Satu: Aneh

1113 Kata
"Setiap orang punya topengnya masing-masing." *** Bagaimana perasaan kalian ketika menjadi orang pertama yang datang ke kelas? Bangga? Atau, bahkan menyesal karena datang terlalu pagi? Bagi Rayna, datang paling pagi sudah menjadi hal biasa baginya. Setelat apapun, masih dialah orang pertama yang menyalakan lampu kelas. Seperti saat ini. Jam sudah menunjukkan jam setengah 7, tapi kelas masih kosong melompong. Berbeda sekali dengan suasana depan kelas yang mulai ramai oleh murid yang berdatangan. Rayna cuman bisa menipiskan bibir, mulai beranjak dari kursinya dan beranjak keluar. Tidak, Rayna tidak takut. Cuman kupingnya sakit saja mendengar speaker sekolah yang sudah menyetel lagu-lagu dangdut dengan volume kencang. Sekolahnya memang seaneh itu, persis seperti murid-muridnya. nggak percaya? "Kok muka lo kayak cumi-cumi sih?" Rayna mendengus, ingin mengumpat saja rasanya saat Adrian menyapa sebelum masuk ke dalam kelas. "Masih pagi loh, Dri. Pengen gue tendang?" tanya Rayna dengan senyum ramah, namun kata-katanya penuh ancaman. Adrian tak peduli, mengangkat bahunya cuek dan kembali bermain ponselnya. "Duh tolong ya, menepi dulu Putri Indonesia mau lewat." Rayna mengerjap, menghela napas melihat kelakuan teman kelasnya yang lain. Di ujung koridor, sudah ada Uti yang melambai-lambaikan tangannya penuh percaya diri. Tak lupa tas bekal warna hijau yang ia pegang layaknya tas mahal. Tak memperdulikan tatapan murid lain yang menahan tawa mereka melihat aksinya itu. "Ti, ada Kak Azam!" teriak Rayna cukup kencang, sukses membuat Uti kelabakan dan berlari rusuh ke dalam kelas. Meninggalkan Tere yang tertawa terpingkal-pingkal melihatnya. "Ray, nggak lucu ah," rengek Uti menyembulkan kepalanya lagi di depan pintu. "Jangan bawa-bawa pangeran aku dong. " Rayna menaikkan sebelah alisnya, tersenyum penuh ejekan. "Aku nggak peduli Ti, " sahutnya cuek, jadi bersandar pada pintu yang terbuka lebar. "Makanya pagi-pagi jangan drama-" "Permisi." Rayna sedikit berjengit kaget, namun langsung bersorak heboh saat tau siapa yang berbicara. "GI! LO UDAH NONTON VIDEO TWICE?!!"serunya bersemangat, jadi mengekori Egi yang berjalan menuju kursinya. "GI! EGI!!" Uti ikut berseru heboh, menarik kursi terdekat dan meletakkannya di samping meja Egi. "SUMPAH GI! TZUYU CAKEP BANGET!" Egi mendesah pelan, memegangi kupingnya yang nyut-nyutan karena berhadapan dengan 2 orang bersuara kencang. Ini masih pagi dan dia belum bangun sepenuhnya, tapi harus sudah mendengar suara yang bahkan kencangnya melebihi suara speaker sekolah. Apa mereka tak lihat lingkaran hitam di bawah matanya? "Jangan spoiler dulu, belum nonton," ujar Egi, mendengus pelan. Teringat dirinya yang disibukkan mengerjakan PR dan tugas ekskul hingga tak sempat menonton video grup K-Pop favoritnya. Sudah mengambil posisi untuk tidur sebentar hingga bel masuk berbunyi. Mengabaikan kedua teman sekelasnya, yang refleks kehilangan antusias. "Yah Gi, sayang banget. Si-" "Bodo!" Pokoknya Egi nggak mau denger apapun, selama dia belum nonton videonya. *** Egi mengerjap-ngerjapkan matanya, sesekali memukul pelan pipinya agar tetap terjaga. Dia nggak mau ketiduran dipelajaran matematika. Tidak menyimak saja dia nggak ngerti, apalagi ditinggal tidur. Bisa-bisa nilai Egi di bawah KKM. Lagian kenapa sih kelasnya tuh harus senyaman ini? AC yang dua-duanya disetel 16 derajat, jendela yang tertutup gorden, ditambah Pak Min yang ngejelasin dengan suara nggak jelas dan membosankan. Kan jadi bikin ngantuk, apalagi Egi memang tidur telat semalam. Keasikan main game. Egi memperhatikan seisi kelas, menyadari bahwa teman-temannya sudah mulai kehilangan fokus. Ada yang bermain game diam-diam, bercermin, bahkan tidur. Sudah tak peduli lagi dengan pelajaran matematika di depan. "Ah, lucu." Egi menoleh ke belakang, mendapati Rayna yang sudah tak fokus sepenuhnya ke depan. Gadis itu sedang melihat ponselnya yang disandarkan pada botol minum. Sesekali menahan teriakannya, lantas bersemu merah. Beberapa kali ia meremas jaket almamaternya, menahan gemas. Berbanding terbalik dengan Vina, yang sudah tidur pulas di sampingnya. "Ngapain sih?" tanya Egi berbisik, penasaran sendiri. "Nonton apaan?" "Wanna one, Zero Base."Rayna menjawab cepat, masih dengan senyum bodohnya. "Duh gemes," ucapnya pelan, menempelkan dahi ke meja dan tertawa tanpa suara. "Loh, bukannya mereka udah-" "Gi, lo lanjutin omongan lo. Pulpen ini, gue lempar." Rayna mengancam, mengacungkan pulpen lancipnya ke arah Egi. Mencegah pemuda itu, mengatakan kata-kata yang tak mau ia dengar. "Udah sana perhatiin Pak Min lagi." Egi mendengus, menurut karena Rayna tak pernah main-main akan ancamannya. Terakhir kali ia menganggap ancaman Rayna sebatas candaan, dia harus tabah ketika gadis itu memukulnya dengan gagang pengki karena tidak mau piket. Rayna memang seseram itu, tapi recehnya minta ampun. "Hehehe." Apalagi kalau soal Korea. *** "Gi!" Egi membalikkan badannya, menoleh kearah Vina yang sudah berlari kearahnya. "Lo liat Rayna nggak?" tanya gadis itu langsung, tepat ketika dia berdiri di depan Egi. "Ini ekskul gue mau eval adik kelas, dan dia tim disiplinnya." "Nggak ada di kelas tadi Vin," ujar Egi menutup pintu kelas yang memang sudah kosong. Rata-rata teman sekelasnya memang sudah beranjak melakukan kegiatan ekskulnya masing-masing. Termasuk Egi yang baru mau menuju kelas tempat ekskulnya berkumpul. "Tadi bukannya udah sama lo?" "Iya, tapi tadi dia izin ke UKS buat ngambil obat anemia teman gue yang kambuh. Malah nggak balik-balik." Vina mengigit bibirnya, mengeluarkan ponselnya dari dalam saku rompi dengan panik. Egi mengernyit, bingung sendiri akan Vina yang biasanya tenang sekarang benar-benar panik. "Santai Vin, nggak usah panik," ujar Egi menepuk-nepuk pelan pundak Vina. "Nggak bakal kenapa-kenapa teman lo itu." Vina cuman tersenyum, senyum yang terlihat terpaksa. "Yaudah Gi, gue nyari Rayna lagi ya," pamit Vina, kini berlari menyusuri koridor. Meninggalkan Egi dengan pertanyaan yang tertahan. Egi mendengus,mencoba menghilangkan rasa penasarannya. Bagaimanapun juga Vina dan Rayna adalah teman sejak kecil, jadi wajar kalau ada hal yang memang mereka berdua saja yang tau. Kalau sampai Vina sepanik tadi, itu berarti memang ada masalah serius. Egi jelas tidak berhak ikut campur. Laki-laki itu berbelok di ujung koridor, bersiap menaiki anak tangga kembar yang berada dekat perpustakaan. Tangga yang jarang digunakan anak sekolahnya, kecuali hendak menuju lab ataupun melihat pengumuman di mading sekolah. Cuman di jam-jam seperti ini, wilayah tangga tersebut sepi. Merasa melihat sesuatu, Egi menghentikan langkahnya. Dia menoleh ke belakang, tak mendapati siapapun di sana. Penasaran, cowok itu memutar langkahnya dan kembali turun. Dia berjalan ke arah perpustakaan, melihat seseorang perempuan berdiri mematung di depan mading. "Rayna?" panggil Egi memastikan bahwa orang yang ia lihat memang teman sekelasnya. Namun, dia tercekat ketika melihat Rayna sudah berurai air mata. "Ray, lo kenapa?" Rayna tak menjawab, gadis itu hanya mendengus langsung berlari menaiki anak tangga setelah mengusap air matanya kasar. Melewati Egi begitu saja, yang masih kaget melihat Rayna. Cowok itu mengernyit, penasaran apa yang dilihat Rayna hingga menangis seperti itu. Egi melangkah mendekat, menghampiri mading sekolah yang berada dekat perpustakaan. Tempat di mana informasi sekolah, lomba dan murid-murid berprestasi tertempel. Beruntungnya mading sedang kosong, karena memang baru masuk sekolah. Hanya ada satu artikel yang tertempel disana. Tentang Lia, murid sekolah mereka yang baru-baru ini menerbitkan n****+ keduanya. Penulis sukses yang menjadi kebanggaan sekolah. Menimbulkan tanda tanya besar di benak Egi saat ini. Kenapa Rayna sesedih itu melihat artikel tentang Lia?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN