Bi Nur dibuat sangat terkejut dengan kedatangan Helen di kediamannya. Wanita cantik berdarah Sunda itu menyambut Bi Nur dengan sebuah senyuman yang merekah di bibirnya.
“Halo, Bi Nur ...,” Helen menghambur ke dalam pelukan wanita tua itu, “Bagaimana kabar Bibi?” ujarnya kemudian mengurai pelukan.
“Alhamdulillah, kabar saya baik, Nyonya.”
“Jangan Nyonya, Helen saja,” wanita cantik itu meralat kalimat Bi Nur.
Bi Nur mengangguk canggung. Kemudian tersenyum. Mempersilahkan Helen untuk masuk ke dalam. “Silahkan duduk di sini, Bibi akan ambilkan minum,” kata Bi Nur.
“Jangan repot-repot, Bi,” ujar Helen.
Sembari menunggu Bi Nur membuatkan teh untuknya, Helen mencari-cari keberadaan putrinya. Wanita itu kebingungan kala mendapati tidak ada tanda-tanda Gita di dalam rumah ini. Ia pun menghampiri Bi Nur di dapur.
“Bi, mana Gita?” tanyanya.
Bi Nur kebingungan harus menjawab apa atas pertanyaan yang Helen lontarkan padanya. Tidak mungkin ia memberi tahu pada Helen jika Gita bekerja sebagai asisten rumah tangga untuk menggantikannya.
“Anu ... mmm ... Non Gita ...,”
Helen menelisik sikap Bi Nur yang nampak tegang. Ia langsung menaruh curiga. “Bi, ada apa? Beri tahu saya di mana Gita sekarang?” ujarnya berusaha tenang.
Helen terus memaksa Bi Nur agar memberi tahu keberadaan Gita—anaknya.
Meneguk ludah dengan berat. Bi Nur akhirnya menjawab. Wanita tua itu menjelaskan pada Helen kejadian sebenarnya. Menutupi fakta tersebut hanya akan memperkeruh semua dan Bi Nur tidak menginginkan hal itu.
“APA?” pekik Helen. Ia sangat terkejut mendengar kabar ini.
Bi Nur menundukkan kepala. Meminta maaf yang sebesar-besarnya pada Helen.
“Hahaha, terus bagaimana, Bi?” Bi Nur menatap Helen dengan bingung, “Saya tidak marah. Itu lebih baik daripada dia berdiam diri di dalam rumah. Yang ada nanti dia terus mengingat Andreas. Kalau seperti ini ceritanya, Gita juga sekalian melatih diri agar tidak selalu manja.”
Ada perasaan lega ketika Bi Nur mendengar penuturan dari Helen dan wanita itu tidak marah.
“Jadi, sekarang dia di rumah orang itu?”
Bi Nur mengangguk. “Kalau Nyonya ingin ke sana, akan saya antarkan. Kebetulan di sana sang empunya rumah lagi ke Jakarta.”
Helen tersenyum. “Boleh juga,” ujarnya menerima tawaran Bi Nur, “dan berapa kali harus saya bilang, Bi. Panggil Helen saja.”
“Rasanya sangat aneh. Karena saya sudah memanggil dengan sebutan itu selama bertahun-tahun. Jadi biarkan saja, ya?” pinta Bi Nur ramah.
“Haha, baiklah. Kalau seperti itu keinginan Bibi.”
*****
Gita berlari menuju pintu sebab seseorang membunyikan bel. Perempuan itu mengira jika Mirza lah yang datang. Sama sekali tidak ada dalam benaknya jika yang datang adalah Helen—ibunya.
Ketika pintu terbuka dan menampilkan Helen di baliknya. Gita langsung dibuat terperanjat. “Ibu?” ujarnya dengan kedua mata yang membola.
Helen menyambut Gita dengan merentangkan kedua tangan. Bermaksud agar putrinya menghambur ke dalam pelukan, namun Gita malah diam membeku.
“Bukan seperti ini caranya menyambut kedatangan seseorang, Ta. Apalagi yang datang ini adalah Ibu,” kata Helen, membuat Gita terbuyar dan segera memeluknya.
“Hehe, maafkan Gita, Bu. Habisnya Gita tidak mengira Ibu datang ke sini.”
Membalas pelukan Gita, Helen berkata, “Ibu sudah tahu semuanya dari Bi Nur. Tentang kamu bekerja sebagai asisten rumah tangga. Bagaimana Ta? Seru tidak?” tanya Helen sedikit terkekeh.
Gita mengurai pelukan. “Bikin Gita naik darah, Bu. Mungkin setelah bekerja di sini, Gita akan punya penyakit darah tinggi,” sahutnya asal.
Helen terkikik geli. Begitu penasaran untuk siapa Gita bekerja. Lantas, wanita itu bertanya, “Jadi, bagaimana dia?”
Tentu saja ‘dia’ yang Helen maksud adalah Mirza. Sebenarnya Helen sudah mendengar sedikit tentang Mirza melalui Bi Nur. Hanya saja ia ingin tahu dari sudut pandang putrinya.
Gita melipat kedua tangan ke daada. Mulutnya sedikit mengerucut. “Dia itu ... pria yang paling menyebalkan yang pernah Gita temui,” ujarnya.
“Oh ya? Tapi kata Bi Nur, dia adalah pria yang baik.”
Kedua mata Gita membola. “Hhh ... baik dari mananya? Jelas-jelas dia sangat menyebalkan sejak pertama kali kami bertemu.”
Helen mengangguk paham. “Oke..oke. Ibu mengerti.”
Gita mempersilahkan Helen untuk duduk di kursi teras. Meskipun tidak ada Mirza di kediamannya, tetapi Gita tidak nyaman hati jika membawa orang lain masuk ke dalam rumah. Untuk itu ia meminta Helen agar duduk di teras saja.
“Tidak apa-apa, Gita. Memang sudah seharusnya kamu tidak boleh sembarang membawa orang asing ke dalam rumah ini ‘kan?”
Dalam keluarga Helen, etika adalah yang terpenting. Dan hal itu sudah mendarah daging pada Gita, tertanam pada dirinya sejak masih kecil.
Helen dan Gita berbincang banyak hal. Dalam perbincangan mereka, tidak sedikit pun tentang Andreas dibahas. Helen enggan. Ia juga tidak sudi menyebut nama pria itu.
Cukup lama Helen berada di kediaman ini, wanita itu lantas pamit mengundurkan diri. Karena ia akan pulang hari ini juga.
“Loh ... Ibu nggak menginap?” tanya Gita.
“Enggak, Ta. Ibu tidak bisa menginap. Lagi pula, kamu juga harus tidur di rumah ini ‘kan? Tidak mungkin kita menginap di tempat yang terpisah. Kapan-kapan, Ibu akan ke sini lagi mengunjungi kamu.” Helen mengecup puncak kepala putrinya. Memeluknya sekali lagi sebelum ia benar-benar pergi.
Gita mengantar Helen hingga ke depan pagar. Melambaikan tangan pada wanita yang begitu ia cintai.
“Hati-hati di jalan, Bu!” seru Gita dengan mata berkaca-kaca.
Gita kembali masuk ke dalam rumah. Memposisikan diri di atas sofa, perempuan itu menghela napas. Gita berpikir, entah berapa lama lagi dia akan berada di sini. Gita sudah tidak tahan berteman dengan kesepian yang membalutnya beberapa hari ini.
Lama Gita duduk hingga rasa kantuk menyerangnya tiba-tiba. Berusaha Gita menahan matanya agar tetap terbuka. Namun seberapa keras ia mencoba, tetap tidak bisa melawan.
*****
Gita terbangun dan mendapati dirinya terbalut oleh selimut. Perempuan itu terkesiap ketika kesadarannya sudah sepenuhnya utuh. Jelas sekali dirinya ingat, jika sebelum tertidur, tidak ada selimut ini di atas tubuhnya. Lalu siapa yang menyelimuti Gita?
Perempuan itu mengusap tengkuk yang tiba-tiba merinding. Gita seketika bergidik memikirkan sesuatu yang membuatnya tiba-tiba terbalut selimut. Mungkin kah ada hantu di kediaman ini? Tapi seingatnya, beberapa hari tinggal di sini. Tidak ada hal aneh yang terjadi.
“Mungkin kah ada penyusup?” pikir Gita lagi.
Perempuan itu meneguk ludah dan mengumpulkan keberanian untuk menyisiri setiap sudut rumah. Berbekal sebuah sapu yang ia ambil sebelumnya. Gita mulai berjalan ke setiap ruangan. Hingga pendengaran nya menangkap suara sendok yang bersentuhan dengan cangkir yang berasal dari dapur. Gita menuju ke sana.
“Tenang, Gita. Kamu adalah wanita yang berani. Tinggal pukul saja penyusup itu.”
Gita membuka langkah pelan-pelan, ketika ia sudah berada cukup dekat dengan dapur, Gita segera berlari dan melayangkan pukulannya.
‘Bugh!’
‘Bugh!’
Pukulan Gita tertahan sebab suara Mirza yang terdengar begitu kesal.
“Astaga! Tuan Mirza,” pekik Gita kemudian melempar sapu ke sembarang arah.
Sedangkan Mirza meringis menahan sakit pada tubuhnya akibat serangan tiba-tiba dari Gita. “Apa-apaan sih! Kenapa lo mukul gue, GITA!” bentak Mirza.
“Maaf, Tuan. Aku pikir Tuan adalah penyusup,” ujarnya.
Memang benar bukan? Gita mengira jika Mirza adalah penyusup.
Gita membantu Mirza berdiri dan mengikuti pria itu berjalan hingga ke sofa.
“Aduh ...,” erang Mirza ketika punggungnya bersentuhan dengan sandaran sofa.
Gita menunduk. Begitu menyesal karena sudah memukul Mirza hingga pria itu kesakitan.
“Sekali lagi, maafkan aku, Tuan,” kata Gita penuh penyesalan.
“Sudah cukup minta maaf nya. Mending sekarang ambilkan gue sesuatu yang bisa meredakan rasa sakit ini,” titah Mirza.
“Baik, Tuan,”
-----
Gita telah kembali dengan sebotol minyak kayu putih yang ia genggam. Kemudian memberikannya pada Mirza.
“Lo suruh gue untuk mengoles sendiri? Lo pikir gue bisa? Tangan gue nggak cukup panjang untuk menjangkaunya, Gita.” Mirza berkata dengan sedikit penekanan.
Sejenak Gita hanya diam. Matanya mengerjap beberapa kali kala Mirza menatapnya dan memberikan kembali minyak kayu putih tersebut pada nya.
Mirza berdecak. “Kenapa lo diam? Ambil ini,” titah pria itu.
Gita menyambut botol minyak kayu putih dengan ragu. Kemudian bertanya, “Tuan menyuruhku untuk mengoleskannya?”
“Ya iyalah. Terus siapa lagi kalau bukan lo?”
Ini adalah mimpi buruk bagi Gita. Kenapa harus dia yang mengoleskan minyak kayu putih ini ke punggung Mirza.
Gita menutup kedua mata ketika Mirza mulai melucuti pakaiannya. Mengintip sedikit kemudian membalurkan minyak kayu putih tersebut pada punggung pria itu. Dengan penuh keraguan Gita mulai mengusap punggung yang begitu lebar di hadapannya itu.
“Pelan-pelan,” kata Mirza mengingatkan.
Batin Gita terus meronta-ronta. Begitu tergesa, Gita ingin segera menyelesaikan kegiatan ini.
“Sudah selesai, Tuan,” ucap Gita kemudian segera pergi dari tempat itu.
*****