20- Obrolan di Teras Rumah

1120 Kata
Karina berjalan pelan. Gadis itu mengusap dahinya yang dipenuhi peluh, sembari tangan satunya mengibas-ngibas seragam batik sekolahnya. Hari ini cuacanya sangat panas, dan ia harus berjalan pulang seorang diri di tengah teriknya matahari. Jena dan Jun sibuk dengan kegiatan organisasi masing-masing. Jena dengan Ekskul Teaternya, sedangkan Jun dengan Ekskul Dance-nya. Sehingga sepasang sahabat itu tidak bisa pulang bersama dengan Karina siang ini. Mungkin setelah ini Karina akan memikirkan tentang mengikuti ekstrakurikuler juga. Jadi ia bisa ikut pulang dengan Jena atau Jun jika mereka pulang sore. Bahkan Karina sempat memikirkan perihal mengikuti ekstrakuriler yang sama dengan Jena. Ia akan makin senang jika bisa berada dalam satu naungan organisasi yang sama dengan Jena. Yaitu di Ekstrakurikuler Teater. Karina kini sudah sampai di gang yang akan membawanya ke rumahnya. Gadis itu berjalan dengan malas bahkan saat hampir mendekati rumahnya. Rumah kecil dengan warna cat putih itu. Begitu sampai di depan rumahnya, gadis itu untuk ke sekian kalinya berhenti. Ia menatap rumahnya itu lekat-lekat. Tepat ketika ia tengah berdiri di depan rumahnya itu, Ayahnya berjalan dari arah dalam rumah. Sang Ayah yang mengenakan seragam berwarna biru muda itu ke luar dari dalam, kemudian menduduki sebuah kursi panjang di depan rumah. Lelaki itu segera mengenakan sepatunya tanpa menyadari bahwa sejak tadi Karina memperhatikan gerak-geriknya. "Eh, kamu ngapain berdiri di situ, Rin?" Ayah Karina itu baru tersadar akan keberadaan putrinya itu. Karina mengulum bibirnya. Kemudian mendekati kursi panjang di depan rumahnya itu. Tepatnya ia duduk di samping Ayahnya. "Ayah mau berangkat lagi?" tanya gadis itu. Ayahnya kini mengangguk tanpa menatap Karina. "Iya," ucapnya. Lalu mendongak untuk menatap Karina. "Sana kamu makan, udah disiapin sama Ibu di dalam," sambungnya. Karina tak merespon apapun. Ia hanya menatap Ayahnya dengan sorot kasihan. Di usianya yang menjelang senja itu, Ayahnya masih bekerja sebagai supir taksi. Bahkan berulang kali sudah diperingati oleh kakak-kakak Karina agar tidak usah bekerja, namun Ayahnya terus saja mengeyel. Seperti sekarang ini. Ketika Karina pulang dari sekolah, Ayahnya malah kembali berangkat bekerja setelah tadi makan siang di rumah. Kakak-kakak Karina meskipun sudah dewasa dan berpenghasilan sendiri, namun mereka sudah memiliki kehidupan rumahtangga masing-masing. Mereka terkadang mengirim sisa uang untuk kedua oraangtuanya, ataupun untuk Karina. Namun mereka tidak tetap memberi uang per bulannya. Jaraknya kadang bisa dua bulan, atau tiga bulan sekali. Sedangkan Ibu Karina bekerja sebagai asisten rumahtangga biasa. Iya, ibunya bekerja di rumah besar yang Karina tunjuk sebagai rumahnya itu saat bersama Jena dan Jun. "Ayah kenapa sih harus sekolahin Karina di sekolah baru itu? Itu 'kan biayanya mahal." Tepat setelah Ayahnya selesai mengikat tali sepatunya, Karina berucap seperti itu. Gadis itu kali ini membuat ekspresi datar sambil menatap Ayahnya. "Maksud kamu?" Ayahnya terkekeh. "Di sana gak mahal, kok. Biayanya masih bisa kita jangkau," jelasnya. Lalu menepuk punggung Karina dengan pelan. "Kamu gak usah khawatir." Karina menepis tangan Ayahnya itu dari punggungnya. "Harusnya Ayah gak perlu sekolahin Karina di sekolah itu. Biayanya mahal, anak-anaknya juga semuanya dari keluarga kaya. Karina merasa minder sekolah di sana." Gadis itu menatap jalan aspal di depannya. Tak berniat menatap Ayahnya lagi. "Masa semuanya dari keluarga kaya?" Ayah Karina terkekeh. "Gak mungkin, Rin. Pasti ada juga yang dari keluarga biasa-biasa saja seperti kita." Ayahnya itu mencoba menghiburnya. Karina hanya terdiam mendengarkan perkataan Ayahnya itu. Ia tidak merasa terhibur sama sekali dengan kalimat itu. Nyatanya di sekolah barunya itu semua anak- anaknya berasal dari keluarga kaya. Tidak seperti dirinya. "Ayah sekolahin kamu di sana karena sekolah itu bagus dan mendukung untuk kuliah kamu nantinya. Kamu cuma perlu belajar yang rajin biar jadi juara di kelas," sambung Ayahnya lagi setelah Karina terdiam cukup lama. Setelah tersenyum dan menepuk bahu Karina lagi, Ayahnya beranjak bangkit dari duduknya. Lalu menunduk untuk menatap Karina. "Sudah siang, Ayah berangkat lagi, ya." Karina masih terdiam. Gadis itu hanya dapat memandang punggung Ayahnya itu yang berjalan makin jauh, kemudian menghilang di ujung gangnya untuk ke luar menuju mobil taksinya. *** Jena cekikikkan di depan televisi di ruang keluarga rumahnya. Kedua kakinya berselonjor ke atas meja. Ada setoples keripik singkong yang ia dekap, lalu segelas air dingin di atas meja. Tercetak jelas sudah kenyamanan di depan mata gadis itu. "b**o! Ngapain bisa gitu, sih?" Jena mengambil lagi keripik singkong dalam toples yang didekapnya itu. Kemudian kembali fokus menatap layar televisi yang tengah menampilkan serial kartun kesayangannya itu. Saat Jena masih sibuk mengunyah keripik singkongnya, Mamanya datang dari arah depan. Sang Mama sontak berkacak pinggang melihat kelakuan anak gadis semata wayangnya itu. Ia bahkan menggelengkan kepalanya berulang kali sambil mendecak. "Anak gadis siapa ini?" Marlina menyindir Jena. Jena yang sedari tadi tidak menyadari kemunculan Mamanya itu hampir terjungkal karena kakinya yang tiba-tiba ikut kaget. "Ma, ngagetin Jena aja." Jena mencebik sebal. Kemudian mengelus dadanya. "Iya, iya. Lagian kamu kenapa bisa santai kayak gitu sih?" Marlina menggeleng lagi. "Nenek kamu udah makan apa belum, kamu gak mikirin itu?" tanyanya lagi. Jena menurunkan kakinya dari atas meja. Lalu sedetik berikutnya ia menepuk dahinya. "Oh, iya. Aku belom nyuapin Nenek." Marlina menggelengkan kepalanya untuk ke sekian kali. "Udah, sana, buruan! Nanti Nenek kelaperan." Jena menjilat sisa bumbu di tangannya sebelum bangkit dari duduknya. "Siap, Bos!" Bergegas gadis itu menuju dapur. Tak lupa Jena membawa makan malam untuk Neneknya itu, dan segera mengetuk kamar Neneknya yang tak jauh dari ruang keluarga itu. "Nek?" Langkah kaki Jena memelan begitu memasuki kamar Neneknya. Kemudian ia meletakkan senampan makanan untuk neneknya itu ke atas nakas. Setelah itu Jena segera mendekati kasur Neneknya, di mana Neneknya tengah tertidur membelakangi pintu itu. "Nenek tidur?" Tidak ada sahutan. Jena segera mempercepat langkahnya mendekati ranjang neneknya. "Bangun, Nek. Makan, yuk." Kali ini ada sedikit suara yang terdengar di telinga Jena. Neneknya tampak terganggu dalam tidurnya. Lalu mulai membuka matanya. Jena tersenyum begitu menatap Neneknya yang juga menatap ke arahnya. "Yuk, makan. Jena suapin." Gadis itu membantu neneknya bangkit untuk duduk, yang mengakibatkan selimut neneknya tersibak, bahkan sampai jatuh ke lantai. Namun ia lebih memilih mendudukkan neneknya terlebih dahulu sebelum mengambil selimut itu lagi. "Yah, jatuh." Jena berjongkok mengambil selimut yang terjatuh itu. Namun gadis itu kini teralihkan oleh suatu benda yang ikut jatuh bersamaan dengan selimut itu. Bentuknya seperti kertas, namun saat Jena mengambil selimut yang sedikit menutupi benda itu, ia bisa melihat bahwa benda itu adalah selembar foto. Jena mengambil foto itu. Foto yang sudah usang karena termakan zaman. Jena melihat foto itu dengan jelas lagi. "Nenek selalu mandangin foto ini." Jena terkekeh ikut memandang sosok di dalam foto itu. Yang Jena tahu, adalah kakak dari neneknya itu. Namun seiring senyuman Jena, sudut bibirnya mulai memudar begitu menyadari sesuatu. Selama ini ia sering memandangi foto itu, namun ia baru sadar kali ini. Sosok di dalam foto itu adalah sosok yang sama dengan yang ia lihat di sekolahnya. Sosok itu, adalah Jun dengan mengenakan pakaian masa lalu. Mata Jena membelalak lebar. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN