"Nggak bisa." Kira menjawab tenang namun tegas. Tatapannya tak kalah tajam ke arah Glen. "Ibu Riska sudah bilang kalau kita harus bekerja sama buat makalahnya ya kalau kamu nggak mau kerja bareng aku biar aku bilangin sama Bu Riska supaya nilai ulangan kamu nggak ada."
Glen tersenyum mengejek, "Aku pikir kau itu orangnya pendiam tapi berani juga ya, baiklah kalau kamu nggak mau ikutin apa yang aku mau tapi aku nggak punya waktu untuk ngerjain tugas kelompok jadi bagaimana ya?"
"Hari ini sepulang sekolah datang ke rumah, nggak lama kok cuma nyelesain satu bab saja ya walau kamu cuma diam nungguin," usul Kira mencoba menengahi.
"Wah aku lagi futsal sama teman-temanku, nggak bisa." Glen menjawab masih dengan pandangan mengejek. Sepertinya pemuda ini ingin mempermainkan Kira.
"Kalau begitu malam saja, aku bisa tunggu kok."
"Masih main futsal sampai sembilan."
Kira mendecak. Dia berusaha untuk tidak emosi. "Baiklah berikan nomor ponselmu aku akan menghubungimu untuk bertanya lebih jelas."
"Wah aku nggak bawa hp sekarang."
Kira jelas tak percaya. Anak SMA mana yang nggak punya ponsel di zaman sekarang? Pasti hanyalah akal-akalan Glen supaya dia bisa melepas tanggung jawab.
"Ok tapi ingat ya aku tidak akan bertanggung jawab kalau nilai kamu nol."
Glen dengan santai mengancungkan jempol tanda tak peduli dan berlalu dari kantin. Kira lantas melotot, menunjukkan ketidaksukaannya pada Glen. Dia berharap semoga ke depannya mereka tidak satu kelompok lagi.
***
Jam menunjukkan pukul 15.00, bel pulang sekolah menggema di seluruh ruangan kelas. Kira mengembuskan napas berat. Hari ini doanya tidak terkabul. Jam pelajaran olahraga tetap diadakan kendati hujan deras.
Mereka belajar teori dan mendapat tugas menggambar lapangan bola voli. Pak Hartono seperti biasa memberi wejangan kepada Kira yang hanya bisa mengangguk sambil tersenyum hambar selama satu setengah jam.
Beban pikirannya sekarang ialah Glen. Bagaimana membujuk pemuda itu untuk datang mengerjakan tugas kelompok? Dia tidak takut walau sudah diancam.
"Kira!" panggil Anggi sembari berlari kecil. Kira memalingkan wajah, mencoba tersenyum.
"Dari tadi kenapa kamu kenapa sih? Aku tunggu kamu loh di kantin, kok kamu nggak datang?" tanya Anggi dengan kesal.
"Iya maaf, aku sakit perut banget makanya sekalian BAB," jawab Kira berbohong lagi.
Kira tertawa hambar, "Maaf aku lagi punya urusan mendadak jadi nggak bisa kabarin kamu."
Anggi cemberut namun dengan cepat ekspresinya berubah. Dia lalu merangkul pundak Kira, "Nggak papa, sebagai gantinya hari ini kita ke kedai es krim yuk udah lama banget kita nggak ke sana."
"Wah untuk hari ini nggak bisa soalnya aku lagi kerja kelompok." Kira menolak spontan. Kali ini dia jujur.
"Yah, terus aku sendirian nih." Anggi terlihat kecewa. Sinar matanya yang cerah perlahan meredup seiring dengan bibirnya mengerucut.
Kira mengangguk sebagai jawaban, "Tapi tenang saja kok, besok kita bakal pergi janji deh."
"Ok, awas ya kalau kamu ngingkarin janji. Eh btw, aku kan ngobrol nih sama Bian dia mau ngajakin nonton di hari minggu, tapi aku bilang aku lagi sibuk nah makanya aku minta dia buat ngajakin kamu dan kayanya dia nggak keberatan."
Mata Kira membulat. Memang salah Kira karena sudah bilang soal perasaannya terhadap Bian tapi jangan cepat seperti ini. Ia butuh waktu untuk lupa.
Membayangkan jalan berdua dengan Bian cukup membuatnya serangan jantung tapi dengan cinta sebelah pihak bagaimana bisa itu terdengar romantis malahan canggung sekali rasanya.
"Kalau kamu butuh sesuatu telepon aku, aku bisa loh dandanin kamu supaya kelihatan lebih cantik."
Tidak ada tanggapan dari Kira. Pikirannya menerawang jauh sampai dia melihat punggung yang familiar. Tidak jauh dari tempat Kira berdiri, Glen sedang berbincang dengan teman-temannya.
"Anggi, Kira." Bian memanggil kedua perempuan itu dan langsung menghentikan laju motor yang pelan. "Kalian mau pulang? Aku bisa mengantar kalian berdua kok tapi aku.."
"Aku bisa jalan sendiri kok, antar Kira saja." Anggi memotong cepat seraya menarik Kira untuk berdiri tepat di samping Bian.
Kira sekali lagi diberikan pilihan sulit. Berada di tengah-tengah dua orang yang tidak tahu akan situasi antara mereka cukup membuat Kira linglung. Saat itulah matanya terus menatap punggung Glen dan seketika terbersit ide cemerlang.
"Ah aku sudah ada teman kelompokku yang menunggu, rencana kami akan langsung mengerjakan tugas bersama-sama." Kira lalu menoleh pada Anggi, "Anggi aku nggak enak sama Bian, kamu aja yang diboncengin Bian bye!"
Kira langsung pergi meninggalkan keduanya yang termangu. Gugup sebenarnya mendekati Glen tapi dengan berani dia menyentuh belakang lelaki itu.
Glen lantas memalingkan wajah, terkejut akan kehadiran Kira. "Kau? Ada apa?" tanya Glen tampak tidak peduli.
"Aku mau bicarain soal tugas kelompok kita jadi bagaimana? Kamu bisa kan datang ke rumah atau kumpul di mana kek supaya bisa kerjain sama-sama," ujar Kira berusaha mendapat jawaban.
"Kan aku sudah kasih usulan tapinya kamu tolak, boleh sih kita kerja kelompok tapi pake caraku yang tadi." Glen bersikukuh.
"Nggak bisa, kamu harus datang untuk kerja kelompok satu kali saja terserah mau main game atau apa gitu yang penting kamu datang." Kira menghela napas. Cukup menguras tenaga untuk berbicara dengan pria bebal di depannya ini.
"Terserah aku nggak peduli, mau nilaiku itu turun drastis itu bukan urusanmu juga, kan?"
Kira berdecak. Tanpa buang waktu sebelum Glen bisa menjalankan motornya, dia langsung naik ke jok belakang.
"Lo ngapain?!" tanya Glen dengan kesal.
"Aku akan tetap di sini sampai kamu mau kerja kelompok sama aku." Kira masih bersikeras.
"Jangan cari masalah deh, gua lagi sibuk!" seru Glen lagi dengan nada marah.
"Sibuk apanya kalau cuma main futsal." Kira menghardik juga. Lama-lama emosinya mulai naik.
"Dasar kepala batu ya lo,"
"Kamu yang mulai duluan." Kira menimpali sebal.
Glen berdecak, tidak memiliki pilihan selain mengantar Kira pulang ketimbang membawa anak gadis orang dan disalahkan ketika Kira pulang larut. "Di mana alamat lo? Biar gue antar tapi hanya kali ini aja ya, awas aja kalau masih ganggu gue besok."