"Iya," jawab laki-laki tampan bertubuh tinggi besar itu, tubuh Nara terlihat mungil saat berdiri di sebelahnya. Nara tersenyum mendengar jawaban yang ia berikan.
Sebenarnya Gadis itu ingin bertanya lebih banyak lagi, seperti di mana Anna sekarang misalnya, tapi ia merasa segan terlebih lagi ketika laki-laki itu sibuk dengan ponselnya. Nara hanya sekilas melirik wajah laki-laki itu lalu merasa semakin yakin jika ia pernah melihatnya di suatu tempat tapi Nara benar-benar tidak ingat.
Ting ...
Suara itu terdengar menandakan lift yang mereka naiki sudah sampai di lantai dasar dan tidak lama kemudian pintunya terbuka membuat beberapa orang yang ada di dalamnya berjalan keluar begitu juga Nara yang sudah bersiap untuk mengambil langkah, gadis itu sekilas menoleh dan tersenyum pada suami Anna begitu juga dengan laki-laki tersebut.
Laki-laki itu langsung mengalihkan perhatiannya pada ponsel yang ia genggam, dan langsung menaruh benda itu di telinganya.
"Yes Hilda, I'm coming darling."
Nara berdiam mendengar suami Anna berbicara dengan seseorang di ponselnya, Gadis itu menatap laki-laki itu berjalan keluar dari lift begitu saja.
"Hilda?" gumam Nara seraya melangkah keluar dari dalamnya lalu keluar dari unit apartemen, "aku juga kayak pernah dengar nama itu."
Gadis cantik itu masih belum tahu ke mana dia akan menghabiskan waktu hingga dia hanya berjalan di sekitar gedung apartemennya menghirup udara segar musim panas yang tetap terasa menyejukkan.
Nara melihat seorang penjual es krim di depannya, rasa vanilla coklat menjadi pilihannya dan Gadis itu duduk di kursi taman sambil menikmatinya.
"Enak banget sih hidup begini, bisa santai-santai nggak usah pusing mikirin kuliah tapi kan bete juga, nggak ada temen, Nggak ada kegiatan," ucap Nara lirih sepertinya Gadis itu sudah tertular kebiasaan Kala berbicara pada ikan peliharaannya dan saat ini Nara berbicara pada es krim yang dipegangnya, Gadis itu terdiam saat teringat sesuatu.
Tiba-tiba saja ingatannya seperti tertarik mundur pada malam terkutuk yang sudah Ia alami tanpa sedikit pun dia inginkan.
"Walaupun seingat aku waktu aku mabuk aku ngobrol sama patung tapi logikanya kan nggak mungkin aku ngobrol sama patung, apalagi aku tuh jelas-jelas dengar suara dia. kayaknya waktu itu aku curhat tentang Valdo dan dia curhat tentang penghianatan pacarnya," gumam Nara saat perlahan ingatannya seolah kembali terbuka pada apa yang sudah terjadi di malam itu.
Nara tiba-tiba terkesiap dengan kedua mata indahnya yang membola, gadis cantik itu menutup bibirnya yang tanpa sadar menganga saat ingatannya kembali berkata sesuatu padanya tentang malam itu.
"Waktu malam itu aku maki-maki Valdo, cowok itu juga maki-maki pacarnya. namanya Wilda, Melda atau jangan-jangan Hilda?" gumam Nara, gadis cantik itu mengerjap-ngerjapkan matanya seolah sedang benar-benar berusaha mengingat-ingat sesuatu, lalu ia malah teringat suami Anna di lift tadi menelepon seorang bernama Hilda dengan begitu mesra.
"Oh my God! jangan-jangan suami tante Anna itu selingkuh sama orang yang namanya Hilda, kasihan banget tante Anna kalau diselingkuhin. padahal tante Anna cantik banget gitu, aku yang masih pacaran diselingkuhin aja rasanya sakit apalagi tante Anna yang udah jadi istri terus diselingkuhin!" omel Nara, Gadis itu lalu tersadar es krim yang dipegangnya sedikit meleleh dan dengan cepat Nara memakannya.
"Tapi di mana Aku pernah ngeliat suaminya tante Anna? wajahnya benar-benar familiar buat aku," gumam Nara sambil menjilati es krimnya Gadis itu lalu terbatuk-batuk tersedak saat dia kepikiran sesuatu, tapi Nara lebih dulu menenangkan dirinya menghentikan batuknya dengan menarik nafas pelan-pelan dan menghembuskannya dengan tenang.
"Namanya Hilda, Iya aku ingat banget cowok yang malam itu ketemu aku di club maki maki cewek yang namanya Hilda, terus tadi suaminya tante Anna juga teleponan mesra sama cewek yang namanya Hilda dan aku ngerasa pernah ketemu sama suaminya tante Anna aku yakin banget pernah melihat wajah itu. Jangan-jangan, cowok yang malam itu suaminya tante Anna?" rasanya ingin sekali tidak percaya, tapi sepertinya bukti itu cukup membuat keyakinan Nara menguat.
"Tapi apa itu mungkin? terus kalau bukan malam itu, aku pernah ngeliat suaminya Tante Anna dimana? tapi kemungkinan itu tetap aja ada sih, apalagi kemarin Tante Anna bilang kalau mereka baru pindah ke sini karena suaminya dipindah tugaskan di sini berarti sebelumnya mereka tinggal di Indonesia. kalau mereka tinggal di Jakarta kemungkinannya semakin besar, kalau gitu aku harus cari tau sebelum tinggal di sini Tante Anna sama suaminya tinggal di mana!" Nara sama sekali tidak mempedulikan jika orang-orang yang melintas di depannya mengira dia kurang waras karena dari tadi dia berbicara sendiri tapi semua pikiran itu berputar-putar di otaknya saat ini.
"Tapi buat apa aku cari tau ya? Aku kan nggak mau minta tanggung jawab dari dia apalagi kalau dia suami orang, tapi aku juga penasaran aja sih," gumam Nara sebelum menghabiskan es krimnya.
"Tapi gimana caranya aku cari tau?" kata Nara sembari menyantap es krimnya tak tersisa, "oh iya tato itu!"
Nara langsung mengambil ponselnya dan menelepon sang asisten rumah tangga.
"Halo, Non Nara? ada apa udah malam gini telepon?" kata Bik Rum yang sudah lelap dalam tidurnya dan terbangun karena panggilan Nara.
"Bik, maaf ya kalau malam-malam aku ganggu, Aku mau minta tolong sama bibi, bibi ambil buku yang ada di lemari pajangan ruang tamu terus bibi fotoin coret-coretan yang aku bikin di bagian belakangnya sekarang tapi jangan sampai Mama sama Papa tau," pinta Nara teringat dia pernah berusaha menggambar tato laki-laki yang dilihatnya saat itu di buku tersebut.
"Iya Non, tunggu sebentar ya," jawab Bik Rum yang langsung bergegas keluar dari kamarnya untuk melakukan apa yang Nara minta.
Bik Rum membawa buku yang Nara maksudkan ke dalam kamarnya, lalu melakukan panggilan video pada Nara sambil menunjukkan buku tersebut di halaman belakang seperti yang Nara katakan tadi.
"Yang ini ya Non?" tanya Bi Rum memastikan.
"Iya Bik yang itu, tolong Bik Rum fotoin yang jelas terus kirim ke aku ya, setelah itu Bik Rum simpan buku itu baik-baik. terima kasih ya Bik, sekarang Bik Rum boleh tidur lagi," pungkas Nara, tidak lama kemudian foto yang Nara minta masuk ke dalam ponselnya.
Dengan seksama Gadis itu memperhatikan coretan yang ia buat di atas bukunya, Gadis itu kembali menggerutu kesal, "Kenapa sih kamu g****k banget Nara? padahal waktu itu kan kamu bawa HP kenapa tato cowok itu nggak kamu foto aja sih!"
"Tapi kan waktu itu aku panik banget mana sempet inget buat nyalain kamera HP, tas aku nggak ketinggalan aja udah untung!" kata Nara lagi untuk menjawab ucapannya sendiri gadis itu tetap memperhatikan coretan tangannya dari foto yang Bik Rum kirimkan tadi.
"Ini beneran kayak huruf L ini kayak huruf V, ini tato maksudnya apa sih?" gumam Nara sambil membolak-balikkan ponselnya, "tunggu dulu! kemarin Om Kala bilang kalau suaminya Tante Anna namanya Levin. berarti Tato ini bacanya bukan VILA kayak yang aku duga sebelumnya tapi bisa jadi ini inisial nama dia Levin!"
"Jadi beneran cowok itu dia? beneran cowok malam itu suaminya Tante Anna?" kata Nara nyaris terpekik karena keyakinan mengejutkan yang baru saja memasuki pikiran dan hatinya.
"Tapi aku harus menyelidikinya lagi, aku harus ngedeketin Tante Anna buat cari informasi apa benar suaminya punya tato ini di punggungnya," kata Nara lagi berusaha mencari bukti penguat lain untuk keyakinannya, tidak ada niat lain di dalam hati dan pikiran Gadis itu sekarang hanya dipenuhi oleh rasa penasaran.
Seperti itulah Nara, Gadis itu belum bisa puas sebelum mendapat jawaban dari rasa penasarannya apalagi untuk hal sebesar ini.
"Tapi gimana caranya aku ngedeketin tante Anna?" gerutu Nara, gadis cantik itu kembali menatap layar ponselnya lalu tersenyum ketika sebuah ide masuk ke kepalanya.
Nara langsung mencari nomor telepon Kala dan menghubungi laki-laki itu.
"Iya, Nara," jawab Kala dengan suara datar dan dingin seperti biasanya.
"Om kita makan siang bareng yuk, ini udah waktunya makan siang kan. jangan kerja terus Om, Nanti Papa tambah kaya!" kata Nara dengan begitu ceria Gadis itu dengan begitu mudah menyembunyikan segala rasa bingung dan penasaran yang sedari tadi menguasai pikirannya.
Kala menghela nafas panjang mendengar apa yang Nara katakan, Gadis itu memang aneh mana aja anak orang lain yang tidak mau ayahnya menjadi semakin kaya, "Kamu di mana sekarang?"
"Aku di taman dekat apartemen sih, dari tadi duduk sendirian sambil makan es krim tapi aku malah tambah laper," jawab Nara seperti biasanya apa yang Gadis itu katakan melebihi dari jawaban yang Kala inginkan.
"Sepuluh menit lagi Om sampai sana!"
Nara menunggu kedatangan Kala tetap dengan pikirannya yang berputar-putar seputar Anna dan suaminya.
"Mau makan apa?" tanya Kala begitu laki-laki itu berdiri di sebelah kursi yang Nara duduki sedari tadi.
"Telat tiga menit!" kata Nara sambil menunjukkan jam di ponselnya, Kala hanya berdecak kecil meresponnya, "terserah Om deh mau makan apa, om kan yang udah lama tinggal di sini jadi lebih tau makanan apa yang enak."
Tidak berapa lama kemudian keduanya sudah duduk berhadapan di sebuah restoran sambil menunggu makanan pesanan mereka datang.
"Om, Om tau nggak sebelum tinggal di sini Tante Anna sama suaminya tinggal di mana?" tanya Nara membuat Kala yang semula sibuk dengan layar ponselnya langsung mengangkat wajah dan menatap Gadis itu dengan tatapan tidak suka.
"Om tau nggak ternyata Tante Anna sama suaminya tinggal satu apartemen loh sama kita, tadi waktu turun aku satu lift sama suaminya," sambung Nara, wajah Kala terlihat semakin tidak suka, laki-laki itu jadi langsung memikirkan untuk pindah tempat tinggal mungkin mewujudkan keinginan Nara untuk tinggal di sebuah rumah yang memiliki halaman agar Gadis itu bisa duduk-duduk di sana sambil menikmati udara segar.
"Om belum jawab pertanyaan aku, sebelum tinggal di sini Tante Anna sama suaminya tinggal di mana? Om tau nggak, tadi aku dengar suaminya tante Anna teleponan mesra banget sama perempuan tapi bukan sama tante Anna, dia nyebut nama perempuan lain."
"Stop Nara!"
Dengan begitu tegas dan suara meninggi Kala meminta Nara diam. Keduanya benar-benar terdiam, terutama Kala saat melihat Nara mematung dengan air mata membasahi pipinya.