Kira memandang bayang dirinya dalam cermin. Hidung pesek, kulit kusam, tubuhnya berisi, tidak tinggi serta rambut yang tidak pernah ditata rapi. Gayq rambut pun sama tiap harinya, kuncir kuda. Untuk wajah hanya sesekali jerawatan itupun tidak parah.
Bodoh sekali Kira menganggap bahwa suatu hari Bian akan melihatnya sebagai seorang wanita. Kira tidak sama sekali menarik baik penampilan maupun kepribadian. Wajar juga kalau dia menyukai Anggi. Anggi memiliki semua yang tidak dimiliki oleh Kira.
Anggi itu dimata Kira sempurna. Dia populer, cerewet dan pemberani. Kira pun merasa pantas bila Anggi dan Bian disandingkan. Mereka pasti akan mendapat predikat "couple goals" di buku tahunan sekolah nanti.
Kira yang tak pantas berharap perasaannya pada Bian. Dia hanyalah gadis biasa tanpa hal spesial, pemalu dan tidak bisa akrab dengan siapa saja. Semua kriteria yang tidak akan pernah disukai oleh pria manapun termasuk pria idamannya sendiri.
Meski begitu Kira merasakan sesak yang luar biasa dalam d**a. Ia ingin menangis tapi perasaan itu ditahan karena malu. Kira tidak mau bangun dengan mata sembab dan membuat kedua orangtuanya khawatir. Hanya menimbulkan masalah lain jadi sebaiknya Kira harus mengubur dalam-dalam perasaan yang ia miliki.
Tapi bagaimana bisa jika Kira selalu bertemu dengan Bian? Sialnya Bian meminta pertolongan untuk mendekati Anggi. Sungguh menyakitkan.
***
Pagi hari tidak ada yang spesial dengan hari rabu mendung. Pelajaran pertama adalah bahasa indonesia lalu dilanjutkan dengan olahraga setelah istirahat, pelajaran yang paling dibenci oleh Kira. Bukan hanya menyangkut pelajaran fisik tapi pak Hartono juga guru olahraga yang menyebalkan.
Tiap kali pelajaran olahraga bapak guru yang satu ini selalu menasehati Kira dengan hal yang menurut Kira sendiri nggak penting. Alasannya sederhana, pak Hartono prihatin terhadap kondisi gadis berusia 15 tahun tersebut yang menurutnya lemah.
Benar, nasehatnya diterima tapi kalau berkali-kali Kira pun bosan. "Kirana Indrawan," panggil ibu Riska selaku guru bahasa indonesia.
"Iya bu," balas Kira agak terkejut.
"Kamu sama Levi satu kelompok ya bahas soal narkotika, minggu depan makalah kalian semua harus siap mau tak mau karena ibu akan menunjuk kalian secara acak. Nilainya pun dibagi dua satu nilai kelompok dan satu buat per individu menggantikan nilai ulangan jadi ibu harap kalian semua bisa berpartisipasi."
"Baik bu!" jawab semua murid serempak.
Kira menoleh ke arah belakang, menatap sebuah kursi kosong yang letaknya jauh dari tempat ia duduk. Glen Argantara, siswa tukang bolos maniak olahraga.
Seperti julukan yang Kira sandangkan untuk lelaki itu. Dia memiliki stamina yang kuat dan bersemangat saat olahraga beda hal kalau pelajaran. Glen termasuk siswa yang nilainya rata-rata, rangking selalu masuk 20 besar, jelas kalau otaknya tidak seencer Kira.
Lantas Kira membuang napas kasar. Apa sebaiknya dia bikin makalah narkotika secara individu tapi kasihan juga kalau Glen tidak punya nilai.
Bel berbunyi, jam istirahat. Rencana Kira akan makan mie bakso buatan Pak Dadang, pemilik kantin sekolah. Sebenarnya masih ada beberapa menu lagi tapi uangnya harus dibagi dengan ongkos pulang.
Kira memperhatikan sekeliling ketika sampai di kantin. Tidak ada tanda-tanda dari Bian ataupun Anggi membuatnya lega. Kebiasaa akira yang selalu pergi menemui Anggi saat berada di lingkungan sekolah pun tak dilakukan demi menenangkan perasaannya. Ada sesuatu mengganjal hati saat melihat mereka.
Sampai pesanan mie bakso Kira sudah tersaji di atas meja, kantin masih aman. Kira baru saja ingin mengambil suapan besar tapi suara laki-laki menyapa dia. d**a Kira bergemuruh hebat, itu adalah suara pemuda yang tidak mau ditemuinya hari ini.
Bian berjalan mendekat, mengambil tempat duduk di depan Kira sementara Kira sedang mencoba mengunyah makanan pelan-pelan, tidak ingin terlihat kesal. "Tadi malam kenapa cuma di read? Padahal aku mau minta tolong sama kamu."
Kira tidak menjawab, ia mencoba menelan makanan di dalam mulut. Minta tolong apa? Dirinya sudah terlanjur kecewa akan pengakuan Bian jadi apapun permintaan tolong pria ini akan langsung diikuti. Sungguh Kira tak tahan melihat Bian sekarang.
"Maaf aku sedang sibuk mengerjakan PR jadi tak sempat membalas. Minta tolong apa ya? Aku akan berusaha semampuku."
Bian tersenyum, "Aku mau minta bantuan soal Anggi."
Makin sial!
Kira menghela napas. Sekuat tenaga untuk mencoba menahan sebak di d**a.
"Jadi aku pengen kamu bantuin aku untuk dekatin Anggi sekalian tanya soal apa saja kesukaan Anggi," pinta Bian.
"Kalau itu sih beres, nanti aku chat ya." Kira membalas singkat, padat dan jelas. Mencoba menyelesaikan komunikasi sesingkat mungkin.
"Kirana!"
Kira mematung. Lengkap sudah penderitaannya. Anggi pasti mendekat terbukti dengan suara kaki yang makin lama makin terdengar.
Anggi kemudian duduk di samping Kira. "Kok kamu ke kantin sendirian? Aku ke kelasmu loh dari tadi." Anggi lalu melirik Bian beberapa detik dan berbisik ke telinga Kira.
"Makin lengket nih ye sama mas crush, aku pergi aja deh nggak akan ganggu kalian berdua."
Mata Kira membulat dan buru-buru menahan sahabatnya itu. Kira menoleh pada Bian yang tampak kecewa saat melihat Anggi hendak pergi. Ia sadar bahwa kehadirannya hanya akan menjadi penghalang di antara Bian dan Anggi maka sudah sepatutnya Kira menjauh.
"Kau di sini saja, aku pergi ke WC dulu ya temani Bian."
Belum sempat Anggi membuka mulut, Kira langsung berdiri dan melangkahkan kaki
meninggalkan keduanya. Dia lalu mengambil tempat yang cukup jauh menutupi pandangan Anggi agar tak curiga. Termenung sendirian di dalam keramaian sambil memikirkan betapa bahagianya Bian dengan Anggi mengobrol.
Rasanya lebih menyakitkan dari pada saat Bian mengakui perasaannya. "Hei kau yang namanya Kirana bukan?"
Kira termangu, dia mendongak menatap sosok pemuda di depannya. Muka tengil yang khas itu membuatnya kesal apalagi senyumnya makin menyebalkan saja saat bertatapan tapi Kira berusaha membalas santai.
"Glen?"
"Iya kita satu kelompok," balas Glen. Dia mengambil tempat duduk di depan Kira, senyum berganti dengan tatapan serius. "Ekhem jadi aku datang ke sini cuma mau menjelaskan sesuatu..."
Entah kenapa Kira merasa waspada. Arah pembicaraan ini tampak begitu membingungkan.
"Soal makalah biar aku yang kerjakan jadi kamu tinggal presentasi aja di depan kelas, kau kan gadis pintar pasti bisa kan presentasi sendirian?" tanya Glen dengan senyum usil yang lebar.
Kira tercekat. Orang ini ... ternyata selain wajah kepribadiannya pun sama-sama menyebalkan.