Begitu tiba di dapur kedua mata Glen tertumpu pada Bian dan Kira yang tengah berbincang. Mereka tampak asyik sampai-sampai tak merasakan adanya Glen di tempat itu.
Barulah ketika Glen berdeham keras mereka menoleh. "Bian makasih ya sudah mau bantu pekerjaanku. Mau makan? Kami buat lebih kok ayam kecapnya,"
"Ah nggak makasih aku datang ke sini hanya mengantar Anggi, ada urusan juga jadi tak bisa lama-lama." Bian beralasan.
"Kenapa buru-buru Nak Bian," ucap Ibu Kira datang menghampiri mereka bertiga. "Makan saja atau kamu mau Ibu bungkusin biar kamu makan di rumah."
"Nggak usah tante, repotin aja."
"Nggak, ini nggak repotin Ibu kok. Oh ya panggil Ibu saja ya semua teman Kira udah Ibu anggap seperti anak sendiri." Ibu Kira kemudian mengambil satu tupperware untuk dimasukan beberapa potong daging.
Anggi sendiri baru saja sampai di dapur. Raut wajahnya yang masam dengan cepat menerima perhatian Kira. "Kamu kenapa?" tanya Kira pelan setelah mendekati sahabatnya itu.
"Nanti aja bicaranya lagi nggak mood," balas Anggi sebal.
Glen ikut menoleh pada Anggi. Ia kembali memamerkan senyum sinisnya yang menyebalkan. Hal ini pula membuat Anggi melotot ke arah Glen. Jelas mereka saling bermusuhan.
"Bu, Kira aku duluan ya. Adikku udah chat minta jemput." Glen pamit undur diri.
"Eh bungkus ayamnya juga biar adik-adikmu makan."
"Nggak usah Bu, saya bisa masak sendiri kok di rumah makasih resepnya saya pamit. Dah Kira," ucap Glen sambil menyunggingkan senyum tipis pada Ibu serta juga Kira.
"Saya juga mau pamit dulu, makasih ya Bu atas makanannya. Kira, Anggi aku pulang sampai jumpa besok." Bian ikut pamit juga dengan begitu hanya tersisa tiga wanita di dapur.
"Siapa itu Anggi? Pacarmu ya?" tanya Ibu Kira langsung pada intinya. Lagi-lagi sifatnya yang suka menggoda datang.
"Nggak kok Bu, dia itu cuma temen."Anggi membantah akan tetapi wajahnya memerah malu.
"Yakin temen? Kayanya dia demen tuh sama kamu."
"Ibu tolong jangan ganggu Anggi, kasihan dia!" tegur Kira. Dia kesal pula dengan pertanyaan Ibunya yang mengintimidasi Anggi.
"Ibu kan cuma tanya nggak salah kok,"
"Terserah, Bu aku dan Anggi ke kamar ya Bu. Pintunya ditutup kalau ada sesuatu tinggal ketok." Tidak menunggu sahutan Ibunya, Kira menarik tangan Anggi menuju kamarnya.
"Untung kamu langsung nyelametin aku, kalau nggak pasti Ibumu yang kepo itu bakal nanya sembarangan," kata Anggi sembari merebahkan diri di atas ranjang Kira.
"Biasalah Ibu aku suka banget jahilin kita. Ya dari pada ia ngegosip sama ibu-ibu yang nggak jelas. By the way, kamu bicara apa sih sama Glen sampai mukamu jutek kaya gitu?" tanya Kira. Jujur dia penasaran sekali.
"Dia itu nyebelin banget. Aku heran kenapa ya kalian bisa akrab padahal kalau dilihat dia sama kamu itu bertolak belakang banget. Tampangnya biasa aja, bodoh pula, apa kamu dijampi-jampi supaya mau temenan sama dia?"
"Jangan ngefitnah dong, Anggi." Kira menghela napas. "Emang sih dia nyebelin waktu pertama kali ketemu tapi Glen itu lucu kok, dia mudah bergaul, sopan sama orang tua, sayang sama adik-adiknya dan sebenarnya dia pintar loh buktinya dia catat semua dari bab 1 sampai bab 3. Glen nggak seburuk yang kamu pikirin kok," lanjutnya panjang lebar.
Anggi menatap Kira dengan alis yang mengkerut. Dia membuang napas kasar dan menepuk kedua pundak sahabatnya itu. "Bener dugaanku, kamu udah dijampi-jampi sama dia."
"Anggi?!"
"Kalau nggak dijampi-jampi, nggak mungkin kamu ngeliat dia orang baik sementara Glen itu secara keseluruhan buruk banget. Dari atas sampai bawah, dari dalam sampai luar!" kata Anggi masih mengejek Glen.
"Nyebut Anggi nyebut," sahut Kira mengganggap bahwa Anggi sedikit keterlaluan.
"Omong-omong, aku heran sama kamu. Kamu bilang kamu suka sama Bian tapi rasanya sama sekali nggak ada kemajuan malah kamu deket sama Glen," ketus Anggi lagi.
Kira membuang napas kasar. "Kayaknya aku nyerah aja deh."
"Hah? Nyerah? Nggak bisalah Kira, kamu sudah sejauh ini masa langsung nyerah. Semangat dong," sahut Anggi.
"Ya mau gimana lagi, nggak ada perkembangan aku juga takut kalau ditolak. Gimana kalau Bian ternyata suka sama seseorang? Aku yang bakal malu Anggi,"
"Gimana kamu bakal malu, kamu saja nggak nyoba. Udahlah lanjutin aja dulu, kalau Bian nolak kamu ya mungkin nggak jodoh tapi jangan belum apa-apa kamu udah pesimis duluan." Kali ini emosi Anggi lebih stabil. Dia santai saat mengobrol tentang Bian.
Kira sebenarnya ingin menjelaskan semua kepada Anggi tapi bukankah itu sama saja dirinya tak bisa dipercaya serta yang ada hanya menambah runyam masalah. "Baiklah, akan aku coba. Besok Bian mengajakku nonton ke bioskop kamu ikut ya,"
Kening Anggi mengkerut. "Kenapa ngajak aku? Ini kesempatan bagus loh kamu sama Bian kencan berdua."
"Aku malu Anggi, aku nggak akan bisa ngomong kalau cuma aku sama Bian. Please, kali ini saja bantu aku," ujar Kira memelas.
Dari riak wajah Anggi jelas ia keberatan namun sesaat setelahnya dia menghela napas. "Hanya kali ini saja ya, nggak ada lain kali."
"Ah makasih bestie balasannya nanti kita jalan-jalan berdua saja minggu depan,"
"Iya, iya. Eh karena besok adalah hari penting kita harus perawatan. Nggak mungkin kamu kencan dandanannya biasa aja harus cantik. Kamu punya uang tabungan?"
"Ada,"
"Berapa?"
"Satu juta setengah," balas Kira singkat.
"Bagus, ayo ikut aku kita akan berbelanja. Sekalian aku akan pulang dan ganti pakaian, aku mau menginap di rumahmu."