Bertemu

953 Kata
Hari kamis sedikit dingin, hujan terus mengguyur dari malam hingga pagi. Sambil menggosok lengan yang tertutup jaket berwarna hitam, Kira menengok ke belakang. Dia mengembuskan napas kasar sebab tak menemukan teman barunya. Percuma saja Glen pintar tapi malas sekali masuk pelajaran. Wajar sih jam pelajaran pertama hari ini matematika, pelajaran yang paling dibenci oleh semua murid termasuk Kira sendiri. Siang ini juga ada pelajaran PPKN, sebuah pelajaran yang menurut Kira sendiri membosankan. Memang sih pelajaran tentang PPKN penting tapi gurunya itu lambat dalam memberikan materi. Ibu Wati namanya. Dia sudah tua mungkin yang paling tua di antara para guru. Kepribadiannya lembut sampai-sampai memengaruhi cara bicara. Selepas pelajaran matematika yang memberatkan otaknya, Kira hendak menuju kantin. Kemarin karena ada Bian serta Anggi, acara makannya jadi terganggu. Semoga saja ia tidak bertemu dengan mereka berdua terutama Bian. Kira sungguh tidak mau ikut campur soal mendekati Anggi. Mari berharap saja semoga Anggi tidak sadar akan sikapnya Bian. "Kirana." Kira sontak berhenti saat melihat dari arah depan ada Bian yang memanggil. Senyumnya cerah sekali membuat Kira terpaku tak tahu harus berbuat apa. "Kok bengong begitu? Ada masalah?" tanya Bian setelah mendekat. "Tidak, hanya kecapekan saja matematika bikin aku pusing," ujar Kira seraya tertawa hambar. Dia kembali melangkah kali ini ditemani Bian. "Mau ke kantin?" Kira mengangguk sebagai jawaban. "Kalau begitu ayo sama-sama, aku juga lapar. Mau pesan apa? Biar aku yang antri," tawar Bian pada Kira. "Nggak usah, aku bisa sendiri kok." Kira menolak dengan halus. Tidak mau Bian kecewa. "Nggak repotin, tunggu saja di meja biar aku yang pesan, ok?" Kira mengalah. Inilah sifat yang disukai Kira terhadap Bian. Dia tahu cara memperlakukan wanita dan gadis itu yakin pasangan Bian suatu hari nanti pasti beruntung mendapatkannya. Sayang seribu sayang, gadis yang beruntung tersebut bukanlah Kira. Kalau ditanya soal perasaan, jujur Kira masih memiliki hati tapi berusaha disembunyikan untuk menghargai perasaan Bian. Bagi Kira, semua perlakuan serta menjadi teman dekat Bian lebih dari cukup mengobati rasa cinta yang terpendam. "Pesanan akan siap sebentar lagi," kata Bian lalu duduk di depan Kira. "Mudah-mudahan tidak lama soalnya aku lapar sekali. Kamu pesan apa?" "Nasi goreng udang dengan sambal bawang, cuaca dingin begini emang enak makan yang pedas." Bian menjawab cepat. "Kayanya enak, aku nggak bisa makan pedas nanti maagku kambuh. Itu sebabnya aku beli nasi omlet." "Itu juga enak kok. Kira, sebenarnya ada sesuatu yang mau aku bicarain sama kamu," ujar Bian. Sorot matanya terlihat serius. Apa ini soal Anggi lagi? "Mau bicara apa? Aku pasti dengerin kok." Kira langsung mengiyakan Bian. Sikapnya yang berusaha membantu membuat Kira sensitif akan segala hal. Kalau tidak ada yang penting kenapa Bian perlu mencarinya? "Ini soal-" "Ra, ternyata lo ada di sini," potong seorang lelaki dengan rambut yang basah akibat air hujan. Dia menyugar rambut basah tersebut ke belakang sehingga tampak rapi. Pemuda itu kemudian mengambil tempat di samping Kira sambil menggigil kedinginan serta membawa mie bakso yang masih beruap. "Pelajaran pertama masuk nggak gurunya? Gue bisa, kan pinjam buku catatan matematika lo?" Pemuda itu adalah Glen. Dari ujung celana dan sepatu yang basah jelas bahwa dia baru saja tiba di sekolah. "Dari mana saja kamu? Baru datang jam segini," sahut Kira ketus. "Ya maaf soalnya di daerah gue ada yang kebanjiran rumahnya harus dibantuin dulu supaya alat perabotannya nggak basah." Glen menjawab jujur, "Bisa nggak pinjam catatan lo? Oh iya soal bab 2 sampai bab 3 udah gue kerjain tinggal lo ketik aja gue juga bawa tuh bukunya," lanjutnya lagi. "Perasaan gerbang ditutup, panjat pagar lagi ya?" Glen tersengih membenarkan ucapan Kira. Kira sendiri menggelengkan kepalanya tak habis pikir sama kelakuan teman barunya. Dia ingin tertawa tapi ditahan sekuat mungkin. Muka menyebalkan Glen tampak sangat lucu saat menampakan sederet giginya. "Baksonya enak mau coba tidak?" tanya Glen sambil mengambil sendok yang lalu ia berikan kepada Kira. Kira langsung mengambil sendok tersebut. Tanpa malu dia mengambil bola bakso dari mangkuk Glen untuk ia cicipi. "Enak?" tanya Glen sekali lagi. Kira mengangguk sebagai jawaban. "Kamu pakai sambal sama kecap ya?" Kira balik bertanya. "Iya dong," "Pantas ada rasa manisnya, mending pake garam sama lemon sudah enak." Kira memberi usulan. "Di mana-mana ya bakso harus dicampur sambal atau kecap, iya sih harus pakai garam supaya ada rasanya tapi nggak afdol kalau nggak pake sambal," sahut Glen menolak seraya menyeruput mie bakso miliknya. "Pesanan sudah datang," ucap seorang gadis berusia 22 tahun membawa makanan Bian dan Kira. "Makasih mbak," ucap Kira beserta Bian. Saat ini pula Glen sadar akan kehadiran pemuda yang tak ia kenal itu. "Ra, siapa dia?" tanya Glen sambil menatap Bian. "Dia Bian, temanku.." ucap Kira pada Glen lalu beralih memalingkan wajah ke arah Bian. "Bian, kenalin ini temanku namanya Glen. Dia teman satu kelas, kami lagi bikin makalah untuk tugas kelompok bahasa Indonesia." Glen mengkerutkan dahi. Kira mengenalkan Bian padanya sesingkat mungkin tapi saat Glen dikenalkan pada Bian panjang sekali penuturannya padahal antara Bian dan Glen tidak ada perbedaan. "Salam kenal aku Bian, kelas 2-A." Bian memperkenalkan diri seraya menjulurkan tangan ke depan. Glen tersenyum tipis dan menjabat tangan Bian. "Glen," balasnya singkat. Lalu langsung dilepas sejurus kemudian. "Apa kamu punya urusan sama Kira?" "Ada tapi.." Bian tampak gelagapan. Dia sepertinya tidak ingin adanya kehadiran Glen. "Nggak papa kok Bian, bilang saja." Kira menimpali. Ia pula tidak sabar dengan pembicaraan serius apa yang akan dilontarkan oleh Bian. "Nggak usah deh nanti saja. Omong-omong di mana Anggi?" tanya Bian mengalihkan pembicaraan. "Anggi?" Glen melirik Kira, "Lo punya teman namanya Anggi, anak kelas berapa?" "Anggi anak kelas 2 B," jawab Kira santai. "Anggi? Kelas 2 B, Anggi yang itu?" Sebagai jawaban Kira mengangguk. Glen kemudian berceloteh sedang Kira mendengar sambil membalas juga. Mereka berdua asyik dengan dunia sendiri sementara Bian diam sambil memperhatikan keduanya mungkin ini bukan waktu yang tepat berbicara mengenai Anggi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN