelan jidatnya. "Benar juga. Mari masuk, Non. Hehehe," kekehnya.
Mereka berdua masuk bersamaan. Gita enggan melepaskan pelukannya pada Bi Nur. Sedangkan Pak Ahmad sibuk mengurusi barang bawaan Gita yang terbilang cukup banyak.
Bi Nur segera mengantarkan Gita ke bilik kamar yang akan Gita tempati selama berada di sini. Jika dibandingkan dengan rumah orangtua Gita, tentu saja rumah Bi Nur tidak ada apa-apanya. Namun bukan itu yang Gita pikirkan. Semenjak masuk ke dalam rumah ini, Gita sudah merasakan kenyamanan dan kehangatan. Ditambah suasana kampung yang asri dan tidak terlalu ramai, membuat Gita yakin akan betah tinggal di sini.
"Maaf ya Non. Kamarnya kecil dan jelek, tapi sudah Bibi bersihkan. Dijamin tidak ada debu sedikit pun," ucap Bi Nur.
"Enggak apa-apa, Bi. Gita nggak masalah dengan hal itu. Itu semua hanya ukuran semata, nggak ada artinya. Yang penting Gita nyaman di sini bersama Bibi." Perempuan itu menghambur ke dalam pelukan Bi Nur.
Jika diingat-ingat sejak tadi Gita suka sekali memeluk wanita tua yang bernama Bi Nur itu. Sudah jelas alasannya, selain karena Gita tumbuh dirawat oleh Bi Nur juga karena wanita tua itu sangat penyayang dan sangat bisa membuat Gita merasa nyaman.
Bagi Gita, Bi Nur bukan hanya sekedar seorang pekerja yang bekerja pada keluarganya. Peran Bi Nur dalam hidupnya sangat penting. Bekerja pada keluarga Pak Aron dalam waktu yang lama, tentu saja peran Bi Nur sudah sejauh itu.
Mengulik tentang Bi Nur, dia hanyalah seorang janda miskin yang di tinggal mati oleh anak dan suaminya. Hal nahas menimpa orang tercinta Bi Nur dan satu-satunya yang selamat hanyalah dirinya seorang. Maka dari itu, keluarga Gita mulai menyambut Bi Nur sebagai bagian dari keluarganya.
"Kalau begitu, Non Gita mau makan sekarang? Atau pengin istirahat dulu?" tanya Bi Nur.
Gita melerai pelukan dan mendaratkan dirinya di atas kasur.
"Gita istirahat dulu, Bi. Nanti Gita makan setelah ini."
*****