Jang!
Hirup teh teu gampang,
Teu cukup ku dipikiran,
Bari kudu dilakonan.
(Jang - Oon B) [1]
Jang!
Hidup itu tidak mudah,
Tidak cukup sekedar dipikirkan,
Tapi juga harus diusahakan.
(Jang - Oon B) [2]
Setiap hari, Tuhan selalu mendidik hamba-Nya dengan cara yang tak pernah terpikir oleh manusia.
Aku dulu pernah mengira, dengan aku yang terus berusaha, aku yang selalu melakukan segalanya dengan sempurna, maka jalan kehidupanku akan terus naik, dan aku akan selalu mengalami nasib baik.
Nyatanya aku salah, aku terlalu terbuai fatamorgana. Hasil kecil yang kudapat di dunia, membuatku lupa akan sesuatu yang kekal di akhirat sana.
"Jang! Cepetan!" Dan dia pun menghardikku lagi. Seorang bos baru yang bahkan usianya lebih muda dariku.
Tuhan sungguh membalikkan duniaku dalam satu malam saja. Padahal baru kemarin aku mendapatkan penghargaan sebagai karyawan terbaik oleh bos lamaku.
"Tadi, si Toyip bilang, kamu merusak barang milik klien? Iya?"
"Barang yang mana, Pak?"
Kulihat dia mengeluarkan sebuah piringan mesin cuci yang pagi tadi aku periksa.
"Ini! Ngaku kamu!" tegasnya seakan memaksaku untuk mengakui sesuatu yang tidak aku lakukan.
"Bukan, Pak! Ini memang sudah harus diganti, bahkan saya juga sudah bilang pada konsumennya. Dan mereka setuju untuk mengganti bagian ini, Pak."
"Halah, sudahlah! Keputusanku tadi pagi sudah bulat. Kamu dipecat!" sentaknya dengan suara yang memekakkan telinga.
Aku sudah mendengar kalimat ini sebanyak dua kali di hari ini. Tadi pagi dia sempat bilang hal yang sama, namun dia masih mengizinkanku untuk bekerja sampai tengah hari.
"Sudah! Kamu pulang saja sekarang!" perintahnya lagi padaku.
"Tapi, Pak. Pekerjaan saya ini masih ada yang belum selesai."
Aku bahkan belum melepaskan solder yang tergenggam. Sepertinya solder ini ikut basah terkena keringat dingin dari kepalan tanganku.
"Nggak perlu, Jang! Sudah ada teknisi yang lebih berpengalaman untuk menangani ini. Dia punya ijazah SMK, tidak sepertimu!" hardiknya sambil menyebut-nyebut kekuranganku.
Ya, aku tidak punya ijazah SMK-ku. Tapi bukan berarti aku tidak lulus. Aku hanya ... memiliki beberapa tunggakan biaya SPP, biaya ujian, dan biaya lainnya. Itu yang sebabkan aku tidak bisa mendapatkan ijazahku.
Dengan berat hati, aku bereskan semua perlengkapanku. Dan menggembolnya dalam sebuah ransel butut berwarna hitam merah yang sudah lusuh.
Dihampirinya aku oleh 'mantan' bos baruku itu. Dia hanya menepuk-nepuk amplop coklat di pundakku.
"Nggak usah ada pesangon ya?" Dia mengangkat amplop itu ke depan mataku. "Ini, buat bayar ganti rugi barang yang kau rusak itu." Kemudian amplop itu masuk kembali ke dalam saku celananya.
"Saya berani bersumpah, Pak! Saya tidak merusaknya." Jika sumpah dengan nama Tuhan diperlukan, bahkan aku akan bersumpah dengan menyebut nama-Nya.
Tapi sepertinya itu tidak perlu.
Bos muda di depanku ini tanpa belas kasih, mengayunkan jarinya dan meminta kedua satpam agar siap menyeretku.
"Tidak perlu!" Aku jauhkan bahuku dari tangan-tangan para satpam tersebut.
"Saya keluar sendiri. Terima kasih!"
Bah! Bukan aku yang tak butuh oleh uang itu, tapi aku melihat sorot kebencian dari bos muda yang baru bekerja pertama kali itu. Orang jika sudah punya rasa benci, alasan apapun yang kita beri, tetap akan susah merubah cara pandangnya pada kita.
Aku kendarai motor bututku menuju ke rumah.
Dek, maafin aa, sekarang nggak bisa bawa makanan buat kalian.
Mak, maafin Ujang ingkar janji. Ujang nggak bisa bawa emak ke dokter sore ini. Maaf, Mak.
Aku, Ujang.
Anak sulung dari seorang janda tua, yang dijadikan tulang punggung keluarga.
Banyak tetangga yang menghinaku sebagai anak pulung emak, dan sepertinya itu benar, tapi aku tak peduli. Aku pun tak pernah menanyakannya pada emak.
Yang terpenting, aku akan tetap khidmat bersujud di kakinya, tetap takzim saat mencium tangannya, dan aku akan selalu melebarkan dadaku untuk menjadi sandaran di masa tuanya. Dalam pelukanku, si Ujang, anaknya.
"Assalamu'alaykum," ucapku berbarengan dengan bunyi derit pintu.
"Aa ...!" Sepasukan bocah-bocah kecil itu berhamburan ke arahku.
Tiga pasang mata bening itu berbinar-binar menatapku. Mencari-cari bingkisan yang biasanya aku tenteng di sebelah tangan.
"A, mana nasi padangnya?"
"Iya, Aa sudah janji, 'kan? Katanya Aa mau beli sebungkus untuk kita makan berlima."
"Apa Aa lupa? Kita, kan, udah lama pengen nyobain nasi padang seperti yang dimakan uwak Samidin."
Satu per satu tuntutan itu keluar dari mulut mungil mereka. Kemelasan ikut terpancar dari matanya mengiringi kalimat-kalimat permintaan itu.
Bukannya aku tidak mau, tapi ....
"Haaahmmm ...." Kusandarkan dulu punggung ini di satu-satunya kursi yang masih ada sandarannya di ruang tamu.
"Sini, sini. Sayang-sayangnya A ujang, ke sini dulu dong," pintaku sambil merentangkan tanganku lebar-lebar.
"Aa, disembunyiin dimana nasi padangnya?" Faisal, sering dipanggil Ical, adikku yang paling besar mencari-cari ke belakang punggungku.
"Peluk Aa ...!" Sementara itu, Hesti, kami memanggilnya Eti, satu-satunya adik perempuanku langsung berhambur memelukku.
"Aaaak! Aaaaw ...!" Aku meringis karena sikunya langsung bertumpu pada pahaku. "Aa sakit, Ti!" ujarku sambil menahan rasa nyeri.
"Eeeh? Maaf," ujarnya tanpa dosa.
"Obi, kok nggak peluk Aa?" tanyaku pada si bungsu, Robi, yang masih berdiri di samping meja.
Bibirnya manyun dengan bibir bawah yang terposisi lebih maju daripada bibir atasnya. Tangannya memelintir salah satu jari di tangan kiri.
"Loh! Kok manyun gitu, sini dong!" ujarku sambil melambai padanya dan Hesti yang semula menggelayut di tubuhku pun langsung berdiri.
"Obi dari tadi nggak mau makan, A," adu Hesti padaku.
"Iya," timpal Faisal.
"Kenapa sayang? Seharusnya makan dulu dong, seadanya aja." Jujur, saat mengatakan ini, aku tak kuasa menahan pedih.
"Obi pengen nasi padang dari tadi katanya, A. Tapi dia udah keburu lapar, cuma dia nggak mau makan nasi aron yang dimasak emak dulu." Hesti menjawab mewakili Robi. "Padahal Eti sama A Ical juga makan nasi aron dulu, nggak neko-neko!"
Biasa, sebagai anak perempuan satu-satunya, Hesti memang selalu paling cerewet pada kedua saudaranya. Dia bagaikan juru bicara untuk aku dan juga untuk emak, ketika kami sudah kesulitan merayu Faisal dan Robi.
"Tapi ... tapi ... Obi kan, cuma nu-nungguin janjinya A ujang. Hwaaa hwaaa ...." Tiba-tiba saja tangis Robi pecah saat dia berkata ingin menungguku menepati janji. "Obi ... Obi nggak harus makan nasi Padang, ya-yang penting nasi, A. Obi ... Obi, nggak suka nasi yang dimasak emak." Tangisnya pun masih berkoar sembari ia menjelaskan keinginannya padaku.
Bukan ingin mainan, bukan ingin jajanan mahal, bukan ingin beli baju baru. Robi hanya mau nasi, nasi yang dimasak dari beras. Bukan dari aron atau beras menir sisa tapian beras dari tetangga.
Seandainya mereka tahu ...!
Ya Tuhan, lebih dari disayat sembilu luka pedih ini. Kenapa? Sekedar memberi mereka makanan yang layak pun aku tak mampu.
"Uhuk ... uhuk ...." Suara yang terdengar penuh dahak itu mendekat menghampiri kami. "Ini ... ada apa kok ribut? Biarkan A Ujang istirahat dulu. Uhuk ... uhuk .... Jangan ganggu dia uhuk uhuk uhuk." Batuk emak agak panjang di akhir kalimatnya.
"Emak nggak apa-apa, Mak?" Aku pun berdiri mendekati perempuan bersweater coklat lusuh itu.
“Uhuk … uhuk … uhuk ….” Emak menjawab dengan batuknya yang semakin keras. Ia tepuk-tepuk dadanya menggunakan tangan kanan, sementara tangan kirinya mengarah padaku seakan mencegah agar aku tak mengkhawatirkannya.
“Duduk dulu, Mak …!” Aku menarik kursi bekas aku duduk tadi ke dekat emak, kemudian aku pegang kedua bahunya. “Sini, Mak,” pintaku sambil mengarahkannya untuk duduk di kursi yang sudah aku dekatkan padanya.
“Robi … uhuk!” Emak memanggil si bungsu dengan suara paraunya yang penuh dahak.
Bocah kecil dengan air mata dan ingus yang bercampur di pipinya itu pun langsung mendekati emak dan berhambur ke pelukannya.
“Ada apa, Obi? Kenapa kok nangis?” tanya Emak yang memeluk Robi penuh kasih. Aku hanya bisa melihat keduanya dan belum berani menjelaskan apa yang sudah terjadi padaku pada mereka.
“Obi mau nasi …, Mak …,” rengek anak itu. Aku benar-benar tak kuasa mendengar tangisan Robi yang hanya sekedar meminta nasi dari tadi.
Aku hidup bersama emak dan ketiga bocah ini sudah sejak lama. Faisal, Hesti dan Robi, sebenarnya bukan anak emak, melainkan cucu emak dari anak laki-lakinya yang meninggal dunia.
Jika kalian tanya kemana ibu dari anak-anak ini? Sama. Aku juga tidak tau, karena emak tidak pernah bercerita dan aku juga tidak pernah mau bertanya.
“Obi … uhuk! Uhuk! Uhuk!” Terdengar suara batuk emak lebih keras dari biasanya.
“Mak, mau Ujang pijit?” tawarku sambil berdiri di belakang Emak.
“Nggak usah!” Emak melepaskan tangan dari menutupi mulutnya, melalui belakang emak aku bisa melihat ada bercak merah yang menempel di tangannya itu.
“Mak, batuknya berdarah lagi?” Aku semakin panik.
Sebenarnya apa penyakit emak? Dulu dokter pernah bilang ini hanyalah batuk biasa, bukan TBC. Darah yang keluar saat batuk mungkin karena emak terlalu banyak pikiran dan kelelahan. Sehingga emak harus banyak istirahat.
“Udah, Jang. Anter emak ke kamar aja!” pintanya. Aku pun mencoba membopong emak berdiri dan berjalan ke kamarnya.
Perlahan sekali, emak berjalan. Bahkan seringkali ia mengusap d**a di setiap langkahnya.
“Mak, kita ke dokter aja, yuk,” ajakku pada emak saat kita berdua masih sedang berjalan.
“Uhuk … uhuk … nggak … uhuuk … uhuk! Uuukh!” Emak menepuk dadanya sangat keras.
“Kenapa, Mak?” tanyaku panik.
“Uuukh! Uuukh!” Emak seakan mencoba melepaskan batuknya, namun seperti ada sesuatu yang menahan dalam tenggorokannya.
“Uuuhuk!”
Brug
Aku menangkap tubuh emak yang jatuh terkulai. “Eti! Ical!” Aku memanggil adik-adikku yang sudah cukup besar.
“Iya, A?” Suara mereka berdua serempak sambil berlarian ke arah kamar emak.
“Tolong bantuin Aa! Eti, rapikan bantal guling punya emak di kamarnya!”
Hatiku benar-benar takut kala emak yang tiba-tiba tak sadarkan diri.
“Ical, tolong bantu Eti!”
Aku pun langsung membawa emak dalam gendonganku dan menuju ke kamarnya. Dipan besi yang sudah reyot, dengan kasur yang kapuknya sudah peyot, di sanalah aku meletakkan emak agar bisa beristirahat.
“Bagaimana ini?” Aku bingung memikirkan darimana aku dapat uang, karena emak harus segera ditolong. Sepeser pun aku tak ada, karena sebenarnya aku menunggu uang gaji yang seharusnya aku dapat esok hari.
Ya Allah, bagaimana ini?
Laa haula wa laa kuwwata illa billah hil ‘aliyil ‘adzim.
Sungguh tiada daya dan upaya bagiku selain mengandalkan pertolonganmu. Ya Tuhanku!
Aku tatap emak yang sedang terkulai tak berdaya, di sampingnya ada Ical dan Eti yang sedang duduk termenung dengan pandangan yang tak dapat kutebak maknanya, lalu si kecil Robi yang dari tadi membuntuti kami, dia bergelayut pada ranjang di samping kepala emak.
Tuhan tidak pernah membebankan cobaan lebih dari kemampuan hambanya, Jang!
Begitu pepatah emak yang selalu kuingat setiap kali aku merasa putus asa.
“Cal! Ti! Aa titip emak sama Obi dulu, Aa mau minta bantuan sama tetangga. Tolong, ya!”
Dengan memberanikan diri, aku akan mencari bantuan. Dari siapapun aku akan sangat berterimakasih, selama itu bisa menolong emak.
Dalam keadaan teriknya mentari dari arah barat di sore ini, aku berjalan menuju ke salah satu rumah yang cukup mewah di kampungku. Iya, itu adalah rumah saudagar kaya di sini sekaligus rumah kepala desa.
“A!” Suara seorang wanita yang langsung berlari dari dalam rumah tersebut, wajahnya tak seperti biasa ketika kami bertemu.
Dia, Mawar. Anak kepala desa yang sebulan lalu menyatakan cintanya padaku. Karena perasaan seganku pada ayahnya, aku pun menerimanya. Seiring waktu aku mengenalnya, Neng Mawar ternyata adalah gadis yang baik dan tidak memandang status sosial terhadapku meskipun ia adalah anak seorang kepala desa.
“Neng, Bapak ada?” tanyaku mencoba ramah padanya walau ekspresi Neng Mawar yang tiba-tiba tak enak untuk dilihat.
“Ada yang mau aku omongin sama A Ujang!”
“Emmh! Iya, tapi Aa mau ketemu Bapak dulu, boleh? Nanti setelah ini, kita ngobrol,” ajakku dengan nada yang lembut.
“Emang Aa mau ngapain ketemu sama Bapak? Mau ngutang? Butuh uang buat makan si Ical dan adik-adiknya? Atau mau pinjem mobil buat ngangkut emak ke rumah sakit? Nggak A! Aku udah cape hidup diporotin terus sama Aa!”
Telingaku mencoba kuperlebar, apa aku salah mendengar? Gadis paling lembut dan polos yang kukenal, mengapa kini tiba-tiba berlidah tajam dan berkata-kata pedas menyayat hati seperti ini?
“Ne-Neng, Aa nggak pernah mencoba morotin Neng,” belaku pada diriku sendiri.
Belum sempat aku dan Neng Mawar menyelesaikan obrolan kita, tiba-tiba seseorang pun menyela.
“Ujang! Beraninya kamu datang ke sini!” Seorang wanita paruh baya berambut kriting mengembang mendekat pada Neng Mawar, dia adalah bu kades. Aku sudah tahu jika dia tak menyukaiku sejak awal, namun karena kebaikan pak kades lah, yang membuatku membuang semua pikiran buruk tentang istrinya.
“Bu, saya mau minta bantuan untuk emak, Bu. Tolong saya!” Aku tau yang aku lakukan ini sia-sia, namun demi emak aku harus mencoba.
“Kamu dipecat, ‘kan, Ujang? Makanya sekarang butuh duit? Cari kerja sana! Berhenti minta-minta lagi ke Neng Mawar atau ke suami saya!” hardiknya tanpa peduli pada permintaan tolongku sebelumnya.
“Bener! Neng juga nggak mau punya pacar pengangguran! Entar malah numpang hidup sama Neng! Nggak, mending Aa pergi!”
Aku benar-benar melongo, merenggangkan jarak antara bibir atas dan bawahku sebagai ketidakpercayaan atas apa ayang aku dengar dan aku lihat. Kemana perginya Neng Mawar yang selama ini kukenal?
Neng Mawar dan Pak Kades memang sering memberiku bantuan berupa materi untuk emak dan adik-adik, namun aku tak pernah meminta itu semua. Beberapa kali, sempat aku dan emak menolak, namun mereka memaksa, terutama pak Kades yang selalu membuatku merasa tak enak.
“Neng, kenapa kamu berubah?” pertanyaan itu terlontar begitu saja, saking tidak inginnya aku percaya pada apa yang aku lihat.
“Aku tuh nggak pernah berubah, A! Justru aku yang kemarin itu hanyal sekedar pura-pura saja! Kenapa? Kaget?” Wajahnya mendongak dengan sorot mata penuh keangkuhan.
“Udahlah! Kamu pergi sana! Kamu itu nggak diterima di sini, Jang!” hardik bu kades padaku lagi.
Belum sempat aku masuk pagar, mereka sudah mengusirku saja.
Tin tin
Klakson mobil terdengar, semoga itu pak Kades, hanya dia harapanku satu-satunya.
Honda jazz berwarna hitam menepi pada pagar rumah tersebut. Tanpa aku sadari karena saking cepatnya ia berlari, tiba-tiba saja neng Mawar sudah berada di samping pintu mobil bagian pengemudi mobil itu, dengan tangan jenjang, gadis itu membuka pintu mobil.
“Mah! A Prima datang,” ujarnya sumringah sambil menyambut pria yang turun dari mobil itu.
Kemeja biru di dalam setelan jas, sebuah kacamata hitam dan dagu yang mulus. Ia keluar dari mobil dan menatap ke arahku. Ya, dia adalah orang yang sama dengan orang yang memecatku tadi pagi.
“Kok dia ada di sini, Neng?” Kudengar dia bertanya pada neng Mawar.
“Biasa, mau minjem duit!” jawab Neng Mawar dengan ketus.
Mereka berdua melewatiku tanpa permisi dan menganggapku sebagai batang pohon yang berdiri saja.
“Ujang! Pulang sana! Ada calon mantuku datang!” Wajah bu kades berubah melembut saat menatap pada Prima, mantan bos yang sudah memecatku.
“Asal kamu tau, ya, Ujang! Prima ini, bos baru yang tadi mecat kamu itu, ‘kan? Dia adalah kakak kelasnya Mawar waktu SMA, dan sekarang dia kuliah di universitas swasta ternama sambil membuka usaha toko elektronik. Masih muda, sudah sukses dia!” Dia membanggakan bos baru yang sudah memecatku tadi.
“Iya, nggak kayak A Ujang! Neng tuh dulu pura-pura suka sama Aa, cuma karena bapak yang nyuruh, kalau bukan karena bapak, Neng nggak bakalan mau! Cuih! Nggak sudi!” Sedikit, dia meludah di hadapanku. Wanita yang cukup kuhormati bahkan sering aku sanjung-sanjung di depan emak, adik-adik dan rekan kerjaku, meludahiku bagaikan aku adalah kotoran di matanya.
“Kamu itu bagai bumi dan langit kalau dibandingkan dengan Prima. Dan satu lagi, asal kamu tau! Neng Mawar kan baru lulusan SMA bulan kemaren, nah, bulan depan dia mau kuliah di tempat yang sama dengan nak Prima, di Universitas swasta paling mahal di Indonesia! Dibiayai lagi sama dia. Jadi sekarang, kamu enyah dari kehidupan anak saya, sebelum kami semakin ketularan miskin!”
Aku mendengar hardik dan caci dari mereka bersahut-sahutan.
“Eh, tunggu dulu, Mah! Uang salon Neng yang waktu itu, yang sama bapak nggak jadi dikasi ke Neng karena dikasiin ke si Ical! Neng minta digantiin sekarang!”
“Duh, Neng! Jangan ngada-ngada deh! Tadinya juga si Ujang teh mau ngutang, sama kamu malah mau dimintai uang!” Bu Kades memperingati Neng Mawar, yang entah seakan terdengar sebagai hinaan bagiku.
“Udah, Mah, Neng! Kasian dia kepanasan, suruh dia pulang aja, kasian nanti makin keliatan kumal!” Prima mengeluarkan uang seratus ribuan beberapa lembar, yang aku tak tau pasti jumlahnya.
“Tapi, A!”
“Nggak ada tapi-tapi, Neng Mawarku sayang. Udah uang itu nanti biar Aa yang kasi ke kamu. Jangan cemberut lagi ya, sayang!” ujar Prima yang terlihat bermulut manis di depan neng Mawar.
Kemudian pandangannya beralih padaku. “Kamu butuh uang? Berapa? Ini cukup?” Dia menyodorkan uang itu ke arahku dari kejauhan.
“Tuh! Calon mantuku emang orang baik, bangga mamah punya calon mantu sepertimu, Prima!”
Aku menggelengkan kepalaku, mana mungkin aku harus merendahkan harga diri dengan menerima uang dari mantan bos yang licik seperti dia.
“Nggak usah malu-malu, nih, ambil!” serunya sambil melempar lembaran merah hingga tercecer berhamburan di atas paving blok.
“Nggak usah, terima kasih!” Aku pun berbalik dan melangkah menjauhi rumah itu.
“Belagu, lu, miskin!”
“Borokokok siah! Teu ngahargaan pamere batur!” (Bahasa Sunda kasar: Kurang ajar kamu! Tidak menghargai pemberian orang lain!)
Aku masih mendengar caci mereka meski aku sudah agak jauh dari rumah tersebut.
Ya Tuhan, hanya pada-Mu aku berserah, hanya pada-Mu aku berpasrah. Aku titip seluruh jiwa ragaku padamu, jika ada seorang yang melukaiku, menghinaku, kuyakin itu semua atas dasar izin-Mu. Karena Engkau yang menilai aku mampu.
Aku pulang dengan tangan kosong, apa aku harus mengecewakan mereka lagi? Jika tidak oleh manusia, pasti Tuhan yang akan memberikan pertolongan-Nya langsung pada kami. Entah bagaimanapun cara-Nya, aku yakin Tuhan akan menolong kami.
Kulewati jalanan bebatuan yang sebelumnya kugunakan sebagai jalan pintas untuk menuju rumah pak kades. Sungai yang sudah hampir mengering di bulan Juli, mempermudahku untuk melewati bebatuan-bebatuan yang ada di sana.
Sesampainya di pematang sawah, aku merasakan angin semilir sepoi-sepoi di tengah teriknya matahari. Mereka berembus seakan sengaja meneduhkan pikiranku yang sedang memanas oleh banyak masalah. Bagiku, hal kecil seperti ini adalah salah pertolongan nyata yang Tuhan berikan padaku. Setidaknya, Ia ingin aku tetap tenang sepanjang perjalanan pulang setelah kegagalanku berjuang. Terima kasih untuk anginnya, Tuhan!
Tibalah aku di penghujung persawahan yang menuju ke arah jalan raya. Di seberang jalan itu, terdapat sepetak kebun yang menjadi tulang punggung keluarga selain diriku.
Aku mendapati ada mobil yang menepi di kebun kami, para pengendaranya menggunakan jas hitam dan kemeja putih, lebih perlente dan necis daripada yang Prima gunakan tadi. Tak kusangka, akan ada orang kelas atas yang berkenan meneduh di pinggir kebunku.
Aku pun menyebrang, namun tak dapat kupungkiri jika aku merasakan para pria tersebut menatapku. Sesampainya aku di bahu jalan, kubalas saja tatapan mereka dengan ramah dan senyum.
Hanya sepintas, aku langsung menepi dan berjalan ke jalan setapak yang kubuat di pinggir kebunku.
“Tunggu! Tunggu!” Kudengar suara yang berusaha menggapaiku, dan aku pun menoleh.
“Bapak memanggil saya?” tanyaku pada salah satu di antara mereka yang mengejarku.
“Dengan Ujang?” tanyanya dengan memperhatikan wajahku seksama.
Aku pun mengangguk. “Iya, Pak. Saya Ujang!”
Pria itu pun tersungkur bersujud di kakiku. “Pak, Pak! Ada apa!”
Mendongak, pria itu meraih tanganku dan menggenggamnya dengan erat. “Akhirnya, saya menemukan anda Tuan Muda!”
*
Bersambung ....
[1] Dikutip dari lagu berjudul 'Jang!' yang diciptakan dan dipopulerkan oleh seniman Sunda Oon B.
[2] Diterjemahkan secara bebas oleh penulis, kak.Ofa