Bab 4. Prana Mulya (Bagian 2)

1106 Kata
“Bagaimana perjalananmu?” Pria berambut putih di hadapanku ini memang sekilas tampak mirip denganku, namun entah mengapa … aku begitu sangsi padanya, maka dari itu aku diam saja tidak menjawab pertanyaannya. “Sudahkah Hudson memberimu makan?” Tidak ada basa-basi atau ucapan apapun untuk pertemuan ini. Dia sungguh orang yang aneh. Apa benar dia adalah ayah yang selama ini mencariku? Tapi … anehnya lagi adalah aku sendiri. Aku yang bisa semudah ini percaya jika orang di hadapanku adalah orangtua kandungku. “Mungkin kau sudah mendengar tentang siapa aku dari Hudson sebelumnya,” ucap orangtua itu seraya berdiri dari tempat duduknya. Dia kemudian berjalan menghampiriku, dan melangkah seraya mengitarkan diri padaku. “Aku adalah Dwipa Mulya dan kau … kau adalah Prana Mulya.” Dia berjalan terus sambil bercerita. Ruangan ini memang cukup luas. Sehingga bila berjalan mengelilinginya, akan cukup sebagai olahraga kaki. “Aku minta maaf, karena keterlambatanku dalam mencari dirimu. Sejujurnya, aku tidak terlalu menyadari jika anakku telah hilang. Tapi wanita itu … wanita itu yang tega meninggalkanmu. Sehingga aku harus mencari dirimu sendiri dalam satu tahun terakhir.” Apa? Jadi dia baru menyadari jika aku hilang dalam satu tahun terakhir. Bukankah itu hal yang sangat konyol? “Aku tidak bisa mengatakan apa alasanku meninggalkan kalian saat itu. Yang jelas, aku minta maaf. Karena kebodohanku, kau jadi hidup sengsara dan terlantar.” Apa orang di hadapanku ini benar-benar minta maaf. Suaranya saja masih terdengar angkuh, seakan tak ada penyesalan sama sekali. Jika seperti ini yang terjadi aku benar-benar tak tahan untuk tidak menanyakan bagaiamana dan di mana asal-usul ibuku. “Hey!” Ya Tuhan. Pria tua ini tiba-tiba saja ada di depan mataku. Apa-apan dia menyimpan wajahnya tepat di depan wajahku? “Kau dengarkan aku?” Aku memandangnya sekilas sambil mengangguk. “Bagus! Aku paling benci diabaikan saat aku berbicara.” Aku hanya menunduk dan mengangguk-angguk sekilas karena dia masih belum beranjak dari tempatnya yang ia benar-benar menatapku dengan begitu tajam dan dalam jarak yang sangat dekat. “Baiklah! Kau boleh keluar! Jika butuh sesuatu, kau tinggal katakan saja pada Hudson.” Mengangguk lagi, hanya itu yang bisa aku lakukan. Pikiranku sedang buntu. Orang ini benar-benar memiliki aura untuk membuat orang lain tak berani berbicara. Mungkin karena itulah, dia bisa menjadi pemimpin yang besar seperti sekarang. Tuk tuk tuk tuk Sebuah langkah dengan ketukan sepatu ber-heels tinggi terdengar mendepat. Langkah yang begitu elegan hingga ketukannya saja seakan berirama. Aku tidak mengerti, begitu banyak orang-orang yang berkelas di mansion ini, ternyata mereka hanya melayani orang tua macam bandot dengan dompet tebal saja. Aku kecewa menjadi anaknya. Suara heels itu ternyata milik Mayang, wanita yang memasangkan dasi ini untukku. Dia melambaikan tangannya padaku. Bukan. Bukan melambai karena menyapaku, tapi melambai dengan jari-jari yang menghadap ke bawah. Iya, dia mengusirku. “Sudah selesai pembicaraan kalian?” tanya Mayang dengan suara yang begitu s*****l. Kenapa tiba-tiba aku merasa mual melihat dia memeluk pria tua di depanku ini? “Pergilah, Nak!” titah dari suara berat nan serak itu padaku. Aku pun berbalik arah dan berjalan keluar dari ruangan itu. “Ah, kau pria nakal memang.” “Kalau begitu kau apa? Kau gadis kecil yang manis?” “Bukan …. Aku ini jalangmu.” “Aku ingin mendengar kau menjerit malam ini.” “Baik, buat aku menjerit dan aku akan menyemburmu.” “Aaah! Kau ini benar-benar!” Aduuuh. Bisa gila aku. Apa benar dia ayahku? Lebih baik aku jadi anak emak saja. Aku pun segera keluar dan menutup pintu dengan sedikit membantingnya. Brak! * Prak reureuh tina kariweuh. Kapasrah ka Nu Kawasa. (1) Sejenak berhenti dari kesibukan. Berpasrah pada Yang Maha Kuasa. (2) Menjelang subuh, tidak ada suara pujian-pujian yang terdengar. Entah karena memang tidak ada masjid sekitar sini yang melakukannya, atau karena bangunan ini yang terlalu besar sehingga bila ada suara dari masjid pun tak terdengar. Aku perlahan menggeser tirai horizontal ini dan mengintip melalui sebuah celah. Cahaya di luar masih berasal dari lampu, langit hitam pekat tak berbintang. Entah karena mendung atau memang tidak ada. Kulirik jam yang menunjukkan pukul 04:11. Apa ini sudah memasuki waktu subuh? Ah, sial sekali. Kenapa mereka tidak melakukan puji-pujian melalui speaker masjid sih? Aku jadi tidak bisa menerka kapan waktu subuh tiba. Ah, sudahlah, biasanya pukul setengah lima pasti sudah masuk waktu subuh. Kalau aku tak kunjung mendengar suara adzan, maka pukul setengah lima aku akan langsung solat saja tanpa menunggu lagi. Masih dengan mengintip ke luar jendela. Tempat terlihat sangat luas. Apakah luas tanahnya ini ada satu hektar? Atau lebih? Benar-benar, melihat lapangan dan tamannya saja dari sini sangat luas. Belum lagi bangunan ini juga terlihat begitu besar dari luar, pasti luas bangunannya juga tidak main-main. “Apa ini artinya aku adalah anak orang kaya?” Aku berbicara pada diri sendiri bagai orang gila. Ya, memang, kejadian ini membuat aku gila. “Kenapa aku tidak merasa demikian tapi? Entahlah, aku merasa diriku masih sama, anak emak dengan tiga orang adik yang caludih dan kami semua tinggal di gubuk.” (Caludih: Kusam, kumal, tak terawat.) Kali ini aku melihat bayanganku di cermin. Aku berbicara sendiri pada bayanganku di sana. Iya, orang yang ada dalam cermin ini memang terlihat sangat pantas mengenakan baju tidur yang mahal. Bahkan aura kemiskinannya seakan menjauh dari dirinya. Tapi … entah dalam hatinya, apa dia sudah siap menerima menjadi seorang anak yang bernama Dwipa Mulya? “Apa benar kau Prana Mulya?” Aku bertanya pada bayanganku sendiri. Sedari kecil aku telah mengira jika Prana itu namaku. Namun entah mengapa, aku lebih suka orang lain memanggilku Jang, Ujang! Aku bahagia dengan sebutan Si Ujang. Pada masa itu, aku memang pernah melihat emak menjahit baju anak-anak yang dipakaikan olehnya pada Si Obi. Emak selalu bilang, sayang baju itu bila dibuang, bahannya bagus gambarnya tidak luntur, baju itu harganya mahal. Di bagian punggung baju itu, terdapat sebuah bordiran yang cukup kuat dan bordir itu membentuk nama ‘Prana’. Aku sempat berpikir jika Prana itu nama asliku, namun aku selalu mengingkari ingatanku sendiri. Karena selama ini, semua dokumen seperti akta kelahiran, rapor, bahkan ijazah, tidak ada yang menggunakan nama Prana Mulya. Semuanya menggunakan nama Ujang. Apa nanti aku harus mengubah nama lagi? Apa aku bisa beradaptasi dengan nama Prana? Jika ada orang lain memanggilku Prana akankah aku menoleh dengan sangat cepat? Ah, masalah nama saja sangat membingungkan. “Tuan Muda Prana.” Panggilan dari luar kamar membuat aku langsung menoleh. Sepertinya aku akan terbiasa dengan panggilan … ‘Prana’. * Bersambung .... (1) Dikutip dari lagu "Papatong" yang dipopulerkan oleh Bah Dadeng. (2) Diterjemahkan secara bebas oleh penulis Kak.ofa Semua terjemahan dalam cerita ini, merupakan terjemahan bebas dari Bahasa Sunda ke Bahasa Indonesia yang dipahami oleh penulis.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN