Beurang maju ka Lohor
Papatong nu koneng eunteup Na regang
Ngageter jangjangna keur ngagupayan
Pancen keur wasiatan (1)
Siang menuju ke Dhuhur
Capung kuning hinggap di ranting
Bergetar sayapnya melambai-lambai
Sedang saling bertukar pesan (2)
*
Ini masih di tanah Sunda. Daerah Jawa Barat yang seharusnya aroma kearifan lokal masih kental terasa. Tapi … yang aku lihat begitu keluar dari pintu gerbang mansion ini adalah hotel-hotel mewah dan para toko-toko besar.
Masih cukup pagi di area ini, sepertinya pukul setengah delapan kurang sedikit lagi. Tapi jalanannya sudah lumayan padat. Mungkin karena ini termasuk salah satu destinasi wisata, sehingga pembangunannya sudah ada kemajuan yang luar biasa, serta lalu lintasnya juga sangat padat dibandingkan dengan perkampungan biasanya.
Hebat juga, ada kehidupan sekelas kota besar di atas gunung.
Aku berjalan sedikit ke arah kiri dari mansion mewah ini, ternyata di samping mansion terdapat kebun teh yang sangat luas. Kemarin saat datang ke mari, aku tidak melihatnya karena mungkin aku tertidur di dalam mobil.
Daerah Puncak Bogor yang begitu terkenal dengan destinasi wisata dan juga identik dengan macetnya, ternyata seperti ini. Alamnya tak berbeda jauh dengan Pangalengan, namun di sini lebih ramai dan lebih terkesan modern dibanding Pangalengan.
Sejauh ini, untuk aku anak orang tak punya yang selama ini tinggal di Kecamatan Cisewu, Kabupaten Garut, mengunjungi kebun teh terindah hanya Pangalengan saja. Tepatnya perkebunan teh di daerah Cukul yang menjadi perbatasan antar Kabupaten Garut dan Kabupaten Bandung.
Berkunjung ke Bandung adalah sebuah kemewahan bagiku, apalagi ketika kemarin mendengar emak akan dilarikan ke rumah sakit mewah swasta di Bandung, aku sangat terkejut. Lalu tanpa diduga-duga, aku sekarang berkunjung ke Puncak Bogor, tempat wisata yang selama ini hanya pernah aku dengar namanya.
Berjalan di bahu jalanan, berpegangan pada besi pembatas jalan sambil melihat pohon-pohon teh yang ditanam berbaris. Pohon teh ini tumbuh pada tanah yang subur namun kontur lahan yang menanjak agak curam. Dari jauh pasti kebun teh ini terlihat bagai permadani hijau yang menyelimuti gunung.
Brruuuuum …. Bruuuuuum ….
Deru motor memang terdengar bising sejak tadi, namun yang satu ini sangat memekakkan telinga. Mungkin pemiliknya telah memodifikasi dengan knalpot yang sangat bising karena menurutnya hal itu lebih bergaya. Orang kaya jaman sekarang memang senang menghambur-hamburkan uang untuk hal yang tak perlu.
Brrrummmm ….
Motor itu melewatiku dan berhenti tepat di depan mansion. Dari jauh aku melihat orang pengendara motor tersebut. Ia mengenakan jaket kulit hitam, helm yang tampak mewah dan juga motor besar 600 cc yang pasti sangat mahal.
Pengendara motor itu terlihat sedang berbicara dengan penjaga mansion. Sepertinya mereka tidak hanya sekedar berbicara namun juga berdebat, apa yang mereka perdebatkan di pinggir jalan? Lalu siapa pengendara motor itu yang dengan beraninya mencari masalah dengan penjaga mansion Tuan Dwipa.
Aku hanya berani melihat dari kejauhan tanpa berani menghampiri. Namun sepertinya masalah mereka bertambah pelik karena Tuan Hudson juga sampai turun tangan. Siapa pengendara motor itu?
Setelah beberapa menit beradu mulut dan beradu otot juga, pengendara motor itu menutup kaca helm-nya dan kemudian menaiki kembali motornya. Sekilas, aku nampak mengenalinya, namun aku tidak bisa melihat dengan jelas dari kejauhan. Apalagi ia tak melepas helm-nya dan hanya membuka kacanya saja.
Brruuuum ….
Pengendara motor itu berjalan ke tepi, dia seperti mengarahkan motornya padaku. Apa dia gila dan ingin menabrakku?
Brrrummmm …. Brruuuuum ….
Ciiiiiit …!
Aku mundur hingga terjatuh saat motor ini tiba-tiba berhenti begitu saja di depanku.
Sang pengendara motor itu pun berhenti dan turun dari motornya. Dia membuka kaca helm nya dan mengulurkan tangan padaku.
Aku menyambut uluran tangannya dan berdiri.
“Hahah! Ternyata benar! Si pecundang ini di sini? Sedang apa kau?” Pria ini bertanya sambil mendorong kepalaku menggunakan telunjuknya.
“Kau tidak mengenalku?” Dia meledek. “Ternyata selain dompet kamu yang kosong, otak kamu juga kosong, ya? Baru kemarin kita ketemu dan kamu udah lupa aja!” Dia pun melepas helm full facenya hingga aku bisa melihat wajahnya dengan jelas.
Mata sipit dengan kulit putih, rahang yang agak lancip, kali ini aku bisa dengan jelas mengenalinya.
“Prima …?” Aku pun menyebut namanya.
“Bos Prima! Tol0l!” Lagi-lagi dia memakiku.
Aku mencoba menghela napas dan bersabar. Direndahkan seperti ini, sudah menjadi resiko dari orang rendahan macam diriku.
“Lagi ngapain kamu di sini, Beg0? Lagi liburan?” Pertanyaan yang keluar dari mulut Prima memang tidak layak untuk dijawab.
“Orang miskin aja sok mau liburan. Bayar utang keluargamu ke keluarganya si Mawar woy! Bayar! Orang miskin nggak tau diri emang!” Dia masih saja memaki tanpa ada jeda.
“Oh, aku ngerti! Kamu ke sini bukan untuk liburan, ya? Pasti lagi nge-babu! Nyari duit buat emak kau yang penyakitan itu sama buat adik-adikmu yang nggak pernah makan nasi! Haha! Miskin …. Miskin …. Kasiannya dirimu!”
Melihat orang seperti Prima aku jadi merasa kasihan. Dia bersekolah dengan tinggi namun dia tidak mendapat pendidikan budi pekerti dan sopan santun. Aku tak akan membalasnya, lebih baik aku pergi saja.
Melangkahkan kaki dan berjalan menghindar dari Prima adalah hal yang terbaik saat ini.
“Wey wey wey! Si miskin, belajar sombong dari mana kamu?” Sambil berkata demikian, dia menarik bagian leher kaosku dari belakang. Benar-benar miskin teladan si Prima ini.
“Udah berani, ya?” tanya dia sambil bergaya menantang.
“Kamu tau? Bangunan mewah yang ada di sampingmu ini?” Prima menunjuk pada mansion milik Tuan Dwipa.
“Aku … adalah pewaris sah dari pemilik mansion ini!”
Oh, jadi dia ini anak Tuan Dwipa yang lain?
“Kalau begitu … kenapa kau diusir dari saat hendak masuk.” Ucapanku langsung membuatnya terkesiap kaget. Mungkin dia berpikir jika aku tidak melihat kejadian tadi saat dia beradu mulut dengan para penjaga di mansion.
“I … itu … bukan urusanmu! Yang jelas aku adalah anak dari pemilik mansion ini dan aku akan menjadi pewarisnya. Orang rendahan sepertimu tidak akan pernah bisa menginjakkan kaki di tempat mewah seperti ini!”
Sombong sekali? Ingin aku membalas, tapi … apa kita perlu meladeni anjin9 yang sedang menggonggong?
“Aku … aku … juga datang ke mari untuk ke mansion ini. Bahkan semalam aku tidur di dalamnya,” jawabku santai.
Namun dia mencibir. “Kamu …? Tidur di mansion itu?”
Aku anggukkan kepalaku.
“Oh, pasti kamu jadi pekerja di sana? Hahah …! Hahah …! Kenapa aku tidak terpikir ke sana?” Prima tampak mengenakan kembali helm dan menunggangi motornya. “Kau membuang waktuku saja! Ya sudah aku pergi! Selamat bekerja menjadi pesuruh di mansionku!”
Brrrruuuuum ….
Motornya kembali berderu dan semakin hilang suaranya ditelan jarak yang semakin menjauh.
Ada-ada saja, aku tidak memintanya untuk berhenti, namun dia bilang aku telah membuang waktunya?
Begitu aku memalingkan wajah ke lain arah, empat orang berseragam hitam telah ada di sampingku.
“Tuan Muda …! Maafkan kami yang membiarkan Anda berjalan sendiri.”
*
Bersambung ….
(1) Dikutip dari lirik lagu Papatong yang diciptakan oleh Bah Dadeng dalam Bahasa Sunda.
(2) Diterjemahkan secara bebas oleh dari Bahasa Sunda ke Bahasa Indonesia oleh penulis, Kak.Ofa
Semua terjemahan merupakan terjemahan bebas.
*
BTW, ada yang daerah tempat tinggalnya kesebut di episode ini?
Orang Bandung? Orang Garut? Orang Bogor?
Coba tulis di kolom komentar, kalian tinggal di mana?