Dasar Bian Bodoh

987 Kata
Beruntung curah hujan sedikit mereda saat mereka pulang. Jam tiga sore, para siswa-siswi berjalan keluar dari pintu gerbang sekolah termasuk Kira serta Anggi. "Jadi nih janjinya?" tanya Anggi memastikan. Kemarin dia kecewa sebab sahabatnya ada urusan sekarang nggak boleh menolak. "Tentu, tugas kelompok sedikit selesai jadi nggak bakal ada alasan." Di saat kedua sahabat itu tengah asyik mengobrol sebuah motor perlahan berhenti di samping keduanya. Motor itu berwarna merah jelas bukan milik Bian. Si pengemudi lantas membuka helm. Melempar senyum pada kedua gadis belia itu. "Kira," panggilnya. "Glen, ada apa? Bukannya soal makalah sudah selesai ya," ujar Kira bingung. "Bukan itu, lo punya tempat nebeng nggak? Kalau nggak ada gue anterin pulang." Glen membalas santai. Anggi memandang Kira, curiga dengan sikap pemuda asing di depannya ini. "Maaf ya Glen, aku nggak bisa lagi ada janji sama temanku. Lain kali saja ya, kalau soal makalah nanti aku kasih kabar ok?" Glen menganggukan kepala mengerti namun sorot matanya tampak kecewa. "Kalau begitu gue pulang duluan ya." "Iya, hati-hati di jalan," sahut Kira. Kemudian Glen pergi bersama motornya meninggalkan banyak sekali pertanyaan di benak Anggi. "Dia siapa?" tanya Anggi langsung tanpa basa-basi. "Oh, dia Glen teman sekelas. Kami lagi kerja kelompok bikin makalah." "Glen? Sekelas sama kamu? Orang yang namanya Glen di kelas kamu itu hanya Glen Argantara," kata Anggi seraya berpikir. "Iya, Glen yang itu. Glen yang mana lagi sih?" "Nah itu dia, kok kamu bisa sih akrab sama Glen. Nggak dengar gosipnya?" Sekali lagi Anggi bertanya. Sengaja di akhir kalimat dia mengecilkan suara. "Gosip apa?" Kira balik bertanya. Dia merasa ada sesuatu yang tidak beres. "Kamu pernah dengar kan saat kita kelas satu, ada orang yang curi ponsel di kelas 1-A?" Pertanyaan Anggi disambut anggukan oleh Kira. "Nah Glen itu loh yang ngambil ponselnya Ita, itu loh sekretaris osis. Bukan cuma ponsel, uang juga Ra." "Ah masa?" Menurut Kira memang Glen itu sering bikin kesal tapi dia tampaknya bukan pencuri. Kalau Glen panjang tangan mungkin salah satu barang dari rumahnya hilang. "Bukan itu yang bikin aku khawatir, Glen itu pernah nyontek saat ujian tengah semester. Aku takut dia deketin kamu cuma mau di manfaatin doang." Seketika Kira langsung syok mendengar ungkapan Anggi. Ini sudah keterlaluan sih gosipnya. "Anggi jangan keterlaluan, kita nggak tahu kalau gosip itu benar atau salah," "Nggak salah kok, ada buktinya juga si Ita foto Glen pas masuk ke ruang guru waktu semuanya pulang." Anggi masih bersikukuh. "Pokoknya aku nggak mau terjadi sesuatu sama kamu gara-gara Glen!" Kira tidak mengatakan apa-apa tapi hatinya pedih. Saat di kantin, Glen sangat semangat ketika Kira menceritakan Anggi namun beda hal ketika sahabatnya tahu soal Glen. Sebuah motor kembali menghampiri mereka. Pengendaranya adalah Bian dan ia segera berhenti tepat di samping kedua gadis itu. "Kira, Anggi." Suara Bian menyita perhatian mereka. Kira bingung sedang Anggi terlihat tidak nyaman. Bukannya mata Bian tertuju pada Anggi melainkan ke arah Kira. "Kira, mau pulang? Aku antar ya," ajak Bian tiba-tiba. Kira sontak menoleh pada Anggi yang kini tersenyum. "Tunggu apa lagi Ra, buruan selagi ada kesempatan," kata Anggi bersemangat. "Tapi bagaimana dengan janji kita kemarin?" "Tidak apa-apa, ada lain hari kok. Udah pergi aja, sebelum Bian berubah pikiran." Anggi terus mendorong Kira untuk setuju. Kira tidak memiliki pilihan selain mengiyakan. Kira terus menatap Anggi bahkan ketika motor Bian melaju meninggalkan sahabatnya di tengah keramaian siswa-siswi yang baru pulang. "Kita bisa nggak berhenti di suatu tempat? aku mau bicara sama kamu." Bian kembali berucap. Kira hanya menganggukan kepalanya. Meski dia penasaran tentang apa yang akan dibicarakan Bian tetap saja darahnya berdesir hebat. Apalagi ketika parfum Bian tercium, membuat d**a Kira kian bergemuruh. Ini adalah pertama kalinya Kira dekat dengan Bian. Dia berusaha mati-matian untuk tetap sadar bisa saja ia pingsan dan hanya menyusahkan pemuda itu. Tak lama motor Bian berhenti di sebuah taman. Kira turun dan mendekati seorang pedagang gado-gado yang berdagang di tempat tersebut. "Mau makan?" tanya Bian. Pemuda itu sendiri sudah berdiri di samping Kira. "Tidak, aku tidak lapar." Kira menjawab santai. "Kalau mau pesan silakan, aku bisa bayar kok. Anggap saja sebagai rasa terima kasih aku karena kamu mau aku ajak ke sini." Tidak lama keduanya duduk di salah satu meja menunggu pesanan mereka siap. "Kayanya Anggi nggak suka kalau aku mau deketin dia." Bian memulai pembicaraan. "Maksudnya? Kamu ditolak? Udah bicara berdua sama Anggi?" Bian menggeleng. "Sikapnya Kira, dia dingin banget sama aku. Tahu nggak, kemarin pas kamu pergi, Anggi nolak mentah ajakanku. Dia bilang ada urusan, aku pengen temenin Anggi, tapi dia nolak juga. Cara bicaranya pun bukan Anggi yang aku kenal. Apa mending aku diam aja ya?" Kira tidak mengatakan apapun. Entah kenapa dia juga merasa bersalah. Jika saja Anggi tidak tahu perasaannya kepada Bian, mungkin Anggi tidak mengabaikan pemuda di depannya ini. "Maaf Kira, aku bukan bermaksud kok ngajakin kamu kesini untuk nuduhin kamu. Tapi kamu jawab yang jujur ya, kamu bilang soal perasaan aku sama Anggi?" tanya Bian penasaran. Kira menggeleng. "Aku tidak pernah memberitahukan dia soal kamu, lagi pula aku bakal senang kok kalau kalian bisa jadian tapi kelihatannya masih lama ya." Bian tersenyum. Dia kemudian menatap lekat Kira. "Kalau begitu sekarang aku minta tolong ya sama kamu. Tolong bantu aku deketin Anggi, kali ini sungguhan nggak papa kok kalau aku nggak ngungkapin perasaanku tapi aku mau hubunganku sama Anggi kaya dulu." Tampak dahi Kira berkerut. Suatu permintaan yang sangat berat, tapi Kira pun tidak mau hubungan pertemanan Anggi dengan Bian hancur. Mereka sudah lama mengenal, masa hanya karena perasaan bertepuk sebelah tangan Kira mereka jadi orang asing. Itu sungguh tidak adil. "Baiklah, akan aku coba sebisa mungkin tapi Anggi itu keras kepala, aku nggak akan bilang kalau aku bisa membuat Anggi berubah." "Makasih ya Ra, lo emang teman yang paling baik," kata Bian sambil tersenyum lega. Di sisi lain tak jauh dari mereka tampak Glen sibuk menyeruput kuah mie bakso yang ia pesan. Dia tak melepas pandangan dari Bian serta Kira. Senyum yang menyeringai menghiasi bibir Glen seraya menggelengkan kepala. "Dasar Bian bodoh!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN