"Selamat pagi?" Suara seorang perempuan menginterupsi perhatian Aini yang tengah fokus pada pekerjaannya yang baru saja dimulai.
Kursi roda itu mendekati meja kerja, dan wajah pucat Farhana langsung mendominasi pandangannya.
"Sepertinya kami pasien pertama disini ya?" Farhana lebih dulu berbicara.
Aini tersenyum kepada pasangan tersebut, yang segera menular kepada mereka.
"Seperti yang ibu lihat, saya juga baru sampai," jawab perempuan bersurai hitam tersebut yang tengah menata meja kerjanya.
"Dokter Gita belum datang?" Farhana bertanya seraya melihat sekitar.
"Belum, mungkin sebentar lagi. Beliau masih dijalan. Ibu ada jadwal konsultasi dengan dokter Gita?" Aini menyiapkan buku catatan beserta alat tulisnya kalau-kalau ada yang harus dia catat.
"Tidak ada, hanya jadwal kemoterapi dengan dokter Firman." Faiq menyela.
"Dokter Firman?" Aini melihat catatannya yang dia dapat beberapa saat sebelumnya dari dokter yang dimaksud.
"Oh iya, sudah dua minggu ya? Kebetulan Dokter Firman baru saja datang. Sebentar saya beri tahukan dulu?" Aini pun bangkit.
"Baik." Pasangan itu menunggu.
***
"Kemoterapinya sudah bisa dimulai, Bu. Silahkan." Aini membukakan pintu, dan pasangan tersebutpun masuk kedalam.
Sesi kemoterapi kali itu terasa lama, sudah lebih dari satu jam mereka berada di ruangan tersebut. Aini sesekali menatap pintu yang tertutup rapat, hingga akhirnya terbuka dengan sendirinya.
Farhana tampak lemah, dengan wajah yang semakin pucat. Lebih lemah dari sejak dia tiba beberapa saat sebelumnya.
"Mas!!" panggil perempuan itu dengan suara pelan, satu tangannya menarik lengan Faiq, sementara tangan lainnya memegangi perutnya.
"Ya, Sayang?" Faiq menunduk.
"Aku ... mual." Farhana setengah berbisik.
"Baiklah, tahan sebentar." Pria itu mendorong kursi roda ke arah toilet tak jauh dari sana.
Lalu terdengar suara orang memuntahakan isi perutnya, di susul tangisan setelah beberapa menit lamanya.
"Aini, siapkan ruang pemulihan!" Dokter Firman berteriak.
Tanpa banyak bertanya perempuan itu segera melakasanakan apa yang di perintahkan.
***
"Obatnya bereaksi sangat cepat kai ini." Dokter Firman menatap jam tangannya, menghitung waktu dari selesai penyuntikan cairan obat hingga saat tubuh Farhana bereaksi.
"Apa itu buruk?" Faiq bertanya.
"Normalnya harus menunggu beberapa menit sampai bereaksi, tapi keadaan ini membutuhkan observasi lebih lagi. Kita tidak tahu apa yang menyebabkan reaksinya secepat itu, jadi ... tinggallah untuk beberapa saat lagi untuk pemeriksaan." Sang dokter berujar.
Faiq kemudian menoleh kepada istrinya, yang tebaring lemah di tempat tidur. Sengan wajah pucat dan mata sembab akibat menahan sakit dan rasa mual di perutnya.
Pemeriksaan mendalam kembali di lakukan. Ct scan, USG, dan tindakan penting lainnya untuk mengetahui kondisi terbaru Farhana. Melihat bekas operasi, dan sisa yang mungkin saja tertinggal ataupun terlewatkan setelah tindakan medis sebelumnya.
"Tubuhnya bereaksi berlebihan, dan ini keadaam langka yang dialami oleh pasien. Farhana seperti menolak obat yang kita masukan ke tubuhnya, dan itu buruk." Dokter Gita menerangkan, usai mendapat hasil pemeriksaan dari rekannya.
"Tidak adakah yang bisa kita lakukan untuk merubah keadaannya?" Faiq dengan nada putus asa, baru saja dia merasa lega karena keadaan istrinya membaik, namun mereka sudah harus mengalami kepanikan lagi karena kini kondisnya mulai menurun.
"Kami akan berusaha sekeras yang kami bisa, tapi itu juga membutuhkan kekuatan dari pasien itu sendiri. Keadaannya yang menurun ini diakibatkan dia terlalu berpikir keras." Dokter Gita berujar.
"Apa yang dia pikirkan?"
"Entahlah, kamu harus mencari tahu. Bisa jadi itu yang menyebabkannya melemah. Dan itu sangat buruk. Pengobatannya tidak akan berhasil jika dia terus seperti ini."
Faiq menghela dan menghembuskan napasnya perlahan. Dia benci jika harus berpikir keras seperti ini. Sungguh membuatnya merasa frustasi.
"Aku mau pulang sekarang, Mas." Farhana hampir berbisik.
"Tidak jika keadaanmu masih seperti ini." Faiq datang menghampirinya.
"Tapi aku tidak mau lagi ada disini, rumah sakit membuatku mual."
"Itu efek dari pengobatan, Hana. Agar kamu sembuh."
"Aku ingin pulang Mas." perempuan itu hampir menangis.
***
Aini memeriksa keadaan Farhana setelah beberapa jam. Selang infus menggantung tersambung ke urat nadinya, mengalirkan cairan nutrisi bercampur obat yang disuntikan dokter Firman beberapa saat sebelumnya.
"Aku ... tidak akan berhasil bukan?" Perempuan itu bicara dengan suara pelan.
"Maaf bu?" Aini menghentikan pekerjaannya dan beralih kepadanya.
"Aku tidak akan sembuh." Farhana menatap wajah sendu di depannya. Perempuan asing yang baru dia kenal di rumah sakit itu, namun entah mengapa dia merasa ingin berbicara banyak hal kepadanya.
"Ibu pasti sembuh, tidak lama lagi keadaan ibu akan membaik. Dan semuanya akan kembali normal seperti sebelum ibu sakit." Aini dengan penghiburannya.
"Sudah dua tahun Aini, tapi keadaanku masih seperti ini. Bahkan setelah penyakitnya diangkat, dan apa yang membuat aku sempurna sebagai seorang perempuan pun ikut dibuang. Keadaanku masih saja selemah ini." Perempuan itu berlinang air mata.
"Ini kan masih proses penyembuhan, Bu. Kemoterapinya baru berjalan dua kali, dan proses kedepannya masih panjang."
"Tapi aku sudah lelah melakukannya, Aini. Aku bosan menjalani pengobatan, meminum obat yang jumlahnya banyak, dan kamu tahu, itu rasanya tidak enak?"
"Demi kesembuhan, Bu. Semua proses menyakitkan harus dilalui agar keadaan ibu membaik." Aini mencoba menguatkan.
"Lalu apakah dengan begitu aku akan sembuh?" Farhana melontarkan pertanyaan.
"Tentu saja ibu akan sembuh, tidak ada usaha yang menghianati hasil. Semua kerja keras bapak dan ibu akan membawa kesembuhan," ucap Aini.
Dia merasa harus membesarkan hati perempuan sakit ini, meskipun dirinya tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Tapi dia percaya, harapan adalah satu-satunya yang mampu membuat seseorang bertahan lebih lama, bahkan dalam keadaan lemah sekalipun.
Seperti dirinya, yang berusaha bertahan dalam keadaan terpuruk, dengan harapan akan menemukan kebahagiaan suatu hari nanti. Entah dengan siapa, dan bagaimana jalannya. Tapi dia percaya Tuhan telah menyiapkan yang terbaik untuknya.
"Aini." suara Farhana membuyarkan panggilannya.
"Eh ... iya, Bu?"
"Kamu sudah menikah?" tanyanya.
"Su-sudah, Bu." Aini menjawab, dan dia melanjutkan tugasnya memeriksa keadaan perempuan itu. Lalu mencatatnya untuk dia laporkan kepada dokter yang menanganinya.
"Maksud saya ... pernah menikah," lanjut Aini kemudian saat dia mengingat keadaannya sendiri.
"Pernah menikah? Artinya ...."
"Saya janda." Perempuan itu sedikit terkekeh.
"Oh, ... Maaf." Farhana terdengar menyesal.
"Tidak apa-apa, Bu. Saya sudah mulai terbiasa dengan status itu sekarang. Walaupun awalnya memang tidak mudah, tapi harus tetap di jalani, bukan?" katanya, yang menutup buku catatannya saat pekerjaannya selesai.
"Sudah lama?" Farhana kembali bertanya.
"Mau tiga bulan."
"Kenapa?" Farhana merasa antusias.
Aini terdiam, dia kembali menatap wajah perempuan yang tengah terbaring lemah itu.
"Ah, maaf. Aku terlalu lancang bertanya banyak hal kepadamu. Tidak usah dijawab," ucap Farhana kemudian sambil terkekeh.
Aini tersenyum.
"Baik, kalau begitu saya tinggal? Ibu harus istirahat," ucapnya kemudian, dan Aini segera pergi.
"Baiklah." Sedangkan Farhana menatapnya hingga perempuan itu menghilang dibalik pintu.