HagiaSophia 5

1108 Kata
[Hagia] Kurasa, aku tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Kutinggalkan pesan pada Nenek Yasmin, bila ada orang yang mencariku agar segera menghubungi nomor ponsel. Aku dan Hilman, kami bermaksud mencari si penelepon itu. Agak gìla sih. Aku bahkan tidak ingat jelas nama si penelepon itu. Sahan Lidirim ... ah, bukan. Sayan? Syahran? Ah, entahlah! Bahkan aku tidak punya foto atau petunjuk apapun untuk mulai mencari. Sekali lagi aku hanya mengikuti naluri. Kali ini, persetan dengan segala logika, hasil riset data, atau apalah. Kalau lelaki itu bisa punya nomor ponselku, meski itu nomor bisnis bukan pribadi, dia pasti mengenali wajahku. Kurasa aku cukup berbangga hati. Forbes pernah memasang fotoku sebagai satu dari seratus CEO muda terbaik dari seluruh belahan dunia. "Kita ke mana, Pak?" Sopir yang disewa Hilman mahir berbahasa Inggris. Kemarin aku sempat meragukan kecakapannya dalam mengemudi. Kutaksir dia telah berusia di atas lima puluh. Aku khawatir, keahliannya dalam mengemudi telah menurun. Tapi ternyata tidak, semalam aku membuktikannya sendiri. Begitu sigapnya dia membawaku dari Borphorus ke tempat pinggiran ini. Dia patut mendapatkan bonus, dan oh, kukira aku akan menggunakannya lagi jika nanti aku kembali ke Istanbul. "Saya tidak yakin ..." Jawabanku barusan, bukan hanya menghasilkan tatapan heran Zemheri Demir, sopirku, melalui cermin spion tengah, tapi juga Hilman. "Bos?" Hilman memutar tubuhnya agar dapat memandangku, meminta kepastian. Bisa kurasakan Zemheri Demir menurunkan tekanan kakinya di atas pedal gas. "Hm, transportasi apa yang umum digunakan dari Ankara ke Istanbul, Demir?" Lelaki itu berdehem. "Kami memiliki semuanya, Sir. Pesawat, kereta cepat, atau bus, bila keuanganmu tidak mendukung." Ia terkekeh, kerut-kerut di wajahnya tercetak nyata, sementara aku memikirkan kemungkinan. "Bandara, Bos?" tanya Hilman lagi. Aku tidak begitu yakin. Dari intonasi yang kudengar melalui telepon, rasa-rasanya anak muda itu tidak memiliki keuangan yang cukup. Please don't judge others easily, Gi! Look what millenials do right now. Mereka mengutamakan kecepatan, tak peduli harga. "Okay. To the airport, Demir," ucapku pada akhirnya. "Right on my way, Sir!" Demir memutar kemudi, menekan pedal gasnya kembali, menuju jalan ke bandara yang sudah dihafalnya luar kepala. Aku memejamkan mata. Mobil sewaan ini lebih nyaman ketimbang kamar yang kudapatkan semalam. Sialan memang. Gadis garang itu, Sophia, dia berniat menggunakan kesempatan untuk mengerjaiku. Dia akan menyesal nanti. Akan kubuat begitu. Sementara ini, biarkan dulu dia menikmati kesenangannya. Merasa menang atas tindakan kurang ajar pada tamu semalam. Kalau saja ada penginapan lain di dekat Müchevherler, tentu sudah kuangkat koperku. Lebih baik lagi jika bisa kudapatkan hotel berbintang, tapi sayangnya tidak. Distrik itu jelas membutuhkan perhatian lebih agar dapat meningkatkan perekonomian. Jika rencana pengembangan kota resmi dimulai oleh pemerintah Turki, bisa kupastikan geliat bisnis di sana semakin cepat. Dan investasi Mulia Corp. akan menguasai distrik itu. "Saya harus menurunkan anda di sini, Sir. Berjalanlah ke arah kanan, di sana pintu kedatangan penumpang dari Ankara. Saya akan berada di area parkir," ucap Zemheri Demir membukakan pintu untukku. Kubalas dengan anggukan samar, melangkah keluar, merapikan kancing jasku, dan berjalan menuju arah yang ditunjukkan. "Saya akan menghubungi ponselmu bila kami telah selesai, Demir," ucap Hilman pada Damir sebelum bergegas mengiringi langkah kakiku. Kuabaikan pertanyaan-pertanyaan Hilman berikutnya dan kubiarkan dia mengekoriku. Mondar-mandir dari satu ujung ke ujung lainnya, mencari wajah yang aku pun tak paham seperti apa rupanya. Batas waktuku habis. Sudah satu jam aku hilir mudik tanpa henti, pun tanpa hasil. Kulihat ada kursi kosong di deret penunggu. Aku pergi ke sana untuk mengistirahatkan kaki. "HAGIA...!" Suara itu! Hanya ada satu orang yang kukenal dengan suara seperti itu. Kubalikkan tubuh, dan benar saja. Dia ada tepat di belakangku. [Sophia] Menyebalkan sekali! Kalau telepon tidak pernah diangkat, lalu apa gunanya memiliki perangkat itu? Lebih baik dijual. Mungkin saja harganya masih cukup bagus, lumayan untuk menambah cicilan tagihan yang harus kubayar. "Sudah berhasil tersambung?" Aku menggeleng lemah. "Belum, Ne." "Biar kucoba menggunakan ponselku sendiri." Aku mengangkat bahu, rasanya percuma saja, tapi biarlah Nene Yasmine mencobanya. Kubereskan pembukuanku di meja. Sudah pukul tiga sore, sebentar lagi aku harus ke studio Marsandiz. Setiap Selasa dan Kamis, giliranku mengajar piano klasik di studio musik itu, khusus untuk anak-anak berusia di bawah dua belas tahun. Upah mengajar, meski tidak besar, cukup untuk meringankan biaya hidup keluargaku. "Aku ke Marsandiz dulu, Ne. Kalau nanti Nene berhasil menghubungi anak bengal itu, suruh dia segera pulang atau aku akan mencoretnya dari daftar anggota keluarga." Kucium pipi keriput Nene Yasmine, lalu bergegas keluar, sebelum ocehan cerewet mengalir dari bibirnya. Nene Yasmine selalu menggaungkan hubungan persaudaraan harus erat terjalin. Terutama karena Baba dan Anne telah tiada, dan bukan tak mungkin, Nene Yasmine akan segera menyusul Büyük Imran. Aku sepakat satu juta persen dengan kampanye persaudaraan yang terus dilakukan Nene Yasmine pada kami. Pun begitu, aku masih muda dengan pandangan terbuka. Serhan, adikku, bukan orang yang tepat untuk dipercayakan tanggung jawab keluarga. Sebagai satu-satunya laki-laki di antara kami bertiga, sebagai laki-laki yang baru memasuki usia dewasa, dia sangat ... sangat tidak bertanggung jawab! Lihatlah! Semasa sekolah menengah, dia lebih memilih main bersama teman-temannya ketimbang membantuku mengurus hotel. Tahun ini dia telah lulus, meski keuangan kami pas-pasan cenderung kekurangan, dia seharusnya tetap melanjutkan sekolahnya, sambil bekerja seperti yang kulakukan. Tapi kenyataannya? Dia lebih sering berada di luar rumah, entah apa yang dilakukannya. Hingga aku masih terus mengurus semuanya sendirian. Aku sih tidak keberatan dengan amanat Baba ini. Sebagai anak pertama, sudah menjadi kewajibanku menjadi kepala keluarga. Selama ini, menurutku setelah Serhan dewasa dia bisa mendukungku. Padahal, otaknya sangat cerdas bila digunakan untuk hal yang semestinya. Sejak kecil, prestasinya di sekolah cukup membanggakan. Dan apa gunanya semua nilai-nilai nyaris sempurna itu jika tidak digunakan? Sudahlah, rasanya kepalaku sudah mau pecah dengan kedua adik bengal ini. Hey ... itu kan, Tuan Rolex! Kata Nene dia melewatkan jatah sarapannya. Sombong sekali! Nene sudah repot memasak sejak matahari belum lagi terlihat. Mobilnya bagus, pastinya mobil sewaan. Dan laki-laki yang wajahnya terlihat lebih muda, kata Nene, dia adalah sekretarisnya. Dia terlihat lebih sopan dan ramah. Aku hampir melepaskan tawa ketika tadi dia merayuku untuk mendapatkan kamar yang baru. Bisa kubayangkan bagaimana si Tuan Rolex itu tidur di atas ranjang berderit. Hahaha ... Eh, dari mana ya, mereka? Kalau kulihat, dia bukan wisatawan biasa. Apakah dia pergi untuk berjalan-jalan melihat Hagia Sophia? Hah! Seperti nama kami jika digabungkan. Oh, Tuhan, aku jijik dengan pikiranku sendiri. Penggabungan nama? Hohoho ... Sophia! Jangan pernah lagi memikirkan hal terkonyol seperti itu lagi, ya! Lelaki menyebalkan itu tidak pantas bersanding dengan namamu, dalam bentuk apapun. Nama kami, hanya kebetulan saja, okay? Tuan Rolex itu, sama seperti tamu lainnya. Tinggal sementara di Müchevherler, numpang lewat dalam hidupku. Tak perlu kupedulikan. Sepertinya Tuan Rolex tidak pergi jalan-jalan. Wajahnya terlihat masam, kesal atau marah? Berarti dugaanku benar. Dia temperamental. Well, bukan urusanku, sih. Sudahlah, anak-anak Marsandiz pasti sudah menunggu kedatanganku. *****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN