Glen membeku. Matanya terus menatap sekeliling ruang tamu rumah Kira. Setelah sampai, Kira tidak ingin Glen pergi dan bersikukuh agar ia masuk rumah guna mengerjakan tugas kelompok.
Glen pada akhirnya membatalkan niat untuk futsal. Dia sudah menghubungi temannya dan berjanji untuk bermain futsal lain kali. Masalahnya sekarang ialah Ibu Kira menatap lekat Glen.
Saat bertemu mata, Glen melempar senyum yang dibuat-buat. Canggung sekali rasanya berada di rumah asing dengan tuan rumah yang aneh. Kalau dipikir lagi akan lebih baik kalau dia satu ruangan dengan Kira.
Bicara mengenai si gadis bawel, Glen merasa cukup lama gadis itu pergi. Katanya mau mengambil laptop milik bapaknya sekalian ganti baju. Apa Kira melamun ya sampai-sampai nggak sadar kalau Glen menunggu.
"Maaf ya Kira emang suka begitu, suka lama ganti bajunya." Akhirnya Ibu Kira memulai percakapan.
"Nggak papa kok bu eh maksud saya tante," balas Glen gugup.
Ibu Kira tersenyum, "panggil ibu juga nggak papa, silakan diminum sirupnya makan juga kuenya."
Glen mengangguk pelan dan mengambil segelas sirup jeruk buatan Ibu Kira untuk diteguk. Cuaca sepanas ini memang nikmat meneguk es sirup.
"Baru kali ini loh Kirana datang bawa teman lelakinya palingan yang sering datang ke sini cuma Anggi itupun mereka langsung pergi keluar." Ibu Kira berkomentar, ia tampak sedikit kesal.
Glen sendiri menanggapinya dengan senyuman. Takut kalau salah kata nanti suasana kembali canggung. Sudah bagus Ibu Kira memulai topik.
"Jadi sejak kapan kamu kenalan sama anak saya?" tanya Ibu Kira. Sorot matanya berbinar seperti ingin mendapat jawaban.
"Dari tadi bu, saya dan Kira satu kelompok buat tugas bahasa indonesia." Glen menjawab sekenanya.
"Oh begitu ya.." Ibu Kira menganggukan kepala mengerti, "Jadi dia bukan cowok yang ditaksir Kira," lanjut Ibu Kira bergumam.
"Apa?" tanya Glen bingung. Dia yakin mendengar "cowok yang ditaksir Kira".
"Akhirnya dapat juga." Suara Kira terdengar sampai ke ruang tamu. Menenteng laptop kerja sang ayah, Kira berjalan mendekat dan duduk di samping Glen.
"Maaf ya lama, susah nyari laptop Ayahku untung ketemu." Kira kemudian melihat pada Ibunya, "Ibu kami lagi ngerjain tugas tolong jangan ganggu kami."
Ibu Kira tidak mengatakan apapun, dia hanya tersenyum dan berlalu pergi menuju dapur.
"Kau tidak ditanya aneh-aneh kan sama Ibuku?" tanya Kira seakan tahu isi pikiran Glen.
"Nggak, dia baik kok nyuguhin sirup sama kue kering." Glen hanya menjawab apa adanya. Dia tidak mau membuang waktu di rumah itu.
"Baik jadi aku sudah tanya sama Ibu Riska untuk kejelasan makalah kita, dia bilang nentuin judulnya sendiri tapi bertemakan narkoba nah ada nggak masukan dari kamu, ingat ya kita ini kerja kelompok jadi aku mau kamu juga punya andil besar." tutur Kira panjang lebar.
"Kalau begitu dampak negatif narkoba terhadap kesehatan." Glen langsung memberi usulan. Dia lalu mengeluarkan sebuah buku dengan halaman pertama yang bertulis Bab I.
Kira terpaku. Dia pikir Glen adalah sosok pemuda yang tidak tahu apapun tapi melihat tulisannya untuk Bab 1 membuat Kira merasa Glen bukan orang bodoh.
"Sudah kubilang dari tadi aku saja yang mengerjakan makalahnya kamu tinggal presentasi saja di kelas. Kalau begitu aku pergi ya." Baru saja berdiri Kira segera menarik lengan Glen.
"Nggak tetap di sini sampai aku ngetikny selesai."
Glen membuang napas dan kembali duduk. "Kenapa lagi? Bukannya aku sudah kasih kamu isi bab satu tinggal kamu masukin semuanya ke laptop."
"Iya tapi tunggu dulu. Lagian nggak lama kok."
Pria itu hanya memutar matanya malas. Kalau begini terus bisa-bisa ia mati karena terus menunggu.
"Aku juga mau minta maaf ya," ucap Kira lagi.
"Untuk apa?" tanya Glen heran. Bukannya dia sudah minta maaf dari tadi.
Tetap fokus dengan laptop Kira lalu menjawab, "Karena aku maksa kamu buat datang ke rumah sebenarnya kalau bukan karena keadaan aku nggak akan mengganggu."
Tampaknya arah pembicaraan keduanya sedikit menarik sambil menopang dagu, Glen menatap Kira. "Keadaan apa nih? penasaran,"
Kira menyeringit tak suka. "Bukan urusanmu,"
"Oh ya dari tadi Ibumu bilang soal cowok yang kamu taksir, kamu lagi suka ya sama seseorang?" terka Glen langsung. Melihat ekspresi terkejut Kira, Glen puas sekali.
"Nggak kok Ibuku emang aneh orangnya, nggak usah dengerin apa yang ibuku bilang."
"Terus kalau itu emang nggak benar kenapa kamu malah kaget begitu betul, kan apa ucapanku?" goda Glen lagi. Sangat menyenangkan melihat Kira sebal sekaligus salah tingkah. Dia itu mudah sekali ditebak.
"Tch, terserah kamu mau bilang apa? Toh kamu nggak bakal percaya." Kira menjawab dengan nada terkesan kesal.
"Emang," timpal Glen cepat.
Kemudian hanya suara laptop yang terdengar. Kira serius dengan tulisan Glen sedang pemuda itu sendiri berkutat dengan ponsel.
"Aku pikir kamu itu bodoh tapi bisa ya bikin latar belakang sepanjang ini," komentar Kira tiba-tiba.
"Tugas kelompok kita, kan hanya berdua beda yang lain punya beberapa orang itupun aku nggak pernah dikasih tugas jadi nggak bisa menonjol." Glen menyahut santai.
"Wajar aja sih tulisan kamu juga kaya tulisan cakar ayam," ejek Kira.
"Biar tulisan cakar ayam begini tapi aku ngerjain bab 1 toh kamu juga bisa baca, omong-omong aku masih bingung loh."
"Bingung soal apa?"
"Kenapa sih kamu maksa banget buat kita kerja kelompok? Kan aku sudah bilang aku tidak peduli akan nilaiku atau jangan-jangan kamu suka sama aku lagi?" gurau Glen sambil tertawa kecil.
Kira ikut tersenyum, "Idih sok tahu banget, nggaklah aku kasihan sama kamu."
"Buat apa kasihan? Kita, kan bukan teman."
"Emang simpati harus dari teman?" Kira balik bertanya sambil menatap Glen yang sekarang diam. "Aku selalu disuruh sama guru yang masuk untuk ngisi absen, kamu nggak pernah datang ke kelas kecuali saat pelajaran olahraga. Setiap ulangan kamu nggak ada ya palingan kalau ujian semester. Aku dari dulu orangnya emang nggak enakkan, saat kerja kelompok aku yang paling koar-koar supaya semua teman kelompokku punya pekerjaan biar kami semua punya nilai sepertinya karena kebiasaan, maaf kalau itu bikin kamu terganggu."
Tidak ada tanggapan dari Glen. Dia larut dalam pikirannya sendiri sampai ibu Kira datang menghampiri. "Sudah selesai kerjakan tugasnya? Kalau belum makan dulu yuk, Ibu sudah siapin makanan untuk kalian."
Ibu Kira lalu menoleh pada Glen, "Nak Glen ikut makan juga ya bersama kami kebetulan hari ini ibu siapkan makanan yang cukup banyak."
"Iya bu, makasih," balas Glen sopan.
Ibu Kira kemudian pergi masuk ke dalam sementara Kira menghentikan pekerjaannya dan menyimpan laptop. Glen pun ikut berdiri mau ke dapur.
Suasana tak lagi canggung antara Glen dan ibu Kira malah yang sering melontarkan candaan adalah Glen sendiri. Begitupun saat pengerjaan makalah, meski ketimbang banyak mengobrol tapi bab satu sampai setengah bab dua telah rampung. Semua karena Glen bisa memberi masukan dan mencari beberapa refensi yang digunakan untuk membuat makalah.
Tak terasa hari menjelang malam, pukul 18.00, Glen lantas pamit kepada tuan rumah sekaligus berterima kasih atas makanan dan menerima dengan senang hati kedatangan Glen.
"Kira, aku pulang dulu ya," pamitnya pada Kira. Dia hendak menaiki motor yang terpakir tepat di teras depan rumah Kira setelah memakai helm.
"Tunggu sebentar!" seru Kira mencegah Glen. Buru-buru dia mengeluarkan ponsel. "Ayo kita foto dulu,"
Kening Glen mengkerut, "Untuk apa?"
"Ya buat dijadikan bukti, siapa tahu ibu Riska nggak percaya kamu bantuin aku buat makalah."
Anehnya, Glen mengikuti kemauan Kira. Dia membuka helm dan mendekati Kira yang menyetel kamera di ponselnya. Glen berdiri tepat di belakang gadis itu dan merendahkan kepalanya agar sejajar dengan Kira.
"Satu dua tiga..." Kira menekan tombol. Ia tersenyum begitu juga dengan Glen. Tak lama pemuda itu sudah duduk di atas motor. "Hati-hati ya di jalan,"
"Iya," balas Glen sambil menyalakan motor. "Oh iya lupa, Kira.."
Kira bergumam sebagai balasan, dia tetap menatap Glen yang sekarang juga memandangnya. "Mulai sekarang kita temenan, aku bisa kan ngobrol santai sama kamu?"
"Boleh kok."