"Ayah nggak sama sekali larang kamu dandan tapi Ayah kesal kamu nggak bilang sama Ayah kalau kamu jalan-jalan dengan cowok," ungkap Ayah jujur.
"Iya, iya maafin aku karena nggak jujur sama Ayah. Harusnya aku minta izin dulu kalau mau pergi bukan nyelonong gitu aja." Kira mengalah. Itu lebih baik dari pada membesarkan masalah.
Ayah kembali tenang namun tatapannya tetap intens kepada sang putri. "Jadi... Glen itu cowok yang kamu taksir ya?"
Kira memelotot. Dia pikir hanya Ibu yang penasaran rupanya Ayah juga. "Apaan sih Ayah? Glen itu cuma teman kelas saja kami punya presentasi bahasa Indonesia hari Rabu."
Ayah menganggukan kepala tanda mengerti. "Pokoknya nggak ada yang namanya kamu pergi jalan-jalan sama cowok, mulai sekarang kalau mau pergi izin sama Ayah juga nanti Ayah yang antar termasuk antar kamu pulang, paham?"
"Iya Ayah." Kira menjawab singkat.
"Sekarang pergi ke kamar istirahat besok, kan kamu harus ke sekolah." Tidak ada bantahan dari Kira. Dia langsung masuk ke dalam kamar meninggalkan kedua orang tuanya sendiri duduk di ruang tengah.
"Kamu ini terlalu keras sama dia," komentar Ibu membela lagi Kira.
"Kamu juga manjain dia terus, apa yang dia mau pasti kamu turutin gimana kalau Kira salah pergaulan? Aku nggak mau kalau terjadi sesuatu sama anakku, teman-temannya harus jelas bukan seperti yang dari tadi!" balas Ayah kesal.
"Maksud kamu Glen? Glen anaknya baik kok, dia humoris dan jago masak juga-"
"Tampangnya nyebelin, lihat dari mana pun udah jelas kalau dia itu nggak beres. Aku pengen temen-temen anakku yang pintar juga bukan sekedar baik, bisa bikin anak kita ikutan pintar juga." Ayah memotong ucapan istrinya dengan nada menggebu-gebu.
"Terserah mas aja deh, ngantuk mau istirahat dulu." Ibu pun pergi menuju kamar dan menutup pintu kamar tanpa peduli suaranya besar.
***
Hari senin, hari yang paling menyebalkan sebab harus berpanas-panasan di lapangan untuk upacara bendera. Apalagi mataharinya terik sekali tidak ada udara sejuk. Upacara bendera berlangsung penuh hikmat dan semuanya masuk ke dalam kelas masing-masing.
Kira sendiri mengipasi wajah dengan buku sebab kegerahan. Jam pertama adalah biologi yang santai tanpa tekanan apapun. Saat mendinginkan diri seorang teman kelas berjalan mendekat. "Eh Kira," panggil pemuda itu.
Kira menoleh dengan dahi yang mengkerut. "Lo pergi ke salon ya kemarin?"
"Iya, kenapa?"
"Pantesan lo keliatan agak beda, gue baru sadar kalau lo cantik." Pemuda itu ingin mendekat. Kira merasa terancam dan bergerak menjauh ketika teman sekelasnya hendak mendekat.
Sebelum sempat mendekat, pundak si pemuda di tepuk dari belakang. Dia berbalik dan menemukan Glen. "Bolos yuk, ke kantin."
Tidak ada perlawanan saat Glen menariknya keluar bahkan lebih tepat jika dikatakan menyeret pemuda itu. Kira sendiri bernapas lega. Setidaknya tak akan ada yang mengganggu ia lagi.
Tidak lama setelah Ibu Guru masuk, Glen serta si pemuda masuk juga ke dalam kelas. Wajah teman kelasnya pucat sedang Glen tampak baik-baik saja. Mata keduanya tak sengaja saling berpandangan. Kira langsung memberikan senyum tipis tapi anehnya Glen hanya memalingkan wajah.
Kira merasa bingung namun dengan cepat mengabaikan hal tersebut agar bisa fokus dengan materi pelajaran yang diterangkan. Sampai istirahat pun Glen langsung menghilang tanpa Kira tahu ke mana pemuda itu pergi.
Akhirnya Kira langsung ke kantin sendiri padahal niatnya ingin mengajak Glen makan bakso. Tampaknya dia sibuk dengan urusan lain. Dari yang awalnya agak kurang bersemangat mendadak senang melihat sosok Anggi, sahabatnya ada di sana.
Kira mau menghampiri. Dia berjalan beberapa langkah dengan senyum mengembang namun begitu melihat kehadiran Bian langkah terhenti, segaris senyum pun menghilang begitu saja. Akan lebih baik jika Kira tak usah mengganggu mereka. Lebih banyak waktu mereka berdua, lebih cepat Anggi dan Bian jadian. Semoga saja.
Kira kemudian berjalan meninggalkan kantin. Ia memutuskan untuk membaca buku di perpustakaan. Makan di kantin sebaiknya saat jam istirahat kedua.
Ia mengambil n****+ yang belum selesai dia baca dan berjalan ke rak buku paling ujung untuk membaca di sana. Biasanya jarang sekali siswa siswi mencari buku karena rak tersebut dipenuhi buku mata pelajaran yang hanya akan dibutuhkan saat jam masuk.
Kira terhanyut dalam n****+ yang ia baca. Begitu mendalami karakter dalam n****+ yang tengah berduka cita akan kehilangan seseorang yang paling ia cintai. "Boleh gabung nggak?" tanya seorang gadis. Dia menyadarkan Kira dari lamunan.
"Tentu," jawab Kira.
Si gadis kemudian duduk di samping Kira dengan senyum ramah. Dia membaca buku yang ia bawa sebentar dan kembali memusatkan perhatian pada Kira. "Kau Kirana, kan?" tanya gadis itu lagi.
"Maaf?"
"Kau Kirana anak kelas 2-C, kan? Waktu itu kita pernah satu kelas di 1-A, ingat?"
Kira bergumam. Dia sudah tak mengingat tentang kenangan saat baru memasuki sekolah. Kira hanya tahu jika di kelas 1-A adalah lingkungan yang toxic dan membuatnya tercekik akan persaingan di antara siswa-siswi.
Kira langsung meminta kepada Ayahnya begitu semester satu selesai untuk memindahkan ia di kelas 1-C dan dengan membuat sebuah surat perjanjian Kira tidak akan masuk ke kelas unggulan meski nilainya mencukupi atau pun melampaui. Ajaib ayahnya setuju.
"Siapa ya? Aku tak ingat," ungkap Kira jujur.
"Ah mungkin kita belum kenalan, kau langsung pindah ke kelas 1-C waktu itu karena nilaimu menurun." Kening Kira mengerut. Dari nadanya yang terkesan meremehkan, Kira merasa ada yang aneh.
"Aku Ita, sekretaris osis," kata Ita sambil menjulurkan tangannya.
"Kirana," balas Kira seraya menjabat tangan Ita.
"Aku sangat senang bertemu di tempat ini. Kita sudah lama tidak bertemu." Kira tersenyum. Tak percaya akan ucapan Ita karena sepengatahuannya siswa-siswi yang berada di kelas unggulan menatap satu sama lain sebagai lawan. Kalau pun berteman pastilah keduanya munafik dan saling menusuk dari belakang.
"Kudengar kau satu kelas ya dengan Glen, gimana kabarnya?" Seketika Kira mengalihkan atensinya. Dia penasaran akan hubungan Glen dengan Ita.
"Kenapa kau bertanya tentang dia?" Kira balik bertanya.
"Kami itu satu kelas dari sd sampai smp hanya saja kami sudah tak berbicara sejak Glen curang." Ita menjawab dengan mimik sedih.
"Curang?"
"Iya curang. Aku melihatnya masuk ke kantor guru setelah semua orang pergi. Awalnya aku pikir dia akan ke kelas mencari sesuatu yang tertinggal tapi gelagatnya aneh jadi aku mengikutinya dan aku menemukannya masuk ke dalam ruangan guru yang terkunci. Aku sebenarnya tak ingin melapor tapi karena aku tahu Glen juara umum di sekolah, aku tak tinggal diam."
Kira terdiam. Bingung harus menanggapi apa. "Aku tak menyangka orang seperti Glen yang baik dan juga humoris bisa bertindak kotor. Aku harap semoga dia bisa menjadi pribadi yang baik. Kau tidak dekat dengan Glen?"
Beberapa saat Kira tersentak kaget. Dia bergumam sebagai jawaban tak pasti. "Jangan terlalu dekat karena kau akan dapat masalah dari dia." Sekali lagi Kira diam. Kalau Anggi mengatakan hal yang buruk tentang Glen, dia masih bisa membela tapi untuk Ita, Kira mulai hilang kesabaran.
"Aku pergi dulu ya, senang bisa mengobrol denganmu." Ita kemudian berdiri dan berjalan beberapa langkah sebelum akhirnya berbalik memalingkan wajah kepada Kira. "Oh ya ngomong-ngomong ucapkan rasa senangku padanya, pacarnya cantik sekali."
"Pacar?" tanya Kira tidak mengerti.
"Iya pacar. Kau tidak melihat grup kelas ya?" Ita benar-benar pergi meninggalkan Kira yang langsung membuka aplikasi obrolan. Karena dia mematikan notifikasi grup kelas. Dari chat yang baru terkirim teman-teman sekelasnya, Glen memang memiliki pacar.
Satu gambar menjadi pusat perhatian dari Kira. Itu adalah foto Anggi bersama Glen semalam. Begitu banyak pertanyaan di dalam benaknya sekarang dan ia harus mencari tahu sebelum gosip makin menjadi-jadi.