BAB 10. Presidential Room Untuk Mentari

1172 Kata
Pikir Arion, bagaimana mungkin seseorang yang akan menikah esok harinya, lalu hari ini masih terpikir untuk berjualan. Dengan sedikit geram, Arion kembali membalas pesan itu. [Sebaiknya ibumu tidak perlu berjualan dulu mulai besok, hingga beberapa hari ke depan, supaya fokus dulu dengan pernikahan ini. Walaupun kita berdua tak menginginkan pernikahan ini, tapi tetap saja akan dihadiri oleh banyak orang, terutama anggota keluarga.] Arion mencoba menjelaskan dengan lebih eksplisit, yang padahal menurutnya tanpa dijelaskan seperti itupun, semestinya Mentari sudah paham. [Tapi aku sudah buatin adonan gorengannya malam ini, jadi besok habis subuh ibu tinggal goreng aja. Kalau besok nggak jualan, mubazir dong.] “WHATSSS? You’re kidding?!” seru Arion seraya menjauhkan tangannya yang memegang handphone. Arion si manusia kulkas, yang biasanya hanya bersikap dingin dan acuh tak acuh. Sekarang justru tersulut emosinya hanya karena berkirim pesan saja dengan Mentari. “Ish! Dia ini kan anak kuliahan, mahasiswi, masa’ sampai nggak kepikiran untuk fokus dulu sama pernikahan ini sih?!” Arion jadi menggerutu sendiri di kamarnya. Setelah menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan diri sendiri, Arion kembali menatap layar handphone. Lalu dia mulai mengetik pesan lagi. [Besok gorengannya biar aku yang borong. Kamu nggak usah takut mubazir. Besok jam 8 pagi, aku jemput kamu dan ibumu. Lalu langsung menginap di hotel.] Tak ada balasan lagi dari Mentari. Arion pun tak terlalu peduli, dia merebahkan badannya. Dan tertidur lelap dengan cepat. Keesokan paginya, tepat jam 8. Benar-benar Arion sendiri yang menjemput ke rumah Mentari, sesuai dengan janjinya semalam. “Tunggu sebentar ya Nak Arion, Ibu mau pilih-pilih lagi baju yang bagusan untuk dibawa, kan malu pakai baju lusuh di hotel,” ucap Astri lalu terkekeh pelan sambil menutup mulutnya. “Ibu!” tegur Mentari yang sedang mengangkat sebuah tas besar untuk dia bawa ke hotel. Sepertinya tas itu cukup berat, karena Mentari terlihat bersusah payah mengangkat dengan kedua tangan. Arion melihat keheranan pada Mentari. Dia sudah mengulurkan tangan untuk membantu tapi Mentari menepis tangan Arion. “Apa isi tas itu? Kelihatannya berat sekali.” Masih jauh lebih berat beban hidupku yang harus tiba-tiba menikah denganmu. Batin Mentari yang menjawab. “Itu, baju-bajumu ya?” tanya Arion lagi. “Iya betul Nak Arion, itu tas isinya baju-baju Mentari. Sudah Ibu pilihin tadi yang lumayan bagus, juga ada sepatunya Mentari, makanya berat begitu.” Arion tampak berpikir sejenak, kemudian dia coba bicara dengan hati-hati. “Bu Astri maaf, begini saja, daripada Bu Astri dan Mentari berat-berat bawa baju dari sini. Bagaimana kalau nanti kita beli saja untuk kebutuhan selama menginap di hotel?” Mendengar itu, seketika kedua bola mata Astri tampak berbinar penuh haru. Sudah terlihat berkaca-kaca. Karena baru kali ini ada yang mengajaknya untuk membeli pakaian baru seperti akan membeli permen saja. “Nggak perlu. Pakai yang ada saja sudah cukup,” sergah Mentari sambil mendelik pada Arion. Seketika itu juga binar haru di kedua bola mata Astri berubah menjadi lirikan tajam pada sang putri. Arion cukup kaget juga dengan ucapan Mentari itu. Dia menatap gadis itu untuk beberapa saat. Namun tiba-tiba bayangan sang mama berkelebat di kepala Arion. Terbayang mamanya itu akan memandang sebelah mata nanti pada penampilan Mentari serta ibunya. Maka sebetulnya niat baik Arion adalah untuk memberikan pakaian yang lebih pantas dikenakan, nanti saat di hotel, terlebih lagi saat bertemu dengan para anggota keluarganya. Sudah tentu hari ini keluarga besar dari mama atau papanya akan mulai berdatangan. Hotel sendiri sudah disiapkan untuk menampung seluruh anggota keluarga, mulai dari hari ini. Jadi, hotel sementara ditutup untuk umum. Dan hotel itu adalah milik Oma Indira. Yang seharusnya dikelola oleh Aruna, tapi gadis galak itu justru menolaknya. Sehingga terpaksa Arion yang mengelolanya, selain kesibukannya sebagai dokter obgyn. Arion tak dapat memaksa Mentari untuk meninggalkan saja tasnya. Ternyata gadis sederhana itu memiliki sifat keras kepala seperti Aruna. Jadi dibiarkannya saja Mentari tetap membawa baju-bajunya sendiri. Sesampainya di hotel, Mentari serta ibunya bagaikan magnet bagi orang-orang sekitar. Para tamu hotel yang kebetulan sedang berada berada di lobi sontak melirik seketika, beberapa diantaranya bahkan jelas-jelas sedang menatap keheranan. Sebab penampilan ibu dan anak itu terlihat begitu kontras berada di dalam hotel bintang lima yang mewah ini. Sebetulnya para karyawan hotel yang kebetulan berpapasan atau melihat Mentari dan ibunya juga tampak terkejut. Namun mereka hanya berani melirik diam-diam saja, sebab sang bos besar, Arion, tampak berjalan bersama mereka berdua. “Ssttt siapa perempuan yang berjalan di samping Pak Arion itu?” bisik seorang receptionist pada rekan kerjanya. Yang ditanya hanya mengedikkan kedua bahunya, tapi tatapan matanya tetap mencuri pandang pada Arion dan juga Mentari serta ibunya. Lalu seorang wanita berparas manis dengan riasan sedikit tebal, tampak tersenyum tipis. Dia adalah housekeeping manager di La Parisienne Hotel and Spa. “Paling itu adalah pembantu barunya Pak Arion. Mungkin di sini hanya transit, mereka berdua dari luar daerah, lalu nanti akan ditugaskan di salah satu rumah mewah milik keluarga Albern. Hemm, orang-orang tidak penting!” desis wanita cantik itu. Seketika mereka yang mendengar ucapan sinis itu, hanya mengangkat kedua bahu, lalu memilih untuk kembali pada kesibukan masing-masing. “Kita naik lift, karena kamar Mentari dan ibu ada di lantai 9,” jelas Arion, lalu menekan salah satu tombol hingga pintu lift terbuka. “Baik,” jawab Mentari singkat. Sedangkan Astri bahkan tak mendengar ucapan Arion itu, sebab sejak dia menginjakkan kaki di hotel mewah itu, matanya terlalu sibuk mengagumi interior hotel mewah itu. Bahkan seringkali mulutnya berdecak kagum dengan tanpa sadar. Sehingga semakin menarik perhatian orang-orang sekitar. Mereka sampai di lantai 9. Lantai itu khusus untuk kamar presidential suite. Arion membuka pintu salah satu kamar, tadi dia telah mengambil kuncinya di receptionist. Kamar itu tepat berseberangan dengan kamarnya sendiri. Semua kamar di lantai 9 memang untuk sementara ini khusus untuk ditempati oleh keluarga inti dan sanak saudara, sampai dengan acara pernikahan selesai. Sedangkan kamar Arion sendiri di sana, memang dari awal khusus untuk dirinya tinggal, sejak dia mulai mengelola hotel itu. “Silakan,” ucap Arion dengan datar tapi tetap terkesan ramah. Mentari dan ibunya memasuki kamar yang luas itu. Astri tak dapat menyembunyikan perasaannya sama sekali. Jelas terpancar pada wajahnya rasa kagum yang luar biasa. Sampai-sampai dia tak mampu berkata apa-apa. Sedangkan Mentari, sebetulnya dia sama terkejutnya dengan ibunya. Tapi masih sanggup bersikap lebih tenang. Hanya saja Mentari justru terdiam mematung, dia tak berani menyentuh apapun di dalam kamar itu. Takut akan merusaknya dan nanti malah akan harus ganti rugi. Mana sanggup, pikirnya. Arion tersenyum melihat Astri, tapi keningnya langsung mengernyit begitu melihat Mentari yang mematung. Segera dia menghampiri gadis itu. “Kenapa? Apa kamar ini kurang nyaman untukmu? Masih ada pilihan kamar lain yang kosong. Setiap presidential room di lantai ini, memiliki desain yang berbeda. Jadi kamu bisa memilih mana yang kamu suka,” ucap Arion sambil tersenyum. “Ah, bukan begitu! Aku suka, suka sekali!” balas Mentari dengan cepat. “Tapi ….” “Tapi apa?” “Tapi apa kamar ini nggak terlalu bagus untuk kami? Aku takut nanti ada barang yang dirusak nggak sengaja. Aku orangnya ceroboh soalnya,” ucap Mentari pelan lalu menundukkan kepala. Astaga! Anak ini ternyata benar-benar masih ingusan, polos sekali dia. Arion membatin.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN