Arslan merebahkan tubuhnya tanpa semangat di atas tempat tidur. Ia melirik ke arah tembok, kemudian memanggil, “Alisha? Kamu di sana?”
Ia hanya memastikan, karena sore tadi si perempuan ajaib tidak ada di seberang sana. Entah menghilang ke mana, karena Arslan mengecek di balkon, Alisha tidak ada.
“Kenapa? Kamu masih ada di sini?”
“Kamu usir aku?” tanya Arslan dengan intonasi sedikit naik.
“Enggak. Cuman sedikit heran, tapi nggak penting. Kenapa?”
“Kamu punya tempat persembunyian lain selain kamar kamu itu? Sore tadi aku nyariin, kamu nggak ada.”
“Aku di perpustakaan.”
“Oh ada, ya?”
“Kamu keseringan ke kelab sih, makanya nggak sempet cek-cek isi rumah.”
“Hm. Bener juga, dan aku juga nggak terlalu tertarik sih periksa rumah kamu.” Arslan mengangkat bahu sekali tidak acuh. “Senin depan aku mau keluar kota, ketemu klien. Kamu nggak bisa gitu minta si Ridwan buat nggak ngikutin aku? Cellyn rasanya udah cukup jadi bawahan aku. Ridwan ini cerewetnya minta ampun.”
“Masa, sih, Om Ridwan kayak gitu? Malah menurut aku, kamu ini yang kebanyakan cerewet.”
“Kamu nggak liat aja gimana dia itu hobi banget nentang keputusan aku. Ini aku kayak cuman nyandang gelar jadi CEO doang, tapi yang kendaliin tetap si Ridwan.”
“Ya udah, ayo bikin aku percaya kalau kamu bisa kendaliin perusahaan aku sendiri. Kalau kamu bisa, aku bakalan pindahin Om Ridwan.”
“Seriusan kamu?” Arslan tidak percaya dengan jalan pikiran Alisha. Padahal, perempuan itu sudah sangat percaya pada Ridwan, tetapi hanya demi Arslan, ia menyanggupi memindahkan Ridwan dari posisinya sekarang.
Ehm, kalau diizinkan, Arslan ingin mengembalikan kepercayaan dirinya tentang Alisha yang sudah jatuh hati padanya.
“Serius, Arslan. Cukup yakinin aku kalau kamu mampu. Tapi sebelum kamu bisa buktiin, Om Ridwan tetap bakalan pantau kamu. Setelah kamu bikin Artanic hampir bangkrut, jangan pikir aku gampang percaya sama kamu.”
“Kamu pikir aku sengaja bikin perusahaan itu nyaris bangkrut? Aku fokus nyari seseorang, makanya nggak fokus urus kerjaan.”
“Berarti kamu belum bisa mengatur urusan pribadi sama kerjaan. Aku makin ragu sama kamu sekarang.”
Shit!
Percuma menjelaskan, toh Alisha selalu menemukan celah dirinya. Kemarin, Arslan sudah mendapatkan data diri Alisha dari Cellyn agar bisa membalas kalimat skakmat dari perempuan itu. Namun, ia tetap kehilangan kata-kata setiap kali berbicara dengan perempuan di sebelah.
Bagaimana Arslan bisa menemukan celah kesalahan perempuan itu?
***
Rencana Arslan jam 7 tepat ini adalah pergi dari rumah Alisha menuju bandara. Berangkat lebih dulu daripada Ridwan agar ia bisa fokus dengan rencana pengembangan dirinya di depan klien nanti.
Namun, uh, Arslan mendengkus karena sulit mengabaikan godaan dari dapur. Maka, ia berbelok dan menyantap masakan Alisha hingga puas. Puas sekali hingga masing-masing lauk tersisa seperempat di piring. Arslan setidaknya butuh belasan menit duduk di kursi membiarkan perutnya yang penuh beristirahat sejenak mencerna makanan.
Setelah itu, Arslan kembali berdiri, menarik kopernya keluar rumah menuju bagasi mobil. Mengeluarkan Tesla kesayangan untuk dikendarai menuju apartemen Cellyn. Ia sudah membuat perjanjian dengan perempuan berambut sepunggung itu semalam agar bisa menemaninya sabtu ini ke luar kota selama 4 harian.
Perempuan itu bahkan tidak berpikir saat mengiyakan tawaran Arslan.
Hingga, Tesla silver itu terparkir di depan apartemen yang disebutkan Cellyn. Perempuan tersebut segera datang menghampiri dengan balutan celana pendek sepaha, kaus ketat biru tua, juga rambut yang dicepol asal. Ia membawa sebuah koper besar.
Arslan tetap diam di mobil memperhatikan perempuan itu kesulitan mengangkat koper beratnya masuk ke bagasi. Arslan hanya menonton dengan sudut bibirnya terangkat, sama sekali tidak memiliki niatan untuk membantu si perempuan. Hingga beberapa pria di pinggir jalan datang membantu.
Cellyn masuk ke kursi samping Arslan, menyapa atasannya dengan senyum tipis.
“Selamat pagi, Pak.”
Arslan hanya bergumam pelan sebagai tanggapan, kemudian menjalankan Teslanya meninggalkan tempat pemberhentian tadi.
“Bukannya Pak Arslan sama Pak Ridwan berangkatnya besok sore, ya? Ada apa? Kok lebih cepat dari jadwal?”
“Kayaknya, kalau saya cerita, kamu juga nggak bisa bantu, Cellyn. Jadi, diam saja, okey?”
Selama perjalanan, Arslan bangga pada dirinya sendiri yang tetap fokus pada jalanan sementara di sampingnya, ada godaan berupa si perempuan terus menggerakkan pahanya yang putih mulus. Arslan sudah berpengalaman dengan berbagai jenis perempuan selama belasan tahun. Bukan sulit menebak kode dari orang di sebelahnya ini, tetapi bukan itu fokus Arslan sekarang. Ingatkan Arslan mengenai kesialan yang ia alami setelah b******a dengan wanita asing di mobil.
Mereka sampai di bandara. Sementara Cellyn mengurus tiket, Arslan menghubungi Alisha. Ia harus membanggakan diri sendiri agar meyakinkan perempuan ajaib itu.
“Halo,” sapa Arslan cepat.
“Assalamu‘alaikum. Kenapa?”
“Aku bakalan berangkat ke Makassar pagi ini.”
“Oh.”
Hanya itu?
Arslan kebingungan memberikan pernyataan apa lagi.
“Kamu nggak mau bilang apa pun gitu? ‘Oh’ aja seriusan?”
“Hm ... good luck, ya! Inget, kamu adalah wajah dari Bumantara. Tolong jaga sikap, karena kamu bisa mempengaruhi usaha almarhum Papa aku.”
“Percaya sama aku, Lis. Aku bakalan bikin kamu yakin sepenuhnya sama aku.”
“Oke. Buktiin. Oh ya, cuman mau ingetin. Kamu udah punya istri. Sering-sering cek cincin di jari kamu, ya?”
Arslan merunduk, melihat apa yang Alisha ucapkan tadi. Cincin ini bahkan terlupakan dari ingatannya. Arslan kemudian menoleh ke arah Cellyn yang berjalan mendekat. Alisha tidak tahu keberadaan sekretarisnya itu, kan?
Ah ya! Semalam Arslan menceritakan secuil tentang keberangkatannya bersama Cellyn.
“Oke. Kamu nggak bakalan kecewa sama aku.”
“Oke,” balas Alisha. “Assalamu‘alaikum.”
Lalu, sambungan dimatikan oleh pihak Alisha. Hening tiba-tiba, padahal bandara kala itu sedang ramai-ramainya.
“Ini, Pak. Tiketnya.” Cellyn menyerahkan selembar kertas pada sang bos.
“Oke, makasih.” Arslan menyeret kopernya menuju tempat tunggu.
***
Arslan tiba di hotel jam 3 sore. Langsung ganti baju, hendak olahraga. Ia merutuk penampilannya yang topless, menampilkan perutnya yang sedikit membuncit. Cetakan kotak di sana mulai meredup karena lemak yang tidak beraturan. Semua ini salah Alisha, tentu saja. Siapa yang bisa membuat Arslan kalap menghabiskan makanan selain perempuan ajaib itu?
Awalnya ingin mengenakan kaus untuk latihan sekarang, tetapi urung. Arslan langsung memulai pemanasan dengan menghadap jendela yang tirainya terbuka lebar. 10 menit rasanya cukup untuk melenturkan otot-otot yang kaku, lalu memulai push up sebanyak 40 kali. Keringatnya bercucuran di kening, bukan membuat pria itu lemah, tetapi malah semakin memacu semangatnya agar mengeluarkan semua lemak dengan cepat dan banyak.
Setelah itu, ia melakukan gerakan sit up dengan jumlah yang sama dengan push up. Arslan terlihat fokus sembari mengatur napasnya, bahkan tidak menyadari pintu kamarnya dibuka dan seseorang duduk di sofa memperhatikannya dengan takjub.
Gerakan kedua selesai. Arslan bersiap telungkup, tetapi berhenti sejenak saat melihat ada orang asing dalam kamarnya.
“Apa ini yang dilakukan orang terpelajar, Cellyn? Masuk kamar orang lain tanpa permisi?” tegur Arslan dengan nada santai tidak peduli. Ia tetap menelungkup, dengan kedua lengan bawahnya sebagai penopang demi mengencangkan otot perutnya.
“Bapak terlalu keras olahraganya. Padahal, bentuk tubuh Pak Arslan udah bagus, loh.” Cellyn berdeham ringan. “Tadinya saya mau ajak Pak Arslan keluar, tapi karena Pak Arslan sibuk, jadi ya saya duduk di sini.”
“Kamu luang, Cellyn?” Masih dengan gerakan plank, Arslan menengadah melirik ke arah perempuan asing itu. “Cari tempat gym dekat sini untuk besok.”
“Baik, Pak.” Cellyn mengeluarkan ponselnya. Awalnya hendak membuka maps, tetapi jemarinya malah bergulir ke arah kamera. Memilih video, lalu menekan icon merah. Ia berpura-pura menggerakkan jemari agar tampak sibuk, sementara aslinya, perempuan itu beberapa kali meneguk ludah melihat tonjolan-tonjolan otot di sekitar lengan pria itu. Juga dadanya yang tidak luput dari bentuk kotak yang menawan. Tanpa diminta, tangan Cellyn langsung tremor ingin menyentuh pahatan tubuh yang sempurna itu.
Arslan menengadah, dan Cellyn hanya pasrah setengah jiwanya serasa melayang melihat beberapa tetes keringat dari wajah pria itu menambah kesan panasnya. Cellyn tidak bisa mencegah pikirannya untuk memberikan gambaran tentang bosnya yang berada di tengah-tengah ranjang, berkeringat dengan mulut setengah terbuka mengeluarkan napas berat, dengan Cellyn berada di bawah tubuh kekar itu. Menerima semua luapan gairah dari si pria panas. Sungguh, demi apa pun, Cellyn akan pasrah jika saat itu tiba.
“Cellyn, kamu tahu hukumnya saat seseorang membuat video tanpa seizin objeknya?” tanya Arslan, langsung mengambil posisi duduk menghadap jendela lebarnya. “Setidaknya matikan flash HP kamu itu. Saya risi.”
“Eh?” Cellyn segera mematikan video kemudian mengecek ke belakang ponselnya. Dan yah, cahayanya menyala. Ia mendadak canggung, dan memasukkan ponsel kembali ke saku celananya bagian depan. Cellyn menunggu kemarahan lanjutan dari si pria panas, tetapi tidak ada. Perempuan itu seakan punya sinyal bahwa Arslan membiarkannya memuji tubuhnya.
“Tugas kamu selesai?” tanya Arslan. Ia kembali melanjutkan kegiatannya dengan posisi Side plank menghadap langsung ke arah Cellyn.
Perempuan itu beku di tempat.
“S-sebentar, Pak,” jawabnya gugup. Tidak bisa dihitung berapa kali ia meneguk ludah. Tangan Cellyn tambah gemetar saat mengecek ponsel. Pikirannya semakin menjadi-jadi sehingga perempuan itu berulang kali menggeleng kasar untuk menghilangkan pikiran kotornya.
“Sekalian, tolong belikan minuman botolan yang dingin, ya. Saya butuh tambahan energi setelah olahraga nanti,” pinta Arslan.
“Iya, Pak.”
Cellyn sungguh tidak mau beranjak sedikitpun. Namun, ia menyadari, sikapnya sudah kelewat berantakan untuk tetap satu ruangan bersama Arslan. Maka, ia pergi. Keluar dari kamar. Bukan untuk memenuhi perintah kedua Arslan, melainkan berpindah ke kamar sebelah, tempatnya. Menutup pintu dengan rapat, sembari menekan d**a kiri dengan tangan kanan untuk mengurangi detakan keras dari jantungnya. Namun, tidak bisa.
Cellyn menuju koper besarnya, membuka dengan cepat lalu membongkar isinya hingga menemukan pakaian yang seharusnya tidak dibawa ke sini.
Lingerie merah menyala ini sepertinya harus dipakai nanti malam, dan Cellyn merasa bangga pada dirinya sendiri yang kepikiran membawa benda laknat ini untuk menemaninya bersama si pria panas.
***