Farhana memuntahkan isi perutnya kedalam toilet sesaat setelah mereka tiba di kamar. Efek kemoterapi beberapa saat yang lalu memang langsung dia rasakan. Dan itu benar-benar menyiksa.
Tubuh lemahnya ambruk di depan toilet, dan tangisan segera terdengar keluar dari mulutnya.
Faiq dengan cepat menghampirinya, lalu mengangkat tubuh perempuan itu untuk dia bawa ke tempat tidur, kemudian merebakan dia disana.
"Sampai kapan aku begini Mas? Aku sudah nggak tahan," isaknya, dan air mata terus berderai di pipinya.
"Bersabarlah, ini baru permulaan. Kamu harus kuat, demi kesembuhan ...."
"Dan setelah sembuh apalagi? Rahimku sudah diangkat, dan aku tetap tak bisa punya anak. Semua sudah tidak berarti!" racaunya, dan dia terus menangis.
"Sssshhh ... Jangan bilang begitu, tidak ada usaha yang sia-sia. Kesembuhanmu sangat berarti untukku." Faiq dengan penghiburannya, dia membelai wajah perempuan itu untuk menenangkannya.
"Yang ada aku hanya menyusahkan semua orang, terutama kamu. Bertahun-tahun kita hidup seperti ini dan tidak membuahkan hasil apapun. Lalu apa artinya semua ini?" Dia menghempaskan tubuh lemahnya pada bantal di belakang.
"Kamu tidak pernah menyusahkanku, sudah hak dan kewajibanku mengurusmu. Bukankah begitu seharusnya? Kita melalui segalanya bersama, dalam sakit dan sehat, susah dan senang, dalam kesulitan dan kelapangan. Seperti yang kamu lakukaan dulu, ketika kita berjuang bersama dari titik nol, saat kita masih belum punya apa-apa. Dan kamu tetap berada disisiku, mendampingiku berjuang hingga kita memiliki apa yang kita punya sekarang. Dan kamu selalu percaya kepadaku bukan?" Faiq menunduk untuk menatap wajah istrinya lebih jelas.
"Jadi sekarang, percayalah kepadaku. Aku sedang berusaha mencari cara untuk membuatmu sembuh. Agar kita bisa terus bersama-sama sampai nanti, sampai maut memisahkan kita. Jadi aku mohoh jangan menyerah sekarang. Masih banyak cara yang bisa kita lakukan untuk kesembuhanmu." lanjutnya, dan dia berusaha menguatkan perempuan itu.
"Tapi aku masih saja selemah ini Mas!"
"Tidak apa-apa, nanti juga kamu akan semakin kuat kalau mengikuti semua anjuran dokter. Meminum obat dengan benar, dan menuruti semua yang aku katakan, kamu akan semakin kuat dan akhirnya sembuh."
"Tapi tetap saja, kita tidak akan bisa punya anak. Aku tidak akan pernah bisa memberimu keturunan." Perempuan itu kembali menangis.
"Hana ...." Faiq manariknya dalam pelukan. "Rumah tangga bukan melulu soal punya anak, tapi kita membangun hubungan yang baik antara satu sama lainnya, saling membahagiakan dan saling menjaga seperti yang sedang aku laukan saat ini. Tidakkah kamu mengerti? Saat ini hal itu tidak berarti apa-apa untukku. Hanya kesembuhanmulah yang paling penting."
"Tapi Mas ...."
"Kita bisa mengadopsi kalau kamu benar-benar menginginkan seorang anak."
"Benarkah? Kamu mau melakukan itu untukku?" Tangis Farhana seketika terhenti.
"Ya, tapi pertama-tama kita harus membuatmu sembuh terlebih dahulu, punya anak itu membutuhkan energi yang banyak karena kamu akan direpotkan dengan rengekan dan semua tingkah lakunya. Aku harus memastikan kamu sehat agar bisa mengasuh anak kita dengan baik nantinya."
"Anak kita?"
"Ya, anak kita. Lahir dari rahim siapaun itu, dia atau mereka akan jadi anak kita bukan?"
Farhana menganggukan kepala.
"Jadi, mulai sekarang menurutlah padaku. Jangan pernah menyerah walau sesakit apapun, karena kita harus berjuang bersama-sama."
Farhana menatap wajah tegas suaminya dengan perasaan campur aduk, namun rasa harulah yang paling mendominasi. Bagaimana pria itu dengan berlapang d**a mendampinginya melewati masa-masa sulit ini. Ditengah kesibukannya mengurus usaha mereka yang telah dirintis bersama dari nol, hingga kini mereka berhasil mendirikan sebuah perusahaan percetakan yang di perhitungkan. Faiq menjadi orang pertama yang berusaha keras menyembuhkannya, meski dirinya sendiri justru sempat putus asa. Tapi pria itu dengan tangguhnya terus menyemangati hingga dia bisa bertahan sejauh ini.
"Berjanjilah kamu akan terus bersamaku sampai nanti, sampai tua, dan aku sudah tidak bisa apa-apa lagi." Dia meraup tubuh Farhana dalam rangkulan, kemudian memeluknya dengan erat.
***
Aini hampir saja membereskan mejanya ketika pasien terakhir dokter Gita tiba. Pasangan yang telah membuat janji sehari sebelumnya, seperti juga pasien-pasien lainnya.
"Aini?" Suara perempuan yang tampak dia kenal menyapanya.
Aini mendongak, dan dadanya terasa hampir meledak saat melihat dua orang di depannya.
"Anggi? Mas Arman?" Tenggorokannya terasa tercekat saat hampir menyebutkan nama pria itu, sang mantan suami yang baru dua bulan menceraikannya.
"Kamu bekerja disini?" Anggi bertanya, dan raut wajahnya setengah mengejek.
"I-iya, seperti yang kamu lihat," jawab perempuan itu, jelas saja dia merasa canggung. Menatap gerak-gerik pasangan di depannya yang begitu mesra.
Perempuan cantik dengan gaya elegan itu bergelayut manja pada lengan Arman, sang mantan suami yang juga terlihat canggung.
"Aku ada pertemuan dengan dokter Gita. Ups, maksudku kami." Anggi tersenyum begitu manis, namun lagi-lagi tersirat ejekan di raut wajah cantiknya yang berpoles make up itu.
"Ba-baik, sebentar." Aini memeriksa catatannya, dan memang tertera ada janji pertermuan atas nama Anggiat Prasasti.
"Jangan bilang Dokter Gitanya tidak ada ya, aku sudah bikin janji dari kemarin. Dan aku nggak bisa nunggu lagi lho, apalagi kandunganku ini ...." dia menyentuh perutnya perlahan.
Aini tak menjawab, dia hanya melirk sekilas dan segera bangkit untuk masuk kedalam ruang praktek atasannya.
"Silahkan, dokter sudah menunggu," ucapnya setelah beberapa saat.
"Terimakasih." Perempuan cantik itu hampir menyenggol tubuh Aini saat dia melenggang masuk dan menarik Arman dengan tergesa.
***
"Janin berusia lima minggu, dan dalam keadaan sehat. Selamat ya, ..." dokter Gita terdengar menyelamati pasangan itu yang tampak sangat berbahagia dengan kabar kehamilan tersebut.
Aini menghentikan kegiatannya, dan tak bisa dibohongi, hatinya terasa sesak mendengar hal tersebut.
"Mereka ... sudah menikah?" batinnya.
Dan perhatiannya kembali teralihkan ketika dokter Gita memanggil.
"Ya dokter?" Aini kembali masuk ke ruangan itu.
"Tolong siapkan obat ini ya? Saya harus memeriksa sesuatu," ucap dokter cantik tersebut.
"Ba-baik dokter." Perempuan itu mengerjakan apa yang di perintahkan.
Aini beberapa kali menghela napas berat saat harus mendengar celotehan manja dari pasangan tersebut. Dirinya bahkan beberapa kali dibuat kesal dari ucapan yang dilontarkan Anggi yang secara tidak langsung ditujukan kepadanya.
Soal kehamilan dan kelahiran bayi yang sebentar lagi akan di hadapi pasangan tersebut. Yang lebih seperti sebuah sindiran kepadanya yang setelah beberapa tahun menikah tak kunjung mampu memberikan keturunan bagi suaminya dulu.
"Terimakasih, datang lagi bulan depan ya, untuk kontrol rutinnya? Jangan lupa obat dan vitaminnya dihabiskan, agar ibu dan bayinya sehat sampai waktunya nanti melahirkan." Dokter Gita mengakhiri sesi konsultasi sore itu, dan pasangan tersebut pun pergi, membuat Aini bisa bernapas lega.
"Kamu kenal mereka Ai?" Dokter cantik itu bertanya, yang sejak tadi memperhatikan raut wajah asistennya saat pasangan terakhir itu masuk ke ruangannya.
"Mm... Ke-kenal dokter." Aini menjawab. "Itu mantan suami saya dan istri barunya," katanya, lalu berpamitan dan keluar dari ruangan itu.