[Sophia]
"Selamat Pagi!"
"Selamat Pagi!"
Para tamu hotel bergantian menyapa, ketika mereka masuk ke ruang makan. Ruang makan sengaja menyatu dengan dapur terbuka. Tamu-tamu kami bebas memilih makanan yang tersedia. Roti, makanan instan yang bisa mereka panaskan sendiri di microwave, masakan aku atau nenekku yang selalu berganti-ganti setiap hari.
Nene Yasmine masih sibuk memasak sesuatu, aromanya harum sekali.
"Apa yang sedang kau siapkan pagi ini, Nene?"
Senyum lebar tercetak jelas di wajahnya. Terlihat gigi-giginya yang kelabu tergerus waktu, juga kening dan ujung mata tua berkerut-kerut.
"Ini namanya rendang daging, sejenis masakan kari khas Indonesia. Aku juga membuat nasi goreng."
Bibirku mengerucut, keningku pun ikut berkerut. Seingatku, selama delapan tahun kami hidup bersama, baru sesekali saja Nene masak makanan Indonesia. Kami tidak begitu cocok karena makanan yang dibuat Nene pedas dan bumbu rempah terasa terlalu berat di lidah. Ini pasti karena tamu Indonesia itu.
Aku mencebik. Baiklah, Nene sangat perhatian pada lelaki menyebalkan dan sok itu.
Mataku mengedarkan pandangan. Aku hapal dengan semua tamu yang menginap di Mücevherler kami. Baba mengajarkan untuk menjalin komunikasi yang baik dengan para tamu dan menjadikan mereka bagian dari keluarga. Mereka yang datang dan menginap di sini, jarang sekali hanya untuk waktu yang pendek. Seingatku, hanya satu dua orang tamu saja yang menginap selama satu minggu. Itu karena mereka harus pergi ke kota lain atau negara lainnya. Selebihnya menyukai keramahan Mücevherler dan murahnya harga sewa kamar yang kami bebankan, sehingga tamu betah menginap lebih dari satu minggu, dan bahkan ada yang berbulan-bulan. Yah, yang sampai berbulan-bulan itu juga hanya terjadi satu dua kali saja sih. Mereka biasanya datang dari negara yang jauh, mengunjungi sanak keluarga yang kebetulan tinggal di Turki.
Tuan Rolex itu tidak ada bersama kami. Mungkin tidurnya terlalu lelap. Atau aku lupa memberi tahu, sarapan sudah dimulai sejak pukul tujuh pagi?
Entahlah, aku mengangkat bahu, lebih baik menyiapkan yumurtali pide—sejenis pizza ala Turki dengan topping daging cincang, telur, tomat, lada, dan keju, kesukaan Salma untuk bekalnya ke sekolah.
Tapi sudah siang begini gadis nakal itu belum juga keluar dari kamarnya.
"Salmaaa...! SALMAAA...!"
Penuh gegas kutinggalkan dapur diiringi gelengan kepala Nene. Biar saja! Salma terlalu dimanjakan Nene, sih! Lihat hasilnya ... dia jadi pemalas!
[Hagia]
Gadis kecil ini mengekoriku penuh minat. Dia bilang bisa berbahasa Indonesia, neneknya yang mengajari. Tapi jelas, bahasa Indonesianya jauh lebih buruk ketimbang bahasa Inggrisnya. Aku tebak, pasti karena lebih banyak bergaul dengan tamu-tamu asing yang datang ke penginapan ini.
Sejak pukul lima tadi aku berjalan-jalan di lingkungan Müchevherler. Lidahku sedikit terlilit karena pelafalan kata yang tidak biasa kuucapkan. Well, aku sempat mencari tau arti nama penginapan itu. Perhiasan. Bagus juga, sih, tapi ... rasanya kurang pas untuk nama sebuah hotel. Yah, mungkin itu nama hoki bagi masyarakat di pinggiran Istambul ini.
"Tuan, apakah menurutmu tarianku barusan bagus?"
Gadis kecil itu menyentuh punggung tanganku. Kurang ajar juga, tapi herannya aku tidak bisa marah. Matanya bulat berbinar indah berwarna coklat. Pipi merona kemerahan dan senyum lugu tak pernah hilang dari wajahnya. Dia seperti ... seperti Natasha ketika saat masih kecil dulu. Ceria, percaya diri. Jauh berbeda dengan gadis yang menyambutku semalam, yang aku yakin adalah kakaknya.
"SALMAAA!!!"
Hah! Panjang umur! Baru saja kusebut dalam hati orangnya langsung muncul. Oh, hey, kenapa dia menatap marah padaku? Apa lagi salahku kali ini?
Mereka bedua bercakap—berdebat dalam bahasa Turki. Aku tidak menguasai satu patah katapun. Biarlah! Apa peduliku? Aku di sini menunggu si penelepon gelap itu, juga Hilman yang tidak kunjung tiba.
"BOOSSSS!!!"
Nah itu Hilman datang juga akhirnya. Thank God! By the way, aku ini cenayang atau apa, sih? Dua kali menyebut nama dan dua kali pula orangnya langsung muncul di hadapanku.
Si gadis garang itu—Sophia kalau aku tak salah mendengar namanya semalam, menyeret paksa adiknya masuk ke penginapan. Bagus! Aku tidak ingin terganggu oleh kehadiran mereka.
"Bos, kenapa nggak bangunin saya semalam?"
Hilman langsung duduk di hadapanku, di salah satu meja kayu berpayung di luar sebuah kafe yang masih tutup, tepat di seberang Müchevherler Hotel. Aku memukul kepalanya dengan buku menu yang tergeletak di sana.
"Jangan mengelak!" semprotku saat kulihat Hilman hendak menghindar. Tingkahnya membuatku tak habis pikir, siapa sebenarnya bos di sini. Tapi dia orang yang sangat kupercaya, bahkan urusan nyawaku.
Bukan menghayal, urusan bisnis meski legal terkadang membahayakan nyawaku. Persaingan ketat dengan beberapa pengusaha di industri yang serupa seringkali menggunakan cara-cara licik dan mengancam nyawa.
Hilman, meski banyak kekurangan, tapi setia dan bertanggung jawab. Aku pun tak tutup mata dengan keahlian bela dirinya, meski masih jauh di bawahku, tapi dia membuktikan dirinya mampu bertahan.
"Tuan HAGIAAA ...!"
Kuputar kepala ke arah sumber suara. Salma melambaikan kedua tangan sembari berlonjak-lonjak. Bukankah dia sudah masuk usia remaja? Agak kurang normal dengan tingkah kekanakannya itu. Pun begitu, aku balas melambaikan tangan, meski sang kakak menatap tajam dan sedikit meneriaki gadis itu agar cepat masuk ke dalam mobil—sedan tua berwarna merah.
"I will see you after school! Don't go to any other hotel, okay?"
Gadis itu pantas menjadi staf marketingku. Nanti saat usianya cukup pantas untuk bekerja.
Sebagai imbalan, aku mengacungkan jempol padanya. Lihat, dia kembali melonjak senang.
"Bos?"
Kulirik Hilman.
"Bos semalam menginap di sini?"
Kuangkat alis sebagai jawaban. Pias langsung tercetak di wajah asistenku itu. Kulihat dia bergidik ngeri, melihat tampilan luar hotel saat pagi terang begini ternyata jauh lebih parah ketika malam tadi. Jelas saja, mataku terlalu lelah untuk mengamati lebih jelas. Pun lampu jalanan tidak memberi mendukungan apapun.
"Masuk ke dalam. Urus supaya saya bisa dapat kamar yang lebih baik lagi."
"Ehmm ..."
"Kenapa?"
"Bos masih mau menginap di sini?"
Aku melepas napas panjang Terlalu pagi untuk mendamprat Hilman dengan pertanyaan barusan. Mungkin karena terlalu lelah, juga karena tidak ingin mengusik kecerahan pagi ini. Aku hanya menggerakkan jemari mengusirnya pergi untuk segera melaksanakan perintahku. Tanpa dua kali perintah, asistenku itu bergegas meninggalkan aku sendiri.
Kuraih ponsel keluaran tipe terbaru dari pabrik paling canggih di negeri Paman Sam. Membuka daftar telepon semalam. Laki-laki itu belum tiba, pun meneleponku kembali mengabarkan keterlambatannya. Lagi-lagi, naluriku tidak mencurigai bahwa ini hanya rekayasa atau jebakan semata.
Suaranya begitu ... begitu penuh harap juga menyiratkan ketakutan yang teramat sangat.
"Tuan Hagia ... Saya harap Tuan percaya dengan apa yang saya katakan. Saya akan bawakan buktinya pada Tuan. Tolong datang ke Müchevherler Hotel di Tarlabaşı. Saya tiba di sana tepat pukul enam pagi."
Saat ini, kuputar pergelangan kiriku, jarum arloji menunjukkan tujuh menit menuju pukul delapan pagi. Lelaki itu terlambat hampir dua jam. Masih pantaskan dia mendapat lerhatian juga waktuku yang sangat berharga ini?
Kalau saja dia tidak menyebutkan nama itu ... sudah sejak tadi kutinggalkan tempat ini. Bukan. Sudah sejak semalam gak kupedulikan ucapannya.
Persetan dengan proyek pembaruan perkotaan dan gentrifikasi skala besar yang digembar-gemborkan Mario!
*****