Jun bermimpi. Di dalam mimpi itu ia melihat banyak sekali darah di tanah hitam yang membuat tanah itu berubah menjadi kemerahan. Ada jeritan dan tangisan yang terdengar di sana. Kemudian ia melihat ada dua orang yang tergeletak tak berdaya di atas tanah itu, mereka tampak sudah meninggal. Dengan darah yang mengalir deras dari tubuh masing-masing. Bahkan baju mereka sudah tak berbentuk melainkan hanya memerah diwarnai oleh darah itu.
Jun mencoba melihat wajah dua orang yang tergeletak tak berdaya di tanah itu. Namun ia tak dapat melihatnya. Buram. Seolah pandangannya tertutupi. Ia hanya bisa melihat tubuh tergeletak tanpa tahu siapa pemilik tubuh itu.
Setelahnya, Jun merasa tertarik oleh sesuatu yang kuat dan membuatnya kembali ke alam sadarnya. Cowok itu membuka matanya lebar-lebar dengan napas terengah. Ia mengedarkan matanya dan menyadari bahwa ia masih berada di dalam kamarnya, bukan lagi di tempat dengan banyak darah tadi.
"Gue mimpi?"
Jun bangkit terduduk. Kemudian ia mencoba menetralkan degup jantungnya yang teramat kencang. Cowok itu mengumpulkan nyawanya kembali, dan bahkan baru menyadari bahwa sedari tadi alarm dari ponselnya berdering keras.
"Mimpi apaan sih itu?" Cowok itu meraup wajahnya sendiri sambil masih terduduk di atas tempat tidurnya.
Namun tetap saja ia terpikir akan mimpinya tadi itu. Dua orang yang meninggal itu lah yang membuatnya penasaran. Siapa gerangan kedua orang itu?
Dan yang makin membuatnya kebingungan adalah ... mengapa ia bisa bermimpi seaneh itu?
Baru kali ini, selama tujuh belas tahun ia hidup, baru pertama kalinya ia mendapatkan mimpi aneh itu.
Jun menggelengkan kepalanya menepis seluruh pikiran aneh itu. Kemudian tanpa menunggu apapun lagi, ia segera bangkit beranjak dari tempat tidurnya untuk bersiap diri berangkat ke sekolah.
***
Jena dan Jun berangkat ke sekolah seperti biasa. Mereka berjalan kaki seperti biasanya, kemudian seperti biasa pula mereka berangkat tanpa Karina. Entah ini sudah ke sekian kalinya Karina menolak untuk berangkat bersama dengan mereka tanpa alasan.
Jena menatap Jun yang berjalan di depannya. Tadi pagi Jun tak bereaksi apapun ketika menjemput Jena ke rumahnya. Bahkan sejak tadi pun cowok itu tak menanyakan hal yang kemarin masih membuat cowok itu sangat penasaran. Jun hanya diam sepanjang jalan. Berjalan dengan sangat diam malah.
"Jun?" panggil Jena dengan pelan. Gadis itu tahu kalau Jun bahkan tak dapat mendengar panggilannya itu karena sekarang Jun telah berjalan dengan jarak yang cukup jauh darinya.
Bagai sedang memikirkan sesuatu yang membuatnya tidak fokus pada jalan, Jun bahkan tidak tahu kalau Jena telah tertinggal jauh di belakangnya. Entah apa yang sedang dipikirkan cowok itu, namun Jun bersikap tidak seperti biasanya. Membuat Jena khawatir.
"Jun!"
Akhirnya Jena berhasil meneriakkan nama cowok itu. Dan berhasil pula membuat langkah Jun terhenti. Cowok berambut hitam kecoklatan itu membalik badannya dan melihat Jena yang tertinggal di belakangnya.
"Eh? Kok lo jalannya lambat amat?" herannya. Cowok itu menggaruk kepalanya yang tak gatal, selanjutnya berjalan menghampiri Jena.
"Gue gak lambat, ya, tapi lo aja yang kecepetan jalannya." Jena menggerutu. Ia kemudian kembali melangkah ketika Jun sudah berada di dekatnya.
Cowok di sebelahnya itu hanya bisa tersenyum kikuk. "Maaf."
Jena mengibaskan tangannya. "Lo lagi mikirin apa, sih?"
Mendengar pertanyaan Jena, Jun mengangkat tinggi sebelah alisnya. Kemudian tersenyum. "Gue kepikiran mimpi semalem."
"Mimpi? Lo mimpi buruk?" Jena melipat tangannya di depan d**a. "Lo pasti gak doa sebelum tidur."
"Ye, gue doa, kok." Jun menjitak kepala Jena dengan pelan, hingga gadis itu mengaduh.
Jun menyambung kalimatnya, "Tapi mimpinya aneh."
Selanjutnya Jun menatap Jena yang tampak kebingungan dan mengibaskan tangannya langsung. "Ah lo gak usah tahu deh, aneh mimpi gue."
Jun bergegas berjalan lebih cepat ketika melihat gerbang sekolahnya sudah di depan mata, dan meninggalkan Jena yang melongo. Tidak perlu ia memberitahu perihal mimpi itu pada Jena karena hanya akan Jena makin kepikiran.
"Eh, Jun, tungguin!"
Jena meneriaki cowok itu dan segera berlari menyusul Jun. Bahkan tidak perlu untuk berolahraga lagi, Jena sepagi ini sudah melakukan olahraga lari karena Jun.
***
"Jadi lo udah gak apa-apa?"
Jena, Fina, dan Karina berjalan pelan dengan tangan yang saling menggandeng. Fina berada di tengah, sedangkan Jena dan Karina berada di samping kanan dan kirinya. Ketiga gadis itu sudah seperti tangga yang berjalan. Diikuti dua cowok ganteng yang siap menjadi pengawal pribadi mereka, kelimanya berjalan menuju kantin untuk menikmati waktu istirahat mereka.
Jena mengangguk mendengar pertanyaan Fina. "Iya. Gue emang gak apa-apa, kok. Lo tenang aja," ucap Jena dengan santai tanpa menatap Fina sedikitpun.
Fina mengangguk-anggukkan kepalanya. "Oh, oke."
Setelah itu Fina segera menarik kedua temannya itu untuk menempati sebuah meja di tengah kantin. Meja yang biasa mereka tempati itu, bagai sudah paten milik geng mereka. Hanya saja sekarang ada Karina di sekeliling mereka.
"Lo mau pesan apa?" Fina bertanya pada Jena di samping kirinya. Lalu beralih menatap Karina di samping kanannya.
Karina tampak berpikir. Biasanya ia hanya memesan bakso atau siomay yang harganya kurang dari sepuluh ribu. Ia tidak berani memesan makanan yang berharga lebih mahal dari itu karena uang sakunya yang minim.
"Biasa?" Fina bertanya lagi. Kemudian Jena dan Karina mengangguk serempak.
"Gue sama aja kayak Jena." Jun menyela ucapan Fina.
Namun Fina malah menatap Jun dengan serius. "Gue gak tanya sama lo. Harusnya malah lo sama Rehan yang beliin kita makanan, 'kan?" Fina mendelik lagi. "Sana!" usirnya dengan cepat.
Rehan menggerutu. "Kita mulu perasaan yang disuruh beli makanan. Kali-kali lo kek, Pin."
Fina bangkit dan mendorong keduanya dengan sepenuh tenaganya. Nyatanya Jun dan Rehan memang lebih tinggi dan besar darinya.
"Udah sana!" Fina kembali berseru.
Jena dan Karina hanya terkekeh di tempat masing-masing. Kemudian menyaksikan Jun dan Rehan pada akhirnya mengalah.
"Ya udah, udah. Kita berdua yang beli," ucap Jun dengan nada malas. Cowok itu segera merangkul Rehan dengan antusias dan beranjak dari tempat duduknya. "Ayo, Han!"
Rehan hanya dapat menghela napasnya dan mengikuti rangkulan Jun. Kedua cowok itu bergegas membelah kerumunan kantin yang ramai itu untuk segera menuju ke stand makanan.
Sedangkan Fina hanya dapat tertawa lebar ketika berhasil menaklukan kedua cowok itu.
"Jahat lo." Jena menggeleng pelan lalu ikut terkekeh.
"Biarin!" Fina terkekeh. Ia selalu senang mengerjai kedua cowok itu bahkan sejak dulu mereka kelas sepuluh.
"Kalian lihat? Jun sama Rehan selalu dapat perhatian waktu jalan bareng kek gitu."
Mata Karina segera mengikuti arah yang ditunjuk Fina itu sedangkan Jena hanya melirik sekilas. Jena tidak tertarik dengan yang ditunjuk oleh Fina itu. Berbanding terbalik dengan Karina.
"Iya, bener." Karina menyetujui. Matanya masih memandang Jun dan Rehan itu, em, tepatnya memandang Jun yang kini malah mengobrol dengan Rehan.
Beberapa siswi yang ikut mengantri di sekitar mereka sesekali menyapa Jun, lalu ketika Jun menyapa mereka balik, mereka akan menjerit pelan dan terlihat sangat senang. Bahkan ada yang sering mencuri lirik ke arah kedua cowok itu.
"Mereka selalu dapet tatapan kek gitu sejak kelas sepuluh. Wah, gue heran sih mereka masih jomblo sampai sekarang." Fina berdecak pelan sembari menggeleng.
Karina hanya terdiam dan mengangguk. Ia bisa memaklumi hal itu dengan baik. Bagaimana bisa ada orang yang tidak tertarik dengan wajah seperti yang Jun miliki itu?
Karina mungkin bisa melihat Rehan di samping Jun itu, namun tidak lagi ketika Jun menatap ke arahnya. Dan tanpa mengatakan apapun lagi pada Rehan, Jun tersenyum pada Karina dari jarak yang cukup jauh itu.
Cowok itu mengucapkan sesuatu yang tak jelas dari jarak sejauh itu. Atau mungkin saja sebenarnya yang Jun ucapkan itu terdengar jelas, namun Karina tidak bisa fokus sekarang hingga tak bisa mendengar apapun, yang ia bisa lihat hanya wajah Jun seorang.
***