B A B • 9

1092 Kata
Seperti sore kemarin, Arslan berbelok menuju dapur sebelum naik ke atas. Menyantap masakan buatan Alisha. Seharian ini, ia tetap menjalankan aturan yang perempuan ajaib itu buat. Toh, jika melanggar, kerugian malah akan berimbas ke Arslan sendiri. Beruntung, Arslan bisa mengendalikan diri sekarang. Setengah piring cukup untuk menggantikan energinya setelah pekerjaan berat setengah hari tadi. Ia hanya perlu mendorong piring ke depan, lalu berdiri dengan menenteng tas kerja menuju kamar. Seperti biasa. Bagaimana pun buruknya keadaan kamar saat ia tinggalkan pagi ini, pasti akan selalu rapi ketika Arslan pulang. Perempuan itu selalu memenuhi tugasnya sebagai istri, meski Arslan tidak akan pernah memenuhi kewajibannya sebagai suami. Ia melepaskan jas kerja dari tubuhnya untuk disampirkan ke lengan kiri. Simpul dasinya ditarik sehingga memberikan kesan longgar yang nyaman. Lalu, dua kancing dari atas kemeja putihnya juga dilepaskan. Mata Arslan tiba-tiba memicing ke arah laci meja. Rasa penasaran memancingnya untuk berjalan ke arah sana, lalu menarik laci untuk terbuka. Sebungkus rokok di sana masih dengan jumlah sama seperti kemarin malam Arslan tinggalkan. Cukup takjub, karena Alisha sangat memegang ucapannya, dan terlalu patuh pada aturan. Ia segera menutup laci dengan kasar. Peduli apa juga ia pada sifat dan karakter perempuan ajaib itu? Arslan melenggang masuk kamar mandi, melepaskan setiap kain yang membalutnya seharian ini. Membersihkan tubuhnya dengan santai, berpakaian, lalu duduk nyaman di kursi kerja dengan kedua kaki di atas meja. Ia mengulurkan tangan hendak membuka laci, mengeluarkan rokok, tetapi tangannya malah belok ke arah tas kerja. Mengambil iPad dari dalam sana, menarik jari di atas layar hingga terpampang data diri Alisha yang fotonya ditutupi dengan coretan hijau. “Alisha?” Arslan memanggil, ingin memastikan perempuan itu benar ada di kamar sebelah atau ke balkon—seperti saat Arslan datang ke sana. “Kenapa?” Perempuan ajaib itu ada di kamar sebelah. “Kamu nggak pernah jatuh cinta sama orang, ya?” tanya Arslan, dan secara otomatis langsung menoleh ke arah tembok pemisah mereka. “Hm? Kenapa nanya itu?” “Kamu nggak punya mantan di sini.” Arslan mendengkus dengan nada mengejek. “Aku dong, mantan aku sampai nggak kehitung saking banyaknya.” “Iya, mantan kamu banyak banget sampai bikin aku pusing baca nama-nama mereka,” jawab Alisha. “Tapi aku pikir itu bukan prestasi, deh. Kamu bangga?” “Ya jelas. Berarti ketampanan aku diakui oleh seluruh wanita. Kamu juga, kan?” Arslan meletakkan iPad di atas meja, kemudian merenggangkan punggungnya di sandaran kursi. “Bullshit kalau kamu terima aku cuman karena alasan perjodohan orang tua kita. Aku juga, jujur aja sih, nggak memberikan keuntungan secara finansial atau apa pun ke kamu, kecuali wajah yang terlalu sempurna.” “Aku bahkan nggak niat liat muka kamu, Arslan.” Sial! Arslan menatap malas ke arah tembok. Percaya dirinya terjun bebas hingga ke dasar. Perempuan ajaib ini ... kenapa terlalu jujur? “Kalau seandainya aku segila itu sama muka kamu, pastinya aku bakalan pengen liat kamu terus, bakalan usaha buat ngintipin kamu terus. Tapi enggak, sih, aku tetap mau nunggu kamu nerima apa pun penampilan aku sekarang, baru kita bisa tatap muka. Aku juga lebih nyaman dengan interaksi kita sekarang,” lanjut perempuan itu. “Padahal, jawaban untuk masalah kita ini sepele loh, Lis. Kamu tinggal lepasin aja cadar kamu itu pas ketemu aku, udah. Sorry aja, trauma aku ini nyaris mustahil buat sembuh.” Dan setiap kali Arslan membahas masa lalunya, pria itu langsung menarik napas panjang. "Kalau kayak gitu prinsip kamu ... kamu mungkin bakalan perawan seumur hidup. Kamu seriusan nggak mau aku icip gitu? “Lis?” Perempuan di sebelah malah tertarik dengan panggilan baru Arslan padanya, kemudian terkekeh ringan, menyebabkan Arslan membeku di tempat. “Manis sih nama panggilan kamu itu.” “Kamu keluar dari topik.” “Sebagai manusia dengan puluhan mantan, aku mau tanya sama kamu, Ars, kamu tahu apa itu cinta?” “Pertanyaan kamu kelewat klisé, Alisha. Cinta? Aku nggak butuh itu buat pacarin 27 orang.” “Pantesan sampe 27 orang.” “Yoi. Malahan itu belum semuanya.” “Bangga banget, ya?” tanya Alisha, dan kekehan sarkas perempuan itu mengalun, memberikan efek peringatan untuk Arslan. “Aku mau jujur, Arslan. Aku belum nerima kamu sepenuhnya.” Arslan bungkam. “Sama kayak kamu yang nggak nerima penampilan aku, pun aku juga belum nerima karakter-karakter kamu yang terlalu ... playboy ini. Jadi, biarin aja kita kayak gini, sampai masing-masing kita saling nerima,” lanjut Alisha. "Jujur lagi, aku bahkan nggak nemu satupun alasan yang buat aku ... harus cinta sama kamu, selain karena status suami-istri antara kita." Arslan mendengkus. Ia mengambil sebatang rokoknya, membakar sebentar, kemudian berpindah ke tempat tidur. Duduk bersandar dengan kepala setengah menengadah. “Seriusan kamu nerima pernikahan ini karena orang tua kita? Naif banget kamu,” ujar Arslan. “Yaps. Seperti yang aku bilang di awal. Kamu nggak suka simbiosis mutualisme kita?” Arslan diam lagi. Tidak membantah, karena di sini, dialah yang paling butuh Alisha. “Omong-omong, Om Ridwan cerita sama aku tentang kamu yang terlalu keras kepala—” “Tapi yang aku sampaikan benar, kan?” Arslan memotong semena-mena. Untuk topik serius ini, ia sampai harus menegakkan punggung dan menghadap ke arah dinding. “Aku jamin, dalam kurung waktu dua tahun, perusahaan kamu bakalan go internasional.” “Tapi perusahaan aku emang mulai go internasional.” “Maksud aku, lebih terkenal lagi,” ralat Arslan. “Dalam kurung waktu dua tahun?” tanya Alisha, kurang yakin. “Iyaps. Dua tahun.” “Tapi hanya dengan bantuan Om Ridwan, aku cuman perlu satu tahun tiga bulan buat nembus pasar dunia. Tawaran kamu kurang menarik, Arslan.” Arslan belum mau menerima. “Tapi omset keuntungan kamu bisa naik hingga 3 kali lipat.” “Kita kemungkinan bakalan kehilangan setidaknya 30% konsumen setia kita, Arslan, kalau kamu naikin harga langsung melejit begitu. Ah, bahkan bisa sampai 50%. Harga yang kamu tawarkan itu terlalu tinggi.” “Tapi keuntungan—” “Nggak ada keuntungan kalau nggak ada pembeli.” “Aku tahu, tapi kualitas produk Bumantara udah top dunia, Lis.” “Iyaps, karena dua ciri khasnya. Kualitas dan harga yang seimbang. Saat Bumantara kehilangan salah satunya, maka ia akan cacat. Dan pembeli tidak suka barang cacat.” Arslan masih ingin mengelak, tapi perempuan di sebelah lebih dahulu menyahut. “Ini satu-satunya jalan yang Tuhan berikan ke kamu supaya tetap kaya, Arslan. Kalau kamu sia-siakan kesempatan ini, ya aku nggak bisa apa-apa lagi. Jadi, mari kita berteman, bekerja sama buat bisnis ini semakin terbang tinggi, supaya kamu tetap jadi miliarder.” Arslan menarik napas panjang untuk mengurangi kesesakannya. “Kamu benar.” ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN