“Akhirnya, saya menemukan Anda, Tuan Muda!”
*
Menjelang sore, di tepi pematang sawah dengan semilir angin yang mengusap telinga. Berembus, membisikkan ungkapan sabar agar tiada habisnya. Mengingatkan akan pribadi yang pemaaf melalui jatuhnya dedaunan yang tak pernah membenci angin. Dari semua ini, seakan aku sedang mendengar jika mereka menunjukkan kuasa Tuhan dalam menolong hamba-Nya, yang selalu datang dengan cara yang tak pernah kuduga.
“Tuan Muda! Anda adalah orang yang kami cari. Kami adalah para orang yang diperintah oleh Tuan Dwipa untuk mencari anaknya. Dan Anda adalah anak beliau. Anda adalah tuan muda kami.” Aku masih berusaha mengingat apa yang terjadi pada waktu menjelang Ashar tadi.
Betapa aku sedang putus asa karena pengkhianatan Mawar dan sikap merendahkan dari ibunya terhadapku. Belum lagi tuntutan tanggung jawabku untuk mengobati emak dan adik-adik yang ingin makan nasi dengan layak. Lalu Tuhan datangkan mereka padaku, meski terdengar tak masuk akal.
“Tuan Muda.”
Suara berat diiringi ketukan sepatu yang bergesekan dengan rerumputan di pematang sawah, terdengar mendekatiku. Aku menoleh dan melihat siapa yang datang.
“Saya sudah membawa Ibu Karsini untuk dirawat di rumah sakit, lalu ketiga orang adik Anda … sedang makan bersama di salah satu restoran mewah milik Tuan Dwipa,” ucapnya yang malah membuatku tak enak.
“Tuan, saya sudah sangat merepotkan Anda. Tapi … saya belum memperkenalkan diri dengan baik. Saya minta maaf, nama saya Ujang. Siapakah nama Anda? " Aku mengucap tanpa tahu malu dan menggenggam tangan orang di hadapanku.
“Tuan muda, jangan seperti ini. Saya sudah tahu nama Anda, karena memang saya ditugaskan untuk mencari Anda. Nama saya Hudson Frederick, Anda boleh panggil saya dengan sebutan Hudson.”
Mungkin karena posisiku yang sedang dilanda kesulitan, aku benar-benar tak bisa lagi menahan diri untuk tidak meminta tolong pada orang yang baru aku kenal. Padahal seharusnya, aku tidak boleh percaya begitu saja.
“Jadi … sekarang, apa Anda mau ikut bersama kami untuk pergi ke tempat tuan kami yang merupakan ayah kandung Anda.”
Deg!
Aku memang sudah mendengar berulang kali jika aku bukan anak kandung emak. Aku juga sudah berulang kali, jika aku adalah seorang anak yang dibuang oleh orangtuaku. Bukan berarti selama ini aku lantas sakit hati karena cemoohan itu. Justru aku tak peduli, dan sejujurnya … sedikit pun aku tak pernah berharap, jika orang tua yang membuat aku lahir ke dunia ini itu ada.
Kenapa Tuhan mendatangkan kabar ini di saat aku sudah tak menginginkannya. Tapi … apakah kabar ini benar? Dan jika benar, apa aku akan berdosa bila aku tak menemuinya.
“Tuan Hudson, saya tak tahu Anda berbohong atau tidak. Saya juga berterimakasih padamu yang telah membantu saya untuk merawat emak ke rumah sakit, lalu Anda juga sudah membahagiakan hati adik-adik saya, yang mana ... selama ini saya tidak pernah melakukan hal itu untuk mereka. Saya ucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya. Tapi Tuan …, apa Anda tidak salah orang, jika Anda mengira bahwa saya adalah anak dari majikan Anda,” jujurku pada pria di hadapanku.
Tuan Hudson tetap tersenyum, ia tampak sama sekali tak tersinggung oleh ucapan keraguanku. Sepertinya, dia memang orang kelas atas yang sudah terlatih untuk mengendalikan ekspresi. Terlihat sekali dari caranya berdiri dan ekspresi mukanya.
“Hal ini, bisa Anda pastikan pada Ibu Karsini, Tuan Muda. Beliau mengenali Tuan Dwipa, beliau bahkan sangat senang bisa mendengar lagi kabar dari Tuan Dwipa.” Jawabannya begitu tenang, santai namun terdengar sangat lugas. Dia bahkan sempat menanyakan hal itu pada emak.
Apa aku harus bertanya pada emak dan mendengarnya sendiri?
“Jika Anda kurang percaya pada kami, Anda boleh bertanya pada Ibu Karsini.” Dia bahkan mengatakan apa yang ada di dalam pikiranku.
“Maaf jika pertanyaan saya menyinggung Anda, Tuan Hudson.” Aku membungkukkan badan dan dia pun ikut membungkuk juga.
“Tidak pernah dalam hati saya tersinggung oleh Anda, Tuan Muda. Silakan Anda bertanya apapun dan akan saya jawab sesuai dengan kapasitas saya.” Lagi-lagi, kalimat yang keluar dari mulutnya selalu terdengar berkelas.
“Kembali pada permintaan saya sebelumnya, Tuan Muda. Apakah Anda siap untuk bertemu dengan ayahanda, Tuan Dwipa?”
Aku belum medapatkan jawaban untuk pertanyaan itu. Tapi … apakah aku sangat tidak tahu diri jika aku menolak keinginan mereka namun aku telah menerima bantuan dari mereka?
Baiklah.
Bismillah, Ujang!
“Baiklah, Tuan Hudson. Saya akan menemui majikan Anda. Tapi … bolehkah saya bertemu dengan emak sebelum Anda membawa saya.” Semoga saja dia tidak menolak permintaanku yang satu ini.
“Dengan senang hati, saya akan mengantar Anda untuk ke rumah sakit bertemu dengan Ibu Karsini. Apakah ada permintaan lain lagi yang ingin Anda lakukan sebelum bertemu dengan Tuan Dwipa?”
Sepertinya akan sangat tidak tahu diri jika aku bilang ingin bertemu dengan Ical, Eti, dan Obi. Aku mencoba menggeleng, meski dalam hati aku ingin bertemu dengan mereka.
“Anda boleh menemui ketiga adik Anda, jika Anda ingin tentunya.” Ucapan Tuan Hudson selalu tepat sasaran dengan pikiranku. Apa dia memiliki kemampuan untuk membaca pikiran?
“Anu … eeem … tidak perlu.” Tentunya, bertemu emak saja sudah cukup. Aku tidak seharusnya meminta lebih.
Krubuk krubuk krubuk
“Jika Anda lapar, kami akan mengantar Anda ke rumah makan terlebih dahulu, Tuan Muda.” Sepertinya Tuan Hudson mendengar jeritan perutku. Benar-benar tidak tahu malu.
“Saya tidak lapar, Tuan Hudson. Tidak perlu memberi makan saya.”
Krubuuk krubuk krubuk
Tuan Hudson hanya tersenyum, lantas ia menjawab, “Baiklah, kalau begitu saya tidak akan memaksa Anda.”
Aku mengusap wajahku seulas. Sungguh jawabannya selalu berkelas.
*
“Silakan, Tuan Muda.”
Aku benar-benar merasa tak enak karena perilaku mereka yang tiba-tiba membuatku seperti seorang tuan muda sungguhan. Aku takut mereka salah orang, jika mereka sadar bahwa aku adalah orang yang salah, apakah aku akan dibunuh oleh mereka?
“Jang ….” Emak pun membuka mata. Sepertinya ia sadar akan kehadiranku di kamar rawatnya.
Tuan Hudson berdiri di sampingku dan mempersilakan aku untuk duduk di kursi samping ranjang pasien.
“Silakan duduk, Tuan Muda.”
“Terimakasih.”
Dia terlihat mundur setelah aku duduk di kursi tersebut.
“Saya akan memberi waktu untuk kalian berbicara. Permisi!”
Bahkan caranya berpamitan pun sungguh berkelas. Aku benar-benar dibuat penasaran dengan Tuan Dwipa, orang yang mempekerjakan Tuan Hudson yang sangat berkelas ini. Rasanya tak mungkin, orang seperti itu adalah ayah kandungku.
“Jang … ini yang emak belum sempat bilang padamu selama ini ….” Emak berkata dengan selang oksigen yang terpasang di lubang hidungnya.
Aku duduk di sampingnya, sambil terdiam menggenggam tangannya.
“Kamu ini … anak dari majikan emak dulu. Ceritanya … minta Tuan Dwipa yang bercerita sendiri. Emak sieun salah, Jang! Ngaran maneh teh aslina ... Prana Mulya.” (Emak takut salah, Jang! Nama kamu itu aslinya, Prana Mulya.)
Kenapa tiba-tiba tubuhku bergetar seperti ini, aku merasa merinding dengan seluruh bulu kuduk berdiri. Sesuatu menggelitik dalam dadaku yang membuat aku ingin mengeluarkan airmata. Emak, Ujang nyaah ka emak. Rek dikumaha-kumaha, Ujang mah anger anak emak. (Emak, Ujang sayang pada emak. Bagaimanapun juga, Ujang tetap menjadi anak emak.)
Rasanya ingin menolak fakta, ingin ingkar pada kejujuran, namun aku tak bisa berbuat apa-apa selain menerima ini semua. Sudah aku putuskan untuk menemui orang yang bernama Tuan Dwipa itu. Meski nantinya entah aku bisa menerima kebenaran ini atau tidak.
*
“Tuan Muda, sebaiknya Anda panggil saya cukup dengan Hudson saja.” Dia menoleh ke belakang, ke arahku yang duduk dalam mobil jok belakang.
Sekarang kami sedang berada di dalam perjalanan menuju ke rumah Tuan Dwipa. Sudah ada hampir satu jam perjalanan, dan kini masuk Tol Padaleunyi. Aku tidak menanyakan lokasi pasti tempat Tuan Dwipa, tapi … ini jalan ke arah Cianjur, setahuku. Aku sempat mengira jika seorang Tuan Dwipa yang dibicarakan ini tinggal di sekitar Bandung atau lebih jauhnya ada di Jakarta. Tapi ini bukan rute menuju ke Jakarta.
“Apakah perjalanan ini masih lama?”
*
Bersambung ….