BAB 9. 4 Point Dari Amanda

1092 Kata
Tanpa senyuman sedikitpun, Amanda melanjutkan kalimatnya. “Yang pertama, mulai besok, gadis kampung dan ibunya itu sudah harus dijemput lalu tinggal di kamar hotel, sampai dengan acara pernikahan, keesokan harinya. Mama telah menyewa seorang guru untuk melatih si Mentari itu supaya bisa bersikap layaknya seorang gadis ningrat.” Tak ada seorangpun yang menjawab ucapan Amanda itu, tapi juga tak ada yang membantahnya. Amanda mengangkat jari telunjuk dan tengahnya. “Lalu yang kedua, besok oma datang kesini. Kita harus kompak, harus satu cerita. Yaitu katakan pada oma, bahwa Mentari adalah anak dari salah satu rekan bisnisnya Papa. Jika oma bertanya lebih banyak, maka itu menjadi tugas Papa untuk mengarang cerita yang menarik.” “Ah! Cerita bagaimana?!” protes Hendy. “Ya terserah Papa, itu kan tugas Papa! Masa’ Mama lagi sih yang musti mikirin!” Amanda mendelik tajam pada suaminya. “Pokoknya Papa harus mengarang cerita tentang keluarga Mentari yang kaya raya, orang hebat!” Hendy mengibaskan tangannya di depan muka. “Yahh terserah Mama sajalah. Lalu apa lagi selanjutnya?” tanya Hendy dengan tampang malas. “Oke, yang ketiga adalah, besok juga Mentari akan mendapat perawatan untuk seluruh tubuhnya. Mulai dari ujung kepala sampai ke ujung kaki. Karyawan Mama yang akan mendatangi Amanda, khusus perawatan yang paling bagus, supaya penampilan gadis kampungan itu nggak kumal!” cibir Amanda. Kening Arion mengernyit. “Tapi kayaknya dia nggak sekumal yang Mama bayangkan. Aku sudah beberapa kali ketemu dengan Mentari,” celetuk Arion dengan nada datar. Sontak saja Amanda mendelik pada Arion. “Apa kamu bilang?! Mana mungkin dia nggak kumal sih, Arion! Tinggalnya saja di kampung begitu. Mungkin saja seumur hidupnya dia belum pernah menginjakan kaki di klinik kecantikan, atau minimal di salon.” “Aku juga malas kok ke salon, apalagi ke klinik kecantikan. Ribet!” celetuk Aruna dengan sejujurnya. Amanda mendengkus kesal. “Itu namanya kamu yang aneh! Yang normal itu tiap wanita maunya tampil cantik, mempesona, begitu! Bukannya kayak kamu begini, sudah macam preman saja!” Lalu Amanda memindai penampilan sang putri sulung yang memakai kaos oblong oversize dipadukan dengan celana jeans belel dengan model robek pada beberapa bagian. Sebetulnya dengan tampilan wajah yang natural tanpa riasan sedikitpun seperti saat ini, Aruna sudah terpancar kecantikan alaminya. Namun Amanda yang terbiasa berpenampilan modis, selalu mempermasalahkan penampilan putrinya itu. Aruna hanya tersenyum tipis menanggapi sang mama. Dia sudah terbiasa diperlakukan seperti itu. Maka sudah tidak kaget lagi. “Baik, Mama lanjutkan. Yang keempat adalah, setelah nanti menikah, Arion harus membawa Mentari untuk tinggal di mansion Permata Hijau. Bukan tinggal di hotel atau apartement milik Arion, apalagi tinggal bersama Mama! Tidak boleh! Mama tidak sudi tinggal bersama dia. Dan mansion kita yang di Permata Hijau adalah yang paling aman, karena cukup terpencil dibandingkan dengan mansion kita yang lain.” Arion tidak berusaha menyela, dia justru sedang mendengarkan setiap ucapan sang mama dengan serius. Sedang mempelajari, apa rencana mamanya itu untuk dirinya dan juga Mentari. Arion memang tidak mengenal Mentari, tapi dia cukup peduli, sebatas tidak sang mama terlalu mencampuri urusan pribadinya. Apalagi yang akan membuat orang lain menderita, dalam hal ini adalah Mentari. Amanda menatap intens pada Arion. “Mama tidak mau nanti Mentari banyak berhubungan dengan lingkup kehidupan kita sehari-hari. Apalagi sampai berhubungan dengan orang-orang di sekitar kita. Jika Mentari cepat-cepat diasingkan setelah hari pernikahan itu, Mama yakin … namanya akan cepat menguap begitu saja. Bahkan orang-orang yang menghadiri pernikahan kalian, akan segera melupakan wajah Mentari.” Arion hanya menatap pada mamanya tanpa berkata apapun. Sedangkan Aruna sudah terlihat sangat bosan berada di sana. “Sudah selesai ?” tanya Hendy tiba-tiba. Amanda menoleh pada suaminya. Keningnya mengernyit, seakan mengisyaratkan bahwa dia tak mengerti dengan maksud pertanyaan sang suami. “Pointnya sudah sampai nomor empat. Sudah selesai atau masih ada nomor lima?” tanya Hendy lagi, dengan nada datar. Barulah Amanda paham dengan maksud suaminya. Dia tampak berpikir sejenak. “Umm, ya sudah, sepertinya. Nanti Mama pikirkan dulu, siapa tahu ada tambahan lagi. Untuk saat ini, sementara sampai nomor empat.” “Oke, aku harus ke ruang kerja, masih ada dokumen yang harus dicek,” ucap Hendy. Lalu tanpa menunggu jawaban dari istrinya, Hendy segera melangkah meninggalkan ruang keluarga. Menuju ruang kerja pribadinya di lantai dua. “Fiuuhhh syukurlah sudah selesai.” Lalu Aruna pun pergi dari sana, tanpa pamit pada siapapun. “Anak nggak punya sopan-santun,” desis Amanda sambil terus mengikuti punggung Aruna dengan pandangan yang sengit. Kemudian Amanda menoleh pada Arion yang juga telah beranjak dari duduknya. “Nah, kamu, mau kemana Arion?” “Tidur,” jawab Arion singkat. Amanda tersenyum tipis. “Ya, kamu harus cepat tidur malam ini Arion. Karena besok adalah hari yang sangat sibuk. Sana, istirahat ya, anak Mama yang paling ganteng.” Lalu Amanda ikut berdiri, dia berjalan mendekati Arion, dan mencium pipi sang putra bungsu. Setelah pamit, Arion langsung berjalan menuju kamarnya, yang bersebelahan dengan kamar Aruna di rumah ini. Sesampainya di kamar, Arion langsung mencari handphonenya. Dia duduk di tepi ranjang, mengutak-atik layar handphone, hingga menemukan kontak Mentari. Mereka berdua memang sudah bertukar nomor telepon, untuk memudahkan komunikasi, hanya untuk hal-hal penting saja. [Besok pagi bersiaplah. Aku akan jemput kamu dan ibumu.] Arion mengirim pesan singkat untuk Mentari. Dia menunggu balasan sambil terus menatap layar handphone. Namun karena tak juga dibaca pesannya oleh Mentari. Arion meletakkan handphonenya di atas meja nakas, lalu merebahkan badan di ranjang empuknya. Arion pikir, mungkin saja gadis itu sudah tidur. Baru saja Arion mengambil sebuah buku, suara dering singkat terdengar dari handphonenya. Segera Arion meletakkan kembali buku itu, lalu duduk dan mengambil handphonenya. Ada nama Mentari di layar. Itu balasan pesan dari Mentari. [Mau kemana?] [Ke La Parisienne Hotel.] Arion juga membalas dengan singkat. [Mau ngapain ke hotel?] Arion menarik napas dalam-dalam. Pikirnya, pasti Mentari sedang menyangka yang tidak baik padanya. Dia kembali menulis pesan. [Itu adalah hotel milik keluargaku. Besok kamu dan ibumu sudah harus menginap di hotel itu. Untuk persiapan hari pernikahan.] Arion menunggu balasan beberapa saat. Hingga handphonenya kembali berbunyi, pesan dari Mentari kembali masuk. [Tapi besok pagi aku masih ada kelas kuliah.] Kening Arion mengernyit. Ternyata bukan hanya dirinya yang sebetulnya tidak terlalu peduli dengan pernikahan ini. Sepertinya Mentari pun sama saja dengannya. [Izin saja dulu. Kamu tidak mengundang teman kuliah atau dosen ke pernikahan?] [Nggak.] Arion menarik napas dalam-dalam. Sekarang dia berpikir, bahwa Mentari tidak hanya tak peduli pada pernikahan ini, tapi juga menganggapnya tak penting. [Ya sudah. Bisa izin kuliah besok?] [Bisa saja. Tapi besok pagi ibu jualan gorengan dulu, terus cuci baju di rumah orang. Bisa jemput agak siangan saja?] Kedua bola mata Arion membelalak membaca pesan dari Mentari.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN