HagiaSophia 3

1161 Kata
[Hagia] Aku berdiri di lorong luar kamar, membiarkan gadis pemilik membersihkan kamar. Kuakui, ia bekerja cepat dan cekatan. Membuka jendela dari engsel yang telah berkarat, mengganti sprai, meletakkan selimut kumuh yang dibawanya tadi. Ia lalu beranjak ke toilet, menggantung pengharum ruangan dan meletakkan peralatan mandi untukku. Jelas aku tidak akan menggunakannya, perawatan tubuh dari brand kosmetik internasional lebih cocok untuk kulitku yang cenderung sensitif. Aku tidak ingin penampilanku menjadi buruk karena reaksi alergi akibat menggunakan sembarang kosmetik. "Sudah selesai, Tuan. Anda bisa beristirahat sekarang." Gadis itu berlalu begitu saja dari hadapanku. Aku pun tidak ingin menahannya lebih lama lagi. Tujuanku kemari hanya untuk menunggu si penelepon gelap tadi. Dia berjanji, pukul enam sudah tiba di sini, itu masih sekitar lima jam lagi. Aku benar-benar gila! Padahal lerjalanan kemari hanya sebentar saja. Seharusnya aku tadi masih bisa menunggu pagi dalam kamar suite yang nyaman. [Sophia] Aku penasaran, bagaimana nanti ketika Tuan itu menggunakan toilet mampet? Bisa kulihat dia temperamental. Naik tangga ke lantai tiga saja ia tidak berhenti menggerutu. Dasar sok! Apa orang Indonesia selalu bersikap kurang menyenangkan seperti dia? Cih..! "Anak gadis nggak baik kalau mulutnya dimonyong-monyongkan begitu, hilang cantiknya." "Nene… kau mengejutkanku!" Duh kebiasaan si Nene… untung saja jantungku buatan Tuhan, kalau buatan pabrik baterai pasti sudah harus ganti tiap hari. "Tamu tadi, ditempatkan di kamar berapa, Sophia?" Ih, tumben Nene tanya soal tamu. Biasanya dia tak peduli aku memberi kamar yang mana untuk para tamu. "Ehm, lantai tiga kamar tengah, Nene." Mata Nene tiba-tiba membesar. "Ha? Kamar itu kan… dasar anak bandel!" Nene memukul bokongku. "Aduh Nene! Apa salahku?" "Masih tanya salahmu? Besok pagi pindahkan Tuan Muda itu ke lantai dua. Masih ada kamar kosong di lantai dua, kan?" Bisa kupastikan tadi Nene mengecek buku tamu saat aku mengantar Tuan itu ke atas. Kenapa Nene jadi repot begini, sih? "Dia nggak keberatan dikasih kamar di lantai tiga kok, Nene." Aku berusaha membujuk, sambil menggiring kembali ke kamarnya. "Ayo kita tidur, aku sudah terlalu lelah. Kita bicara lagi saat pagi nanti, okay?" Aku mencium pipi Nene, membiarkannya masuk ke kamarnya lebih dulu, lalu aku masuk ke kamarku sendiri. [Hagia] Sejujurnya aku ragu membaringkan tubuhku di ranjang ini. Aku tidak yakin kasurnya bersih dari jamur dan tungau. Besok Hilman akan kuingatkan untuk selalu membawa sprei sendiri bila kami bepergian, sebagai antisipasi kejadian-kejadian seperti ini, mungkin saja terulang lagi di masa depan. Sebentar… itu ide hebat! Aku akan meletakkan beberapa pakaianku di atas kasur, untuk sementara bisa menghalangi binatang-binatang kecil merayapi tubuhku. Ah, sial! Ranjang ini selalu berdecit nyaring. Merusak gendang telingaku saja! Bergegas kubuka koper dan menarik beberapa helai pakaianku, lalu kugelar di atas kasur. Ini lebih baik! Aku bisa tidur dengan tenang sekarang. [Sophia] Oh, Tuhan! Mataku kembali terbuka lebar, aku telah melupakan sesuatu. Sudah seminggu Serhan tidak pulang ke rumah. Dasar anak nakal! Sebaiknya aku buat pengingat waktu supaya besok aku bisa menelepon dan menyuruhnya segera pulang. Nah, selesai. Sekarang aku bisa kembali tidur. Begitu banyak pekerjaan yang harus kulakukan pagi nanti. [Hagia] Sial! Mau istirahat sebentar, ada saja gangguannya. Kandung kemihku tidak bisa diajak bekerja sama. Toilet ini berbau busuk. Argh! Pengharum ruangan tidak mampu mengurangi baunya. Apa keadaan kamar-kamar lainnya sama seperti di sini? Kalau pelayanan yang diberikan seburuk ini, mana ada tamu yang betah menginap di sini. Setelah selesai berhajat kecil, dengan mata separuh terbuka kutekan tombol penyiram. Satu kali… dua… tiga, empat, lima… tidak ada satu tetes lun air yang keluar. SIALAAAAANN! Gadis itu ingin main-main denganku rupanya! Bagaimana mungkin ia memberikan kamar dengan toilet rusak untukku. Lalu bagaimana aku bisa membersihkannya? Tidak ada air yang keluar dari tangki penyimpanan. Wastafel! Oh, terima kasih otak hebat! Aku mengambil baskom cuci muka dan menampung air dari keran wastafel. Namun, ketika aku menyiramkannya ke lubang toilet, airnya justru membuat gelembung-gelembung udara. Dengan penuh percaya diri, kutampung air dan menyiramkannya sekali lagi. Ternyata, air justru semakin menggenang, tidak mau masuk ke dalam, dan gelembung udara semakin banyak. Kupindai ruang kamar mandi yang tidak terlalu besar ini dan menemukan alat penyedot WC di balik pintu. Kusingsingkan lengan baju, melebarkan kedua kakiku, lalu beraksi. Gadis pemilik hotel itu pasti kecewa melihatku tidak jatuh dalam jebakannya. Lihat, Hagia Putra Dewangga memompa toilet mampet. Satu lagi berita heboh untuk disantap para paparazi. Tapi, eh… "AAARRGHHH….! Sialaaaaannn…! Hotel terkutuuuuukkk…! Aku tidak sempat menghindar ketika WC justru memuntahkan isinya dan menyirami sekujur tubuhku. Malam ini benar-benar malam penuh kesialan. Mulai detik ini, aku tidak akan mempercayai insting, firasat, atau sekadar dorongan hati tanpa perencanaan matang dan akal sehat. Lihat hasilnya! Ini semua akibat aku bergerak di luar kebiasaanku. Persetan dengan apa yang mereka sebut intuisi bisnis. Semua tindakan harus logis, bisa dibuktikan hasilnya. Aku membuka pakaianku dan langsung menaruhnya di keranjang sampah. Tidak mungkin pakaian itu dicuci lalu kupakai lagi. Bagusnya memang langsung dibuang saja. Malam begini aku terpaksa mandi dengan air dingin. Awas saja kalau harga sewa kamar ini mahal dan tidak sesuai dengan fasilitas yang kudapat. [Sophia] Anne memelukku ketika aku turun dari panggung resital piano pertamaku. Aku membawakan Gretchen am Spinnrade atau Gretchen di Mesin Pemintal, gubahan Franz Schubert, maestro musik klasik asal Austria. Kalian merampas kebahagiaan. Kedamaianku telah hilang. Lenyap tak bersisa. Hanya tinggal hatiku yang terasa berat. Bertumpu pada satu kenyataan yang menyakitkan. Aku tidak akan pernah lagi bertemu dengannya. Saat dia tidak bersamaku, hidupku sunyi, sepi, bagai berada di kuburan. Seluruh dunia terasa pahit bagai empedu. Tak ada lagi warna warni menyemarakkan hari. Tak ada keceriaan pagi. Tak ada romansa senja menghampiri. Pikiranku yang malang sepenuhnya berubah menjadi gîla. Akalku yang memburuk, semakin lama menjadi hancur. Hanya untuk dirinya aku bertahan hidup, menatap dari balik jendela. Hanya untuk dirinya aku menghidu hampa, senyap kutinggalkan rumah. Sikapnya penuh kebanggaan. Sosoknya yang mulia. Senyum di bibirnya. Kekuatan tatapan matanya dan ucapannya selalu terdengar magis oleh siapapun yang mendengarnya. Sentuhan tangannya dan oh, jangan lupa akan ciumannya. Melesakku tanpa sadar ke dalam dunianya. Dadaku menahan sebongkah besar kerinduan padanya. Aku bisa memahami rapuhnya perasaan itu dan keinginan untuk terus memeluknya, dan menciumnya. Untuk kepuasan hatiku, meski aku tau dalam ciumannya, aku harus binasa. Mati bersamanya. Dalam dekapannya. Lagu itu dibuat berdasarkan drama karya Johann Wolfgang von Goethe. Kisahnya tentang wanita muda bernama Gretchen yang mengalami kegalauan batin yang ditinggal pergi sang pujaan hati. Itu tentang kejadian 200 tahun yang lalu, di mana wanita ditempatkan sebagai masyarakat kelas dua dan tidak mendapatkan fasilitas yang sama seperti laki-laki. Lagu ini menjadi tonggak awal radikalisme kesenian di Jerman. Aku mengagumi Gretchen yang berani menggaungkan kesedihannya di tengah panggung. Lebih dari itu, aku menghormati Schubert yang kala itu masih berusia 17 tahun, sudah bisa menghasilkan karya abadi yang mampu mengubah dunia seni. Tapi mengapa suara Gretchen terdengar seperti laki-laki? Sontak aku terbangun, kepalaku berkunang-kunang, tidak sepenuhnya sadar aku berada saat ini. Jam waker di atas nakas baru menunjukkan pukul dua lewat. Argh! Denyut di kepalaku semakin hebat. Suara siapa yang tadi membuatku terbangun? Tamu hotel? Apa mereka sudah gila? Berteriak-teriak di saat orang lain beristirahat? Lihat saja nanti, kupastikan kau akan mendapatkan sanksi dariku! *****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN