HagiaSophia 2

1395 Kata
[Sophia] Seorang laki-laki berwajah Asia berdiri di depan pintu membawa koper besar berbahan metalik. Ia terlihat kelelahan, wajahnya terangkat ketika aku membuka pintu. "Maaf, kami sudah tutup. Datanglah pukul 7 pagi nanti," ucapku dalam bahasa Inggris. "Maaf kalau aku tiba malam-malam begini. Tapi, tidak bisakah kau menerimaku. Aku baru saja tiba dari Indonesia dan langsung menuju kemari." Aku menelan ludah, baru kali ini ada tamu yang memaksa untuk tinggal. Kulihat gaya berpakaiannya, bukan seperti turis bermodal minim. Ia mengenakan jas, sekilas saja aku tahu kalau pakaiannya terbuat dari bahan mahal. Kopernya juga begitu, bukan barang yang bisa kau beli di toko murah di pasar. Mataku memindai sepatu kulit mengkilat, ikat pinggang berlogo desainer Italia, dan arloji yang dikenakannya Rolex! Kalau sanggup membeli Rolex seharusnya ia menginap di hotel bintang lima. Bukan di hotel kecil dan tua seperti hotel kami. Mücevherler mungkin lebih pantas disebut penginapan murah ketimbang hotel. Baba membubuhkan kata hotel karena itu cita-citanya, dan berharap nama itu akan menjadi doa yang terwujud. Sayangnya, sampai hari kepergiannya Baba belum sempat mewujudkannya. "Kau bilang kau dari Indonesia, benarkah?" Nene Yasmin maju mendekatiku. Ia ingin melihat lelaki itu dari dekat. Aku paham akan kerinduannya pada tanah airnya, mendengar kata Indonesia membuatnya bersemangat, jadi aku bergeser sedikit dan memberi tempat agar Nene bisa berbicara dengan lelaki itu, terutama untuk menyuruhnya pergi. "Ibu bisa bicara bahasa Indonesia?" tanya lelaki itu takjub. "Aku warga negara Indonesia. Panggil aku Nenek Yasmin, aku sudah tua." Nene terkekeh, lelaki itu tersenyum lalu mengangguk takzim menghormati Nene. "Nene, bilang padanya agar dia menginap di tempat lain saja. Ini sudah melebihi jam operasional kita." Aku berbisik pada Nene, tapi mataku tertuju pada lelaki itu. Nene mengusap-usap lenganku. "Kau pergilah ke dalam, siapkan selimut dan handuk baru untuknya." "Nene!" Protesku tertahan begitu melihat mata Nene menatap tajam padaku. "Tak baik menolak rezeki dan tak boleh membiarkan saudara yang membutuhkan bantuan kita, Sayang." Aku menghentakkan kaki karena kesal, lelaki itu kan, bukan saudara. Kita tidak saling kenal, kok. Tapi aku tidak berani membantah orang yang sangat aku sayangi. Jadi kubiarkan Nene berbicara dengan lelaki itu, aku masuk ke dalam. Lelaki itu menungguku di depan ruang kerjaku. Ketika aku keluar membawa selimut tebal, sprai, dan handuk, lalu menaiki tangga, dia tetap diam di tempatnya. Aku membalik badan, "Apakah Tuan tidak ingin segera istirahat?" Ia tampak bingung. "Ya, tentu saja." "Ayo naik, aku antar ke kamar Tuan." "Naik? Dengan tangga ini?" "Ya. Ayo lekas, Tuan!" "Tidak ada lift?" "Kalau kau menginginkan lift, seharusnya kau pergi menginap di tempat lain. Ada banyak hotel mewah di tepian Selat Bosphorus dengan harga yang lebih sesuai untuk Rolex-mu, Tuan." Aku gusar sekali, tamu ini sungguh menyebalkan. Aku tidak peduli dia datang dari Indonesia atau planet lain. Sudah jelas ditolak, tetap memaksa, lalu sekarang dia menghina. Otak dan tubuhku sudah terlalu lelah mengurus hal-hal remeh seperti ini. Belum lagi, besok harus bersiap bila ada penagih hutang datang meminta uang tunggakan. "Baik, tolong pimpin jalannya, Miss." Lelaki itu akhirnya menyerah. Bagus. Itu berarti dia cukup tahu diri. Aku mulai meragukan segala barang mahal yang dikenakannya. Palsu atau ilegal? Entahlah, aku enggan memikirkannya. Masalahku sudah cukup memenuhi isi otakku. [Hagia] Telepon itu membuatku harus meninggalkan kenyamanan di kamar royal suite dengan pemandangan indah Selat Bosphorus, pagi hingga malam. Aku tiba sore tadi di Istanbul dan langsung membutuhkan tidur yang tenang. Jutaan kali melalui perjalanan lintas negara tidak membuatku mampu menaklukkan jetlag. Untung saja Hilman, asisten pribadiku telah mengurus segalanya. Mulai dari penjemputan di bandara, pilihan mobil dan hotel, ia memang bisa diandalkan. Dan di sinilah aku, berdiri di depan pintu hotel tua, yang sebenarnya tidak pantas disebut hotel. Rumah penginapan, tepatnya, di pinggiran Kota Istanbul. Menunggu seseorang membukakan pintu. Setelah telepon tanpa nama, dan hanya menyebutkan Hotel Mücevherler, aku bergegas menggeret koperku dan meminta sopir mengantarku kemari. Hilman tidak bangun setelah tiga kali aku berteriak di depan kamarnya. Aku yakin, ia sama lelahnya denganku. Jadi kutinggalkan pesan di secarik kertas yang kuletakkan di meja suite kami, kutinggalkan dia begitu saja. Biar besok pagi ia menyusulku ke sini. Mengenai telepon tanpa nama itu, aku sendiri heran dengan tindakan yang baru saja kulakukan. Biasanya hal-hal tak logis seperti ini akan mudah kuabaikan. Entah kekuatan apa yang mendorongku nekat berbuat seperti ini. Tak sampai sepuluh menit menunggu, seseorang membukakan pintu. Seorang gadis berambut coklat tebal, wajah kuyu dan pucat menutupi kecantikannya. Namun gadis itu menatapku garang! Menarik sekali. Di Indonesia, tidak ada satu gadis pun yang berani menatapku seperti itu. Mereka sibuk memamerkan wajah dan tubuh seksi buatan dokter ahli kecantikan terbaik. Lebih menarik lagi, gadis itu mengusirku. Andai aku punya sisa tenaga untuk membentaknya, atau justru menertawakannya? Hotel tua bobrok menolak kedatangan Hagia Putra Dewangga! Halo… untung saja tidak ada paparazi mengikutiku malam ini. Berita seperti ini akan menjadi santapan lezat bagi para pemburu gosip di Indonesia. Bisa kubayangkan judul click bait yang menjadi trending topic di jagad entertainment Indonesia. Pasti lebih menarik ketimbang cinta settingan ala artis pansos. Seorang perempuan paruh baya menyeruak di antara kami. Dia orang Indonesia! Ah, syukurlah. Aku tidak perlu repot mencerna bahasa Inggris patah-patah yang diucapkan gadis itu. "Maafkan Sophia, dia terlalu kaku dengan aturan. Ayo masuk, kami akan menyiapkan kamar untukmu." Wanita itu menyambutku ramah. Sudah selayaknya seperti itu. Orang Indonesia terkenal santun, ramah, dan suka menolong, kan? Aku mengangguk, mengangkat koperku melewati palang pintu di lantai. "Siapa namamu, Nak? Supaya kami bisa mencatat di buku tamu." "Nama saya Hagia, Bu." Aku mengeluarkan paspor dari balik jas. "Ah, aku sudah bilang, panggil saja Nenek Yasmin. Itu tadi Sophia, cucuku, pemilik hotel ini." "Jadi dia juga orang Indonesia?" Nenek Yasmin tersenyum. "Yah, separuh darahnya Indonesia. Ibunya adalah putriku." Aku mengangguk. Informasi yang diberikan Nenek Yasmin terlalu berlebihan untukku. Aku meraba-raba, apakah dia selalu seperti itu pada setiap penghuni hotel? Menceritakan detil silsilah keluarga, atau hanya padaku saja? Mengapa? Karena kami sesama orang Indonesia? Aku mencebik, orang-orang di Indonesia sendiri tidak mudah percaya dengan orang yang baru saja ditemui sepuluh menit yang lalu. "Nak Hagia, aku permisi istirahat. Sophia akan mengantar ke kamarmu. Kita bertemu lagi nanti untuk sarapan, pukul tujuh pagi." Nenek Yasmin pergi meninggalkanku begitu saja. Keningku bertaut, pemilik hotel langsung mengurus tamu? Apakah hotel kecil berarti tidak mampu menggaji bellboy? Aku mulai meragukan informasi pengembangan kawasan wisata yang kuperoleh dari Mario. Telepon tanpa nama dua jam lalu juga mengusik pikiranku. Gadis kuyu itu keluar dari ruang di belakang tempatku berdiri. Ia membawa tumpukan kain yang terlihat kusam dan tidak bersih, lalu begitu saja menaiki tangga. Ia berhenti di tengah, menatapku heran. Now, what? Apalagi kesalahanku selain datang tengah malam ke hotel ini untuk memberinya uang sewa yang pasti ia butuhkan? Kami bercakap-cakap sengit. Bisa kulihat kegusarannya terhadapku. Bibirnya mengucapkan kalimat bahasa Inggris yang sedikit ngawur, dan syukurnya otak cemerlangku masih sanggup mencernanya, mengingat aku sangat kelelahan saat ini. Ia menyuruhku menaiki tangga. Apa aku tak salah dengar? Siksaan apa lagi yang diberikan hotel bobrok ini padaku? "Baik, tolong pimpin jalannya, Miss." Aku menyerah, kalau saja sahabat-sahabatku menyaksikan peristiwa ini, sudah pasti mereka akan menertawai aku sepanjang tahun atau bertahun-tahun, dan bahkan seumur hidup! Gila, dia pikir dia siapa? Perempuan muda yang tidak punya sopan santun! Dan kenapa juga Hilman menyiapkan koper berat ini! Aku bisa mati kelelahan mengangkatnya. Sial! Apa sebaiknya koper ini kutinggal saja di bordes tangga? Biar besok Hilman kusuruh mengangkatnya ke kamarku. No! Belum tentu hotel ini aman. Pencuri berkeliaran di mana-mana. Aku yakin keamanan hotel ini sangat rendah dan mereka tidak akan mampu mengganti kerugian bila terjadi sesuatu. [Sophia] Aku terkikik geli melihat lelaki angkuh itu menggotong koper besarnya. Pasti berat! Rasakan sendiri. Siapa suruh datang tengah malam. Aku kan, memberinya kamar di lantai tiga. [Hagia] "Apa tidak tersedia kamar di lantai dasar untukku?" Aku berhenti di bordes. Bahu dan punggungku sakit sekali. Sialan, gadis itu pasti mengerjaiku. "Lantai dasar hanya untuk pemilik saja. Kamar Tuan ada di lantai tiga." "Lantai tiga? Bagaimana dengan lantai dua?" Gadis itu tersenyum licik, bisa kulihat ia berniat tidak baik terhadapku. "Semua sudah penuh. Tuan jadi mau menginap di sini atau pindah ke hotel lain?" Ah, berengsek! Lagi-lagi gadis itu mengancamku dan membuatku tak berkutik. Aku benci melakukan hal seperti ini. Dengan terpaksa kututup rapat mulutku dan membiarkan gadis itu merasa menang. "Kita telah sampai. Ini kamar Tuan." Gadis itu membuka pintu kamar. Bau busuk dan pengap menguar. Debu langsung menyeruak masuk ke rongga hidungku. Tuhan… baru kali ini aku tahu ada kamar hotel yang menyerupai kandang kuda! *****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN