Bab 3. Larangan Aneh

1076 Kata
Sing pinter tur bener Sing jujur tong bohong! Ulah nganyerikeun batur! Ngarah hirup loba dulur … (1) Jadilah orang pintar dan baik Jadilah orang jujur dan jangan berbohong! Jangan pernah menyakiti hati orang lain! Agar hidup banyak bersaudara … (2) * Mungkin ini yang dimaksud dengan, “Kudu bisa ka bulu ka bale.” Harus bisa menyesuaikan diri dalam lingkungan yang seperti apapun. Tidak … tidak …! Bukan karena tempat ini adalah daerah yang asing bagiku, tempat ini ternyata ada di … daerah Puncak Bogor, masih daerah Sunda. Suhu dingin yang masih bisa diatasi, kebudayaan sekitar yang masih bisa diikuti. Tapi … ini yang aneh bagiku. Tempat buang air yang harus dilakukan dengan duduk, keran yang tidak diputar ke kiri dan kanan melainkan ke atas bawah, hordeng (tirai) yang bukan terbuat dari kain yang ditekuk-tekuk melainkan dari bahan macam karet PVC bergaris-garis (tirai horizontal blind). Aku hanya merasa aneh saja begitu melihat bangunan ini sejak dari kejauhan. Bangunannya sangat tinggi, kupikir ini adalah istana kepresidenan, ternyata bukan. Mereka menyebutnya dengan sebutan … mansion. Aku hanya pernah mendengar kata mansion dari sebuah manhwa Jepang bertema vampir yang tinggal di mansion. Tidak pernah kukira, ternyata ada pula manusia yang tinggal di mansion. Aku benar-benar serasa dibawa ke lingkungan baru. Inilah yang aku maksud beradaptasi. Karena apapun yang ada di sini benar-benar terlihat aneh dan tak biasa bagiku. Tok tok tok Kudengar pintu kamarku diketuk. “Tuan muda, ini aku, apa Anda sudah selesai bersiap?” Ucapan dari luar itu mengagetkan sekaligus mengingatkan aku jika aku harus berganti baju dengan yang sudah mereka siapkan. “Ah, iya. Tunggu sebentar!” Sebuah setelan jas hitam, kemeja putih dan celana yang senada dengan warna jas. Bahannya terlihat mahal, jahitannya sungguh rapat, baju ini mirip dengan baju ber-merk yang sering kutemui di pasar Gede Bage, namun bedanya … baju ini terlihat begitu kinclong, seperti masih baru. Aku pun mengenakan setelan yang telah disediakan ini. Ukurannya begitu pas, bahkan terasa sangat nyaman bila kupakai. Bagaimana mereka bisa menemukan baju untuk ukuranku dengan begitu tepat? Waah, baju mahal memang rasanya berbeda bila dipakai. Mak, seandainya bukan emak yang bilang agar aku percaya dengan Tuan Dwipa, sepertinya … aku tidak akan datang dan memakai baju seperti ini. Jadi Ujang, untuk sekarang, jangan mudah terlena terlebih dahulu. Aku pun membuka pintu dan seorang wanita cantik sedang menungguku di depan pintu. Dia nampak memandangiku dari atas ke bawah, melihat caraku berpakaian, lalu berputar ke kiri dan kanan untuk melihat bagian tubuhku yang lain. Apa yang sedang dia lakukan? Jadi perempuan, dia sungguh agresif. “Ada yang kurang, Tuan Muda.” Aku hanya diam saja tak meladeni ‘hal yang kurang’ itu menurutnya. Dia mendorong sedikit bahu kananku dengan telunjuknya, lalu bergantian dengan bahu kiri yang didorong masih dengan telunjuk lentiknya. Dia mengapit daguku tiba-tiba menggunakan ibu jari dan telunjuk itu, meminta aku mengangkat wajah dan menatap matanya. Kemudian tangannya mengarah ke kanan dan ia goyangkan jari tengah seakan memanggil seseorang. Lalu seorang pelayan membawa sesuatu di atas nampan dan wanita itu langsung mengambil benda panjang berwarna biru hitam bergaris-garis tersebut. Dengan wajah yang terangkat, ia kembali membuka kerahku, menempatkan benda panjang itu melingkar di leherku lalu ia membentuk simpul dan kembali menurunkan kerah kemejaku. Ia pun lantas mengusap dengan sedikit menepuk bagian jasku dari kanan dan kiri. Lalu ia mundur dua langkah dan memicingkan matanya seraya berkata, “Perfect!” Setelah demikian, dia pun mengulurkan tangannya. “Perkenalkan, Tuan Muda, nama saya Mayang.” Dengan ragu, aku menyambut uluran tangan Mayang. “Aku … U … Ujang.” Sial, baru kali ini aku melihat gadis yang sangat cantik lebih dari Mawar, hal ini membuat aku gugup. “Senang berkenalan dengan Anda, Tuan Muda.” Begitu melepas tangannya dariku, dia pun berjalan berbalik arah. Meninggalkanku yang masih berdiri di depan pintu kamar bersama dua orang pria yang berdiri di sisi kiri dan kanan kamar ini. Pria ini diam saja sejak tadi, sama sekali tak menyehuti obrolanku dengan Mayang. Mataku masih tak bisa lepas dari lekuk tubuh berbungkus gaun hitam itu, berjalan lenggak lenggok menyusuri koridor dengan kaki jenjang yang sangat mulus itu. Bagaimana bisa ada wanita cantik di rumah Tuan Dwipa? Apa dia anak Tuan Dwipa yang lain? Kalau begitu dia adalah adikku? Atau kakakku? “Tuan Muda,” panggil seseorang dari belakangku menyadarkanku akan tatapan pada Mayang yang kini sudah berbelok di ujung koridor. “Ah, iya. Tuan Hudson.” “Mari, saya akan mengantar Anda ke tempat Tuan Dwipa.” Benar-benar, padahal aku baru saja datang. Setidaknya suruh aku tidur dulu sambil menunggu pagi. Kenapa sudah malam begini mereka masih saja meminta orang lain beraktifitas? “Anu …, Tuan Hudson.” Aku memanggil orang yang berjalan di depanku ini. “Iya, Tuan Muda,” jawabnya seraya memiringkan sedikit wajahnya dan tetap berjalan di depanku. “Apa … ini sopan? Eh … maksudku, aku bertamu malam-malam pada Tuan Dwipa, bukankah ini tidak sopan?” tanyaku. Kemudian Tuan Hudson berhenti sejenak seraya menjawab pertanyaanku. “Anda adalah orang yang ditunggu oleh Tuan Dwipa, tidak akan dia merasa terganggu atas kehadiran Anda.” Lalu … dia berjalan lagi dengan satu kalimat lagi ia ucapkan. “Oh ya, Tuan Muda cukup panggil nama saya saja. Di hadapan Tuan Dwipa, akan sangat tidak sopan jika memanggil saya dengan sebutan ‘tuan’.” Aku tak mengerti alasannya kenapa? Namun aku mengangguk saja. “Baik, Tuan Hudson. Emm … maksudku, Hudson.” Rasanya aku yang tidak pantas, memanggil orang yang sangat berkelas sepertinya hanya dengan namanya saja tanpa embel-embel ‘tuan’. Berjalan menyusuri koridor yang diterangi oleh lampu LED ini serasa berjalan di hotel menurutku. Aku belum pernah melihat rumah tinggal dengan lampu penerangan semewah ini. Paling mewah, adalah lampu rumah Pak Kades dengan lampu Phil*ps yang harganya mencapai lima puluh ribu sebiji. Aku benar-benar mendongak melihat lampu-lampu ini, dulu aku hanya pernah melihatnya ketika mempelajari tentang instalasi listrik di rumahan. “Tuan Muda, Anda boleh bertanya apa saja pada ayah Anda nantinya. Namun satu yang dilarang, dan kami beritahu sejak awal pada Anda adalah … jangan pernah menanyakan sesuatu yang berkaitan dengan ibu kandung Anda, karena beliau sangat membencinya.” “Ya Salam!” Aku tercengang. Peringatan macam apa itu? Jika aku ini anaknya, bukankah wajar menanyakan ibunya? Kalau begini, ini benar-benar tidak wajar. “Baiklah, kalau begitu …. Silakan masuk!” * Bersambung …. (1) Dikutip dari lagu Jang yang diciptakan oleh Oon B dalam Bahasa Sunda (2) Diterjemahkan secara bebas ke Bahasa Indonesia oleh penulis, Kak.Ofa
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN