B A B • 12

1196 Kata
Tekanan pada bolpoin dari telapak tangan Arslan nyaris mematahkan benda tebal itu. Arslan diam dengan tatapan nyalang ke arah meja kaca, sembari mendengarkan kalimat-kalimat dari pria berusia 40 tahun yang berdiri di tengah ruang rapat. “Bukannya saya tidak tahu, Pak Arslan ini pernah membuat Artanic berada di ambang kebangkrutan jika tidak ditopang langsung oleh sepupunya, Pak Ghera Alvian, yang sekarang juga bekerja sama dengan kami. Kami tidak bisa menjalin kerja sama dengan pria yang tidak bisa bekerja secara profesional. Apalagi ... apa ini, Pak Ridwan? Kenapa Anda sangat ceroboh menempatkannya sebagai direktur utama? Hanya karena dia suami dari pemilik Bumantara? Hah! Lelucon apa ini? Sebuah perusahaan maju sejenis Bumantara masih dengan yakinnya menempatkan pria seperti ini sebagai pemimpin? Apa Anda sudah tidak sanggup mengelola Bumantara lagi?” Arslan melirik singkat pada pria yang baru saja menyelesaikan pidatonya tersebut, kemudian melarikan pandangan ke arah Ridwan yang duduk di sebelah kanannya. Ridwan hendak berdiri, tetapi Arslan langsung menahan dengan isyarat tangan. Ia mengambil alih berdiri, memperbaiki setelah jasnya dengan sekali sentak. “Baik, Pak Hendru. Kami sangat menghormati keputusan Anda itu. Terima kasih sudah memberikan Bumantara setidaknya satu kesempatan untuk menjalin kerja sama dengan Callenstar. Mohon maaf jika masa lalu saya cukup mengganggu untuk masa depan perusahaan Pak Hendru. Tapi, akan saya buktikan sesegera mungkin, secepatnya, bahwa Bumantara bisa sukses dengan lebih cepat karena kegigihan pekerjanya bekerja, bukan karena banyaknya celotehnya.” Arslan menutup ucapannya dengan anggukan sekali, tetapi tidak ingin menunjukkan harga dirinya turun. Ia tetap mempertahankan kepalanya tegak menghadap depan. Hendru kembali berdiri, memberikan ucapan terima kasih basa-basi dengan raut masam yang tidak disembunyikan, kemudian menutup rapat menjelang siang ini. Arslan berjalan lebih dulu dengan langkahnya yang panjang nan lebar. Cellyn di belakang tidak bisa menyembunyikan kesulitannya berlari-lari mengejar, sementara Ridwan lebih santai bersama asistennya. “Hubungi Bu Alisha,” kata Ridwan. Cellyn mengerem mendadak saat bosnya tiba-tiba berbalik dengan cepat, menghampiri Ridwan dalam 6 langkah, kemudian berhenti di jarak setengah meter dari pria tua itu. “Jangan pernah melapor apa pun pada Alisha! Ini perintah dari bos kamu. Biar saya yang cerita sama dia! Kamu hanya bawahan di sini!” ucap Arslan tegas. Ia mengentakkan jasnya sekali, lalu berbalik dengan jalan yang lebih santai. Cellyn sedikit lega, setidaknya bisa mensejajarkan diri dengan Arslan. “Cellyn, booking tiket sekarang. Kita pulang hari ini!” pinta Arslan yang langsung diangguki oleh sekretarisnya. Mereka masuk dalam Toyota Alphard hitam yang sebelumnya disediakan Ridwan sebelum ke sini. Setelah pintu tertutup, Arslan langsung meninju kursi supir dengan kuat untuk melampiaskan amarah yang ia tahan sebelumnya. Bukan hanya sekali, dua kali, berkali-kali hingga buku tangannya memerah. “Pak?” Cellyn paling menunjukkan ketakutan di sini, sementara di depan, sang supir membeku di tempat sembari terus fokus pada jalanan. “DIAM KAMU!” bentak Arslan dengan nada paling tinggi, bahkan urat-urat lehernya jelas menonjol. “Ridwan sialan! Pasti dia yang sebar-sebar informasi tentang masa lalu saya. Sial!” Arslan menggeram kesal, kemudian meninju kursi lagi. Ia belum selesai dengan kekesalannya, bahkan tidak berkurang sedikit pun. Arslan butuh pelampiasan lain. *** Dengan jas tersampir di bahu karena tangannya sibuk menarik koper, Arslan memasuki rumah Alisha sembari menelepon Edy. Mengalihkan kemarahannya pada asisten pribadinya. “Edy, kamu kenapa tidak becus sekali bekerja? Kenapa masalah saya dan Artanic sampai tersebar ke luar? Saya pikir, masalahnya tidak sebesar itu, kan, sampai orang lain harus tahu? Kamu tahu? Saya kehilangan tangga kesuksesan gara-gara masalah sepele itu!” “Maaf, Pak. Tapi saya sudah berusaha sebaik mungkin untuk menutupi kasus Pak Arslan. Sumber informasinya bisa saja dari keluarga Pak Arslan.” Ah iya! Arslan menendang angin secara asal. Saat di pertigaan—sebutan khusus Arslan, pria itu berbelok ingin ke dapur. Namun, ia hanya mendapati kekosongan di atas meja. Uh, maklum saja, sekarang setengah 4 sore ketika pria itu mengecek jam di pergelangan tangan. Pria itu tampak enteng mengangkat kopernya saat menaiki tangga. “Saya tidak mau tahu, Edy. Hapus semua informasi tentang kebangkrutan Artanic yang disebabkan oleh saya. Saya tidak mau menghancurkan masa depan saya di sini hanya karena perusahaan tidak berguna itu!” pinta Arslan telak, enggan dibantah. “Baik, Pak!” Arslan tiba di tangga paling atas. Tidak langsung masuk ke kamarnya, ia berhenti sejenak karena melihat pintu kamar Alisha terbuka setengah. Perlahan, pria itu mematikan ponsel dan memasukkannya ke dalam saku celana. Jas di pundak juga diperbaiki posisinya. Pandangan dialihkan ke arah balkon. Mungkin si perempuan ajaib sedang di sana? Jujur, ada sedikit rasa ingin tahu dalam diri Arslan mengenai perempuan itu. Bagaimana bentuk wajahnya? Apakah mulus seperti Cellyn, atau malah mengandung banyak ke-buriq-an maka dari itu selalu ditutupi? Aih, apa yang Arslan pikirkan ini? Ia menggeleng kasar. Jika melanggar aturan Alisha, ia sendiri yang akan rugi. Ingatkan Arslan bahwa karena dirinya aturan aneh itu tercipta, pun saat salah satu aturan bermasalah, dirinya pun juga akan mengalami hal serupa. Arslan memantapkan langkah memasuki kamarnya. Seperti biasa. Selalu rapi. Arslan meletakkan koper dan jas di sudut tempat tidur. Perlahan membuka kancing kemejanya dari bawah ke atas sembari berjalan-jalan di sekitar kamarnya. Kemudian berdiri diam di belakang pintu yang masih tertempel aturan aneh si perempuan ajaib. Ia termenung. Mengabaikan kemejanya yang sudah terbuka di depan, pria itu menggaruk kepala yang sama sekali tidak gatal kemudian mengecek jam tangan. Sekarang setengah 4! Seharusnya ia pulang di atas jam 5 sesuai aturan yang tertulis. Arslan dihantui cemas yang terbilang ringan. Toh hanya perbedaan jam. Seharusnya tidak ada masalah besar. Ia akan diam di kamar sampai pukul 5 sore. Kan? “Eh, astagfirullah!” Arslan membeku di tempat saat suara jernih itu terdengar. Di belakang tubuhnya. Arslan nyaris berbalik jika perempuan itu tidak langsung memberi perintah. “Jangan balik!” “Oh, oke-oke!” kata Arslan. Bola matanya bergerak-gerak, menebak apa yang dilakukan perempuan itu di belakang sana. Sayangnya, Arslan tidak memiliki indra penglihatan di tengkuknya. “Bukannya pulangnya lusa, ya?” tanya Alisha agak tenang dibanding saat ia mengucap istighfar. Terdengar grasak-grusuk ringan, memancing penasaran Arslan. Ia ingin sedikit saja memeriksa Alisha, tetapi terhalang oleh peringatan istrinya, bahwa jika Arslan melanggar, dia sendiri yang akan mengundang traumanya lagi. “Aku mau pulang duluan. Kenapa nggak boleh?” balas Arslan. Lalu meneguk ludah kasar. Aroma manis yang ringan, tidak terlalu mencolok tercium hidung mancungnya. Alisha terdengar mendengkus. “Tetap menghadap pintu sebentar.” Suara langkahnya terdengar mendekat. “Menghadap ke samping!” Arslan patuh, ia menghadap ke kiri, matanya kemudian membulat lebar saat langsung disambut pemandangan manusia yang wajahnya ditutup jas hitam—bekas Arslan sendiri tadi. “Menghadap ke sana, Arslan!” Alisha mendorong pipi Arslan hingga pria itu berputar 180°. “K-kamu sendiri nggak bilang hadap ke arah mana!” “Peka dikit, Arslan! Aku mau keluar! Pastinya kamu harus membelakangi jalan keluar!” ujar Alisha. “Satu jam lagi aku siapin makanan. Kamu siap-siap. Tadi, aku udah tambahin beberapa pakaian ke ruang ganti kamu.” Arslan tercenung. Seandainya Alisha tahu kejadian tadi, apa perempuan itu tetap memberikannya pelayanan sebaik ini? “Alisha?” Pintu dibanting terdengar. Arslan mendengkus kesal. Lalu tersenyum. Manis. Aroma perempuan itu, meski hanya samar-samar, tetap tercium manis. Arslan menekan dadanya. Bingung, detakan keras ini disebabkan karena traumanya setelah melihat Alisha sedetik, atau karena aroma perempuan ajaib itu. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN