B A B • 11

1134 Kata
Arslan menikmati pukul 7 malamnya dengan berendam di bathtub, dengan sebelah tangannya memegang ponsel, menelepon Alisha. “Tumben si Ridwan nggak ngeluh tentang aku, padahal aku sengaja berangkat duluan supaya dia marah,” ujar Arslan. Ia meminum soda dalam kaleng ketika giliran si perempuan ajaib untuk berbicara. “Om Ridwan nggak sekanak-kanak itu, Arslan. Kenapa malah kamu yang lebih sering berpikiran negatif tentang Om Ridwan?” “Ya emang gitu kenyataannya. Dia selalu aja ikut campur urusan aku, nentang keputusan aku. Siapa pun di posisi aku, pasti bakalan nggak suka juga sama si tua itu.” “Tapi aku suka Om Ridwan.” Arslan nyaris memuntahkan soda yang sudah masuk ke lambungnya setelah mendengar ucapan Alisha. “Kayak ayah sendiri,” lanjut Alisha. “Suka kamu itu absurd banget. Kirain apa tadi.” Arslan meletakkan botol soda di pinggiran bathub. Ia menyandarkan kepala dengan nyaman. “Kamu cemburu aku bilang suka sama Om Ridwan?” “Ngasal kamu. Aku nggak pernah tertarik sedikitpun sama kamu.” “Bagus, karena aku juga gitu.” Perempuan ini .... “Kamu udah makan malam?” tanya Alisha. Untuk sesaat, Arslan diam berpikir. Setengah jam lalu sebelum mandi, ia meminta Cellyn untuk memesan makanan. Sebenarnya bisa sendiri, tetapi jika ada orang lain yang bisa direpotkan, kenapa tidak? “Bentar lagi,” jawab Arslan. “Okey.” Arslan mendengkus ringan karena merasakan sinyal-sinyal pemutusan sambungan telepon. Percakapan boring ini seharusnya tidak selesai begitu saja, tetapi keinginan Arslan sama sekali tidak terpenuhi kala salam dari Alisha terdengar. “Assalamu‘alaikum.” “Wa‘alaikumussalam.” Arslan perlahan menjauhkan ponsel dari telinga. Kemudian meletakkannya di pinggiran bathub sebelum berdiri. Membasuh tubuh di bawah shower sebentar, memakai handuk, lalu keluar. Ia tertegun di ambang pintu kamar mandi ketika pandangannya bertabrakan dengan perempuan yang duduk di atas tempat tidurnya. Arslan melirik ke arah nakas. Makan malamnya sudah tersedia di sana. “Kamu boleh pergi.” Arslan menghampiri koper, membukanya dan langsung menarik kaus putih tipis serta celana pendek selutut dari dalamnya. Ketika berdiri lagi, ia melirik malas ke arah Cellyn yang belum berpindah tempat. “Saya boleh makan malam di sini juga, Pak?” Arslan menaikkan sebelah alisnya saat sibuk memperhatikan pergerakan Cellyn. Makanan dari nakas dipindahkan ke atas meja depan sofa. “Kamu nggak mampu beli makanan? Saya belikan. Jangan seperti orang miskin, Cellyn. Bosmu ini kaya.” “Bukan, Pak,” bantah si sekretaris. “Saya pesannya dua makanan, kok. Tapi nggak biasa makan sendiri.” “Alasan yang bagus,” ujar Arslan setengah peduli. “Tapi perlu kamu tahu, saya sudah kenyang makan alasan seperti itu dari semua wanita yang ingin tidur dengan saya.” Cellyn gugup di tempat. Memilin ujung tali kimononya. “Pulang!” pinta Arslan. Arslan berbalik, hendak masuk kamar mandi lagi. Detik-detik tersebut dimanfaatkan Cellyn untuk berpikir keras. Ah, toh sudah ketahuan? Kenapa harus sembunyi-sembunyi lagi? Maka, perempuan itu berdiri. Sekali tarik, bagian depan tubuhnya sudah terpampang. Hanya dibalut kain tipis tanpa dalaman berwarna merah menyala. Ia mendekat di belakang Arslan, lalu memeluk dari belakang. Dingin tubuh pria itu seketika bersinggungan dengan dadanya yang hangat. “Ah, serius, Cellyn?” Arslan mendengkus kesal. Cellyn diam menunggu reaksi lanjutan dari si bos. Arslan berbalik, memindai tubuh sekretarisnya dari atas turun ke bawah tanpa minat. “I don't see something special about your body. Kamu tahu berapa banyak perempuan yang melakukan hal ini kepada saya?” Arslan merendahkan wajahnya hingga hanya tersisa 4 senti dari wajah Cellyn. “Puluhan,” bisiknya, “dan kamu tahu apa tanggapan saya atas sikap kamu ini? Murah.” Arslan mundur selangkah, mengamati tubuh membeku di depannya tanpa empati. Ia membiarkan waktunya selama beberapa menit terbuang begitu saja karena tahu, si perempuan yang sudah tercabik harga dirinya itu akan langsung pergi dari kamar Arslan, bahkan mungkin dari hidupnya. Dugaan Arslan tidak meleset sama sekali. Cellyn mengikat kimononya secara asal sembari berbalik. Entakan sepatu hak tingginya di lantai terdengar nyaring. Bahkan pintu pun tidak lolos dari amukannya. Selepas perempuan itu hilang dari pandangan, Arslan mengacak rambutnya dengan asal. Sudah berapa hari sejak terakhir kali ia melakukannya? Belum seminggu, tapi sebagai pria petualang, hidupnya serasa sepi. Arslan melirik ke arah jari manisnya yang tersemat cincin perak. Padahal tidak ada Alisha di sini. Seharusnya gampang untuk Arslan membanting sekretarisnya di ranjang. Namun, entahlah. Arslan bingung dengan sikapnya barusan. Ia mengamati cincinnya dengan pandangan sinis. “Ini karena kamu, Perempuan Ajaib.” *** Cellyn tidak muncul pagi ini, seperti perkiraan Arslan semalam. Sekretarisnya mungkin benar-benar pergi dari sekitaran Arslan selamanya. Pria itu bukannya tidak sadar bahwa perkataannya terbilang sangat kasar. Namun, tidak ada yang bisa menolak perempuan seperti keadaan Cellyn semalam kecuali mengoyak harga dirinya. Pengecualian lain jika perempuan itu sudah tidak punya harga diri lagi. Arslan pemanasan sebentar di kamar, kemudian mengecek ponsel, memeriksa pesan dari Cellyn sore kemarin mengenai tugasnya mencari tempat gym terdekat. Arslan meneliti setiap daftar tempat, lalu memilih salah satu. Arslan hanya membawa dompet dan ponsel di masing-masing saku celana pendeknya. Kemudian keluar kamar. Terdiam di depan pintu saat perempuan dari kamar sebelah juga keluar. “Pak Arslan sudah mau berangkat?” Arslan memiringkan kepalanya sedikit untuk mengulik sifat Cellyn pagi ini. “Iya,” jawabnya. “Baik, Pak.” “Kamu tidak perlu ikut. Saya tidak butuh kamu di sana.” “Tidak ada yang tahu, Pak. Saya hanya menjalankan pekerjaan sebagai sekretaris.” Well, mengizinkan tidak akan merugikan, dan berdebat hanya membuang waktu. Jadi Arslan hanya memberi isyarat dengan gerakan kepala agar Cellyn mengikutinya. “Loh, Pak. Di hotel kan juga ada tempat gym,” keluh Cellyn setelah mereka berada di depan gedung hotel. “Saya datang ke sini lebih awal untuk liburan, Cellyn, bukan mengurung diri di hotel. Kalau kamu tidak mau ikut, terserah.” Namun, Cellyn berlari pelan mengikuti si bos yang memilih berlari pelan di pinggiran jalan raya. “Bapak pilih tempat yang mana?” “Bukan urusan kamu.” Cellyn diam sampai mereka tiba di sebuah gedung yang dituju Arslan setelah perjalanan 2 kilometer jauhnya. Arslan sama sekali tidak mau peduli dengan Cellyn. Mengurus dirinya sendiri, dan langsung memilih Lat pulldown machine. Sementara perempuan itu menjadikan treadmill sebagai olahraga pertamanya di sini. Arslan tidak bisa menutup mata meski ingin tidak peduli. Namun, Cellyn terlalu mencolok mengundang perhatian pria lain. Dia tidak bisa abai lagi. Maka, Arslan berdiri, menuju ke arah Cellyn dan menarik perempuan itu agar mengambil kegiatan yang sama dengannya. “Saya nggak bisa yang berat-berat, Pak,” keluh Cellyn, tetapi Arslan tidak mau peduli. Pria itu menatap sinis Cellyn hingga membungkam protes dan berontakannya. “Kamu tidak lihat perhatian mereka terlalu mencolok ke arah kamu?” bisik Arslan. “Jangan banyak protes! Kalau nggak bisa olahraga, diam saja!” Lihatlah pahlawan kesiangan ini. Cellyn terkikik di tempatnya duduk lesehan melihat ekspresi cemburu si bos tadi. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN