19- Di Kantin Sekolah

1906 Kata
"Makanan datang!" Jun berseru sembari menenteng nampan plastik yang berisi tiga buah piring itu. Cowok itu segera menyodorkan nampan ke hadapan gadis- gadis di meja mereka itu. "Wah, Thank you ..." Fina menyambut nampan itu dan segera berbinar melihat siomay yang ia pesan. Segera ia memberikan piring lain pada dua gadis di samping kanan dan kirinya itu. "Ini buat lo," ujarnya sembari menatap Jena. Lalu beralih menatap Karina dan mengucap kembali kalimat yang sama. "Ini buat lo." "Makasih," ucap Karina mengulas senyumnya. Ia berikutnya menerima sebuah gelas berisi es teh manis dari Jun. Gadis itu membalas senyum yang ditujukan Jun padanya. "Seblak mulu," gerutu Fina tiba- tiba. Seluruh orang yang ada di meja itu menatap ke arah Rehan. Cowok itu tengah menyantap krupuk basah dari isi seblak itu. Kemudian merasa menjadi pusat perhatian, Rehan menoleh. "Napa sih? Suka-suka gue dong," ucapnya santai dengan memainkan raut wajahnya. Rehan menyantap seblak itu dengan raut berlebihan sembari mengucap "Eum" berulang kali. Fina menatapnya dengan tatapan jijik. Membuat Jena ikut menggeleng di sampingnya. "Rehan sehari aja tanpa seblak, bagai hidup tanpa semangat," timpal Jena. Jun mengangguk. "Bagai sayur tanpa garam, anyep." Ia tertawa di akhir kalimatnya sembari memukul punggung Rehan. Hal itu menyebabkan Rehan hampir tersedak, cepat-cepat ia meminum air mineral. "b*****t!" Rehan mengumpat keras. Umpatan itu kelewat keras sampai-sampai ketiga gadis di depan cowok itu tersentak, dan beberapa siswa yang melintasi meja mereka menoleh. "Rehan!" Fina menggetok kepala cowok itu dengan sendok yang belum sempat ia sentuhkan pada siomaynya. "Ngomongnya, woy!" Jun ikut menjitak kepala Rehan. "Lihat, Karina sampai kaget." Cowok itu menunjuk Karina membuat gadis itu mengerjap. Karina terkekeh. Kemudian menetralkan raut wajahnya. "Eh, gak apa-apa, kok." "Maafin Rehan ya Karina, dia kalau kesel emang suka berkata kasar kek gitu." Fina menatap Karina dengan penuh penyesalan. "Cowok emang gitu." Ia mengingat dengan jelas bagaimana Jun dan Rehan bahkan berkata kasar ketika sedang bercanda hanya berdua. Jena dan dirinya sering memperingati kedua cowok itu. Dan belakangan sudah lebih berkurang, mereka jarang mengucap kalimat itu. Apalagi ketika ada Jena dan dirinya, kedua cowok itu lebih memperhatikan perkataannya. Namun entah tiba-tiba Rehan keceplosan seperti itu. Cowok tetaplah manusia. "Sorry, Rin." Rehan menyengir. "Gue keceplosan." Berikutnya ia memberi tatapan maut pada Jun yang tergelak di sampingnya. Bahkan Jun hanya membalas tatapan itu dengan lidahnya yang terjulur. Meledek Rehan. "Udah, udah." Jena menengahi. "Gue mau makan siomay aja susah amat dari tadi." Gadis itu memberi tatapan kesalnya pada dua cowok yang masih saling meledek itu di depannya. Baru setelah Jena memelototi keduanya, Rehan maupun Jun kembali kicep. Keduanya menyantap makanan di depan mereka masing-masing dalam diam. "Omong-omong, kenapa lo gak pernah berangkat bareng sama Jena dan Jun?" Pertanyaan acak dari Fina di tengah keheningan itu membuat semua orang di meja itu mendongak. Termasuk Karina, orang yang mendapatkan pertanyaan itu. Gadis itu menatap keempatnya dengan sedikit gugup. Rasanya bagai disudutkan hanya dengan satu buah pertanyaan. "Eng-Itu-Gue-" "Iya, lo selalu bilang gue sama Jun buat berangkat duluan. Makanya Fina penasaran gitu, ada apa?" Jena menambahi. Karina makin merasa tersudut. Tidak mungkin ia mengatakan yang sebenarnya tentang kenyataan bahwa ia menyembunyikan tentang kenampakkan rumahnya. Tidak mungkin juga mereka akan memahami begitu saja alasan Karina berbohong pada mereka. Kini Karina memutar otaknya, mencari alasan apa yang tepat ia sampaikan. "Gue kesiangan!" seru Karina dengan cepat. Gadis itu menyengir lebar. "Terus juga gue kadang harus nyapu rumah dulu," sambungnya lagi. Ia menatap respon dari keempat temannya itu. Jun dan Rehan sudah tidak peduli rupanya dan malah menyantap kembali makanan mereka. Tidak menatap Karina lagi seperti tadi. Sedangkan Fina dan Jena masih belum sepenuhnya percaya. Mereka berdua masih menatap Karina. "Pembantu lo gimana? Bukannya harusnya lo punya pembantu di rumah sebesar itu?" Jena mengunyah siomaynya sembari menanyakan hal itu. Fina yang tadinya menatap Karina kini beralih pada Jena. "Rumah Karina sebesar apa?" "Lo tahu rumah besar yang baru dibangun di dekat jalan yang ke arah rumah gue, Pin?" Jun menyahut. Rupanya ia masih tertarik dengan percakapan ketiga gadis itu. Ia melihat Fina mengangguk, baru menyambung dengan kalimat, "Itu rumah Karina." Fina sontak membekap bibirnya. "Wah, serius?" tanyanya dengan nada tinggi. Ia langsung menatap Karina, dan memberinya tatapan takjub. "Itu rumah lo?" Karina meremas rok selututnya. Ia tidak bisa berbuat apapun lagi sekarang selain mengangguk dan mengiyakan. Memang, kebohongan kecil akan membawa pada kebohongan yang lebih besar lagi. Seperti yang dilakukannya sekarang. "Iya." Karina tersenyum dengan canggung. Fina makin melebarkan matanya. "Wah!" Ia menautkan lengannya pada lengan Karina. "Gue gak nyangka." Karina menyengir saja mendapat perlakuan seperti itu. Sampai perkataan Rehan yang terlontar begitu saja disela kunyahannya. Yang tak bisa membuat Karina mempertahankan cengirannya. "Kalau rumah besar tanpa pembantu gitu bukannya susah? Lo yakin gak punya pembantu?" Karina kembali mendapatkan tatapan seperti itu. Namun tidak dengan Jun yang kini menunduk, tidak menatapnya seperti yang lainnya. "Eng-Itu-" Ia terbata. Karina merutuki kebodohannya sekarang. "Iya, bener. Padahal kalau ada pembantu lo bisa santai dan bisa berangkat bareng gue dan Jun." Jena menambahkan. Ia meneguk es teh manisnya setelahnya. Fina mengangguk masih menautkan lengannya pada Karina. "Ho-oh." Tangan Karina yang tak ditautkan Fina, kini meremas roknya lagi. Ia menunduk mencari jawaban lain. Namun ia tidak menemukannya, kebingungan melandanya. "Mungkin keluarga Karina kesusahan cari pembantu baru. Apalagi keluarganya 'kan baru pindah, gak semudah itu lagi nemu pembantu yang cocok." Ucapan itu dari Jun. Ia mendongak dan mengedarkan tatapannya sembari tersenyum. "Udah, deh. Kasihan Karina dari tadi belum nyentuh siomay-nya sama sekali." Mendengar ucapan Jun itu, mereka semua segera menyengir lebar dan merasa tidak enak pada Karina. Terlebih Fina yang langsung melepaskan tautan tangannya. "Sorry, Rin." Fina menyenggol lengan Jena yang ikut merasa tidak enak di sampingnya. "Iya, gak apa-apa." Karina mengangguk dengan cepat. Lalu segera tersenyum maklum. Ia mengalihkan tatapannya pada Jun yang kini kembali sibuk menyantap baksonya. Karina tersenyum senang, dan bersyukur dalam hati. Tak ada yang dapat menandingi perasaan senang itu sekarang. Terlebih karena perbuatan Jun padanya itu. Jun ... baru saja membelanya. *** Bayu memasuki kantin dengan Zaldi di sampingnya yang terus merangkulnya. Cowok itu menghentikan langkahnya, lalu mengedarkan tatapannya ke penjuru kantin dan langsung mengeluh sesudahnya. "Kantin tumben rame amat." Bayu berujar pada Zaldi di sampingnya. Dengan cepat ia menyentak tangan Zaldi yang merangkulnya itu. "Emang biasanya serame ini 'kan? Kantin mana pernah sepi?" Cowok itu terkekeh menanggapi perkataan Bayu. Selanjutnya ia ikut mengedarkan tatapannya, lalu langsung menunjuk sebuah meja yang berada di tengah kantin. "Itu meja anak kelas kita. Yuk ke sana aja!" Bayu dan Zaldi kembali berjalan memasuki kantin. Mereka menuju sebuah meja yang berisi tiga orang siswa dari kelasnya. Sebelas IPA 4. Kedua cowok itu tak sadar bahwa mereka berjalan melewati meja Jun dan kawan-kawannya. Begitu melihat kehadiran Bayu, mata Jena langsung berbinar. Sontak gadis itu segera merapikan rambutnya itu, menyisir dengan jarinya. Selanjutnya ia bersiap meneriakkan nama cowok yang amat ia sukai itu. "BAYU!" Keempat orang di meja yang sama dengan Jena itu hampir tersedak mendengar teriakan itu. Karina dan Fina tersentak kecil. Jun bahkan hampir menumpahkan kuah baksonya. Sedangkan Rehan sudah terbatuk. Mereka semua melihat Jena yang kini sudah bersiap untuk beranjak dengan membawa piring siomaynya. Jena berjalan hampir menyerupai lari ketika menghampiri meja Bayu dan kawan-kawannya itu. Seluruh penghuni kantin itu sebenarnya tadi sempat menoleh pada Jena, ketika mendengar teriakan itu. Namun sesaat sesudahnya, mereka abai dan kembali pada aktivitas semula. Bahkan satu sekolah tahu kalau Jena sudah mengejar Bayu sejak kelas sepuluh. "Bay, Jena!" Zaldi menepuk pundak Bayu itu dengan antusias. Bayu yang mendengar teriakan Jena dan melihat bagaimana gadis itu menghampirinya itu hanya dapat menggelengkan kepalanya. "Jangan lari, Jen." Bayu hanya menggumamkan kalimat itu yang tak terdengar bagi teman-temannya. "Hai!" Jena sudah sampai di samping meja Bayu itu. Gadis itu membawa piringnya dan meletakkannya ke atas meja. "Gue boleh makan di sini?" tanyanya. Bayu tersenyum singkat. "Bahkan kalau gak dibolehin, lo bakal tetap makan di sini, 'kan?" Ia bertanya dengan pelan tanpa berniat menyakiti Jena. "Betul!" seru Jena dengan girang. Gadis itu segera menyenggol Zaldi yang berada di samping Bayu dan merebut kursi milik Zaldi itu. Bayu ikut terkekeh melihatnya. "Wah, udah! Angel, udah! Kalau ada Jena, Bayu serasa dijadikan hak paten." Zaldi menggelengkan kepalanya sembari ikut menggeser badannya ke kursi lain. Sedangkan teman-teman Bayu yang lainnya hanya terkekeh pelan menanggapi tingkah Jena itu. Beralih ke meja Jun dan gengnya itu lagi. Fina hanya bisa menggelengkan kepalanya menatap kelakuan Jena itu. Disusul dengan Rehan yang berdecak. "Jena kalau ada Bayu pasti selalu heboh." Rehan menggerutu. Jun ikut mengangguk. Ia menyantap sebutir baksonya yang terakhir dengan geram. "Iya. Dan gue memang gak pernah suka sama Bayu." Karina dan Fina hanya terkekeh. "Biarin aja Jena dengan kebucinannya itu." Fina berujar santai sembari menyantap siomaynya lagi. Karina mengangguk. Namun ia masih memperhatikan Jena yang tampak mengobrol dengan Bayu itu. Berbeda dari yang terakhir kali ia lihat, Bayu tampak ikut mengobrol dan menanggapi perkataan Jena. Bahkan Karina melihat si Ketua OSIS itu sesekali terkekeh pelan namun samar. "Jena selalu dikelilingi orang-orang penting, ya." Ucapan Karina itu ke luar tanpa sadar. Menyadari hal itu, ia langsung tersenyum canggung ketika ditatap oleh Fina di sampingnya. "Si Ketua OSIS itu?" Fina menunjuk arah meja Bayu dengan garpunya. Kemudian terkekeh. "Jena 'kan juga orang penting." Karina mengangguk. "Betul. Jena juga orang penting, makanya dia dikelilingi orang penting juga," ucapnya sembari mengedarkan tatapannya. Ia bersitatap dengan kedua cowok di depannya. "Kayak kalian." Fina langsung terkekeh. "Gue?" Gadis itu tersenyum malu-malu. "Ah, lo bisa aja!" Ia menyenggol pelan lengan Karina di sampingnya. "Lo juga orang penting, Rin, makanya bisa duduk bareng kita di sini." Rehan menanggapi, lalu menyengir. "Cuma orang penting yang bisa tahan berteman sama Syapina Putri," sambungnya lagi dengan memeletkan lidahnya pada Fina. "Nama gue Syafina, ya! Pake 'F'!" Fina menggebrak meja di depan Rehan. Sedangkan cowok itu malah tidak peduli. "Gue penting?" Karina menunjuk dirinya sendiri dengan bingung. Fina menoleh. "Lo penting, dan cantik. Bahkan semua anak di sekolah ini mulai tanya ke gue tentang si anak baru." Gadis itu terkekeh. "Banyak yang mau berteman sama lo karena katanya lo cantik." Lalu ia menyambung. "Gak sia-sia gue ajak lo gabung sama kita." Ia membanggakan dirinya sendiri. Rumor tentang kepindahan Karina ke sekolah mereka bahkan menjadi perbincangan panas belakangan ini. Pasalnya si 'Anak Baru' itu memang secantik itu sampai-sampai membuatnya langsung terkenal ke sepenjuru sekolah. Ditambah lagi kini Karina bergabung dengan geng 4Na yang isinya murid cantik dan ganteng itu. Geng yang terkenal di sekolah mereka karena bukan hanya dianugerahi paras rupawan, namun juga kekayaan yang melimpah dan otak yang cerdas. Karina menarik sudut bibirnya. "Gue ... cantik?" Ia terkejut pasalnya mendengar langsung kalimat itu dari Fina. Bahkan salah satu gadis paling cantik yang ia jumpai di sekolah barunya itu. Fina menganga. "Wah, apa lo minta gue puji sekarang?" candanya. Lalu ia menyambung lagi kalimatnya. "Cantik, kok. Lo cantik." Selanjutnya gadis itu menatap Jun yang sedari tadi memainkan ponselnya. Jun sejak tadi hanya terdiam dan belum merespon apapun. "Ya, 'kan, Jun?" tanya Fina sembari memandang Jun. Karina dan Rehan ikut menatap Jun. Mendapatkan semua tatapan itu, membuat Jun mendongak. Ia mengerut dahinya dengan raut bingung. "Apaan?" tanya Jun. Fina mendecak. "Karina cantik, 'kan?" tanyanya tanpa tedeng alih-alih. Jun sontak menatap Karina yang tengah menatapnya itu. Karina dalam hati berdoa agar Jun tidak memberi jawaban yang mengecewakan. Lalu dengan tersenyum dan mengangguk, cowok itu menjawab lugas, "Cantik. Karina cantik, kok." Berikutnya ia tersenyum lagi, dan kembali memainkan ponselnya dengan santai. Tanpa menyadari bahwa gadis di depannya itu kini tengah merona merah. Mendengar Jun mengucapkan hal itu membuat gadis itu senang bukan main. Rasanya hari ini adalah hari keberuntungan untuk Karina. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN