Aini melangkah pelan menyusuri jalan setapak di area taman kota, kemudian berhenti saat menemukan sebuah kursi kosong diantara kursi-kursi lain yang sudah terisi. Kebanyakan pasangan yang menghabiskan waktu bersama sore itu.
Kakinya terasa lelah, dan pundaknya terasa berat. Seharian berkutat di meja kerja dengan jadwal konsultasi pasien dan mengatur janji, atau sesekali membantu dokter Gita menyiapkan obat untuk pasiennya.
Tapi ini lebih ringan daripada bekerja sebagai perawat jaga atau yang lainnya. Kebetulan saja dirumah sakit itu sedang kekurangan tenaga asisten, karena orang sebelumnya yang bekerja sebagai asistennya dokter Gita harus cuti melahirkan selama tiga bulan kedepan. Dan ini lebih baik dari pada tidak bekerja bukan? Setidaknya dia bisa menyambung hidup.
Aini menghela napasnya dalam-dalam sambil memejamkan mata, merasakan angin semilir menerpa wajahnya dan dia menyukainya.
Sesaat kemudia dia membuka mata, lalu menoleh ke kanan dan kekiri, melihat orang-orang yang terus berdatangan. Taman kota tersebut memang selalu ramai di jam-jam seperti itu. Dari pengunjung yang sebagian besar adalah para pegawai di perusahaan sekitar, dan mahasiswa yang baru saja menyelesaikan kuliahnya. Dan sebagian kecilnya adalah warga biasa yang sengaja datang untuk menghabiskan waktu bersama keluarga ataupun pasangan, bahkan juga anak-anak mereka.
Perempuan itu kembali menarik napas pelan-pelan seolah tengah melepaskan beban berat.
Kemudian dia bangkit, seraya mengulurkan tangannya untuk meraih tas yang dia letakan di sisi kosong disampingnya. Namun Aini terhenyak saat menyadari tas tersebut tak berada disana.
"Tasku?" Dia menoleh dan menatap ruang kosong itu untuk beberapa saat. Mengingat-ingat tas yang biasa dibawanya pergi kemanapun.
"Tidak mungkin!" gumamnya, lalu bangkit. Dia memutar tubuh untuk kembali melihat sekelilingnya yang semakin ramai. Aini yakin seseorang telah mengambil tas miliknya.
Dia kemudian berjalan menyusuri kerumunan, berhenti di setiap gerombolan pengunjung yang berkumpul di setiap sudut area itu untuk menemukan kalau-kalau tasnya dibawa seseorang. Aini bakan bertanya kepada beberapa orang yang ditemuinya, tapi nihil, dia tak menemukan apapun.
"Oh, ...astaga! Jangan tas itu." Dia kembali bergumam, seraya mengusap wajah dengan kedua tangannya, kemudian tertegun.
"Tidak tas itu, semuanya ada disana!" katanya lagi, lalu dia berjongkok di trotoar.
Aini bingung dan pikirannya tak menentu, karena semua hal penting ada di dalam sana. Ponsel, kartu identitas, bahkan dua lembar uang seratus ribuan yang sengaja dia hemat untuk biaya hidupnya selama dua minggu kedepan raib sudah.
**/
"Kamu belum mau pulang?" Faiq berjongkok di depan istrinya yang masih belum mau beranjak dari kursi taman tempat mereka biasa menghabiskan waktu bersama setiap sore.
"Sebentar lagi Mas." Farhana menggelengkan kepala, dia masih betah berdiam diri disana.
Suasana taman kota menjadi hal yang paling dia sukai akhir-akhir ini. Selain tempatnya yang ramai, juga karena memang disana terasa menyenangkan. Farhana bisa melihat dan bertemu banyak orang, dan itu cukup membuatnya merasa lebih baik disela kesepian yang membelenggunya selama beberapa tahun belakangan. Penyakit yang di deritanya membuat dia tak mampu pergi kemanapun.
"Sudah sore." Faiq melihat jam di pergelangan tangan kirinya.
"Iya, aku tahu."
"Dan udaranya semakin dingin. Kamu tahu, udara dingin kurang baik untukmu." Pria itu berusaha membujuk seraya merapatkan jaket yang di kenakan istrinya.
"Tapi disini masih ramai, dan aku suka. Kalau sudah sampai rumah nanti sepi lagi." Farhana berujar.
"Baiklah, tapi hanya sebentar lagi ya?" ucap Faiq, dia berusaha lebih sabar lagi.
Perempuan itu mengangguk, lalu terdiam. Kembali menikmati suasana pada hampir petang tersebut. Namun perhatiannya teralihkan ketika seorang perempuan yang kira-kira berusia lebih muda darinya tengah bertanya kepada beberapa orang, dan tampak kebingungan. Dia bahkan hampir menangis.
"Mas?" panggilnya kepada Faiq.
"Ya?" Pria itu memalingkan pandangan dari pesan yang masuk ke ponselnya.
"Bukankah itu asisten barunya dokter Gita?" Farhana menunjuk perempuan yang berjongkok tak jauh dari mereka. Yang sesekali tampak mengusap kedua pipinya.
Faiq mengalihkan pandangan, dan dia menemuka wajah itu.
"Entahlah, kamu ingat asistennya Gita?"
"Tentu saja aku ingat, baru tadi pagi kita berkonsultasi disana. Dan aku tidak akan lupa wajahnya yang terlihat murung setiap kali dia menatap orang di depannya." Perempuan itu berucap.
"Kamu ini ada-ada saja." Faiq menggelengkan kepala.
"Tolong dia Mas, siapa tahu dia sedang kesulitan?"
"Kamu yakin?"
"Ya, sejak tadi tidak ada yang menghiraukan dia."
"Baiklah ...." Pria itu menurut.
Faiq berjalan dengan langkah lebarnya mencapai perempuan yang dimaksud oleh istrinnya.
"Permisi? Apa kamu sedang kesulitan? Apa terjadi sesuatu kepadamu?" tanya nya saat jaraknya hanya sekitar setengah meter dari perempuan itu.
Aini berhenti menangis, kemudian mendongak. Dan dia menemukan wajah tegas itu di hadapannya. Sosoknya yang tinggi menjulang berdiri tak jauh darinya.
"Apa terjadi sesuatu?" Faiq mengulangi pertanyaan seraya memiringkan kepala.
Aini belum menjawab, namun dia malah terdiam menatap pria tersebut.
"Kamu tahu, istri saya disana." Faiq menoleh ke arah kirinya, kemudian menunjuk seorang perempuan yang duduk di kursi taman. Yang kemudian tersenyum dan melambaikan tangan kepadanya.
"Dia mengira kamu sedang dalam kesulitan. Dan dia sepertinya khawatir," jelasnya kemudian.
"Apa kamu baik-baik saja?" ucap pria itu lagi, memastikan keadaan perempuan di depannya.
Aini menatap ke arah Farhana, dan dia mengingat pasangan ini. Yang tiba beberapa saat setelah jam kerjanya dimulai. Melakukan pemeriksaan kesehatan dan perempuan itu yang menjalani kemoterapi.
"Saya...."
"Kamu asistennya Gita bukan?" Faiq sedikit menunduk untuk melihat wajah perempuan itu agar lebih jelas.
"I-iya." Aini mengangguk.
"Bisakah kita kesana menemui istri saya? Agar dia tahu kalau kamu baik-baik saja," ucap Faiq yang mengisyaratkan dengan tangannya.
Aini teregun.
"Ayolah, nanti saya yang repot karena dia akan terus memikirkan kamu sepanjang malam," lanjutnya, dan dia sedikit menyentakan kepala.
Aini tak mengucapkan kata-kata, namun dia bangkit untuk kemudian mengikuti langkah pria tinggi itu ke sisi lain trotoar di mana Fathana berada.
***
Pasangan suami istri itu sama-sama tertegun menatap wajah sembab Aini yang baru saja selesai bercerita tentang kehilangan yang baru saja dialaminya.
"Bukan barang berharga, karena memang saya tidak punya barang berharga selain hape, tapi kartu identitas dan hal lainnya yang cukup penting untuk saya. Kalau kunci kosan bisa saya minta lagi kepada pemilik kost."
"Kosan kamu jauh dari sini?" Farhana buka suara.
"Cukup jauh, setengah jam kalau naik kendaraan umum, Bu." Aini menjawab sambil menyeka sudut matanya yang basah.
"Kenapa jauh sekali dari rumah sakit? Bukannya di dekat sana juga banyak kosan untuk pegawai seperti kamu?"
"Sudah penuh, Bu."
Farhana menoleh kepada suaminya.
"Terus sekarang kamu mau kemana?" tanya pria 35 tahun itu.
"Mungkin pulang dulu ke kosan."
"Apa tidak sebaiknya kamu membuat laporan ke kantor polisi dulu?" Faiq menyela.
"Saya ...."
"Iya, lebih baik kamu ke kantor polisi dulu." Farhana ikut berpendapat.
"Ayo Mas, kita antar Aini ke kantor polisi?" ucap perempuan itu dengan semangat.
***
"Terimakasih Pak, Bu." Aini setelah dia turun dari mobil milik pasangan suami istri yang baru saja mengantarnya ke kantor polisi untuk membuat laporan kehilangan.
"Sama-sama," jawab Farhana. "Kamu yakin akan baik-baik saja?" tanya nya kemudian, lalu melihat ke arah gang di pemukiman padat di depan mereka.
"Iya Bu. Terimakasih sekali lagi. Saya tidak tahu harus membalasnya denga apa karena saya tidak punya apa-apa saat ini." Aini dengan raut wajah yang masih terlihat sendu.
"Jangan dipikirkan. Cukup doakan saya sehat." Farhana dengan senyuman di bibirnya.
"Iya, semoga Bapak dan Ibu selalu sehat." Aini mencoba untuk tersenyum seperti halnya perempuan di depannya.
"Aamiin, terimakasih." Farhana pun mengamini ucapannya.
"Kami pamit." Lalu Faiq menyela setelah menyimak percakapan beberapa saat.
"Baik."
Kemudian mobil itu pergi meninggalkan Aini di tepi gang menuju ke arah kosan yang di didiaminya beberapa minggu ini.