Alina dan Jeffrey

1996 Kata
“Ibunya Syam meninggal tiga tahun lalu karena kecelakaan. Tidak ada yang menginginkan itu terjadi, termasuk Syam yang waktu itu masih sangat kecil. Syam dan kedua orangtuanya sedang dalam perjalanan menuju restoran untuk merayakan ulang tahun Syam yang ke empat. Di tengah perjalanan Syam meminta dibelikan balon di seberang jalan. Ibunya akhirnya turun untuk membelikan. Entah siapa yang lengah, Ibunya Syam tertabrak truk besar. Dia meninggal di tempat kejadian. Tepat di depan Syam dan ayahnya. “Kejadian itu memukul Ayahnya Syam. Dia berpikir Syam adalah penyebab kematian istrinya, karena jika saja Syam tidak merengek minta balon, dia pikir istrinya pasti masih hidup sekarang. Sejak saat itu Syam dianggap asing oleh Ayahnya sendiri. Saya sudah mencoba memberi pengertian, bahwa maut sepenuhnya kuasa Tuhan. Tapi anak saya terus saja menganggap kenakalan Syam adalah penyebabnya. Saya tidak tahu harus bagaimana lagi sekarang. Saya sudah semakin tua dan saya tidak bisa tenang selama Syam harus berjuang untuk mendapat perhatian ayahnya. Di rumah Syam sangat pendiam. Dia lebih banyak menghabiskan waktunya di kamar sendirian, entah bermain playstation atau membaca komik. Syam sangat suka membaca komik. Makanya saya tidak menyangka di sekolah dia berbuat seperti yang dia akui barusan dan saya juga tidak tahu kalau Teddy sering diutus anak saya ke sini. “Bu Alia, saya sebenarnya sangat malu menceritakan semua itu. Dan saya harap Anda cukup bijak untuk tidak menceritakannya ke siapapun. Saya ingin meminta bantuan Anda, tolong bantu menguatkan Syam, sementara saya juga akan akan berusaha lebih keras untuk menyadarkan ayahnya. Saya percaya sama Anda, tolong bantu jaga cucu saya.” Sejak kecil hingga detik ini, Alia selalu mendengar ungkapan bahwa darah lebih kental dari air. Hubungan orangtua dan anak tidak akan semudah itu merenggang, untuk alasan apapun. Apalagi jika itu berhubungan dengan takdir—maut. Itulah yang membuat Alina tak langsung bisa mempercayai cerita Bu Widia karena memang … sulit dicerna akal sehatnya. Bagaimana bisa seorang anak disalahkan atas sesuatu yang bahkan belum dia mengerti? Bagaimana bisa seorang anak dituduh membunuh Ibu kandungnya sendiri? Bu Widia meninggalkan sekolah tanpa sempat menemui Syam. Alina berjanji akan membantu sebisanya. Alina melihat Syam sedang makan bekal makanannya sendirian di kantin sekolah. Alina mendekatinya, penasaran lantaran ia sering melihat Syam membawa bekal makanan dari rumah. Siapa yang menyiapkan semua itu untuknya? “Bawa bekal apa, Syam?” tanyanya seraya duduk di kursi di seberang bocah itu. Syam menatap Alia sesaat. “Nggak tahu.” Ada stiker sebuah industri ketering makanan sehat di penutup kotak bekal Syam, dan penasaran Alina sudah terjawab lewat itu. “Eyang kamu yang menyiapkan ini semua?” lanjut Alina. Meski bekal itu beli tapi menunya dihias lucu dan berisi menu yang disukai anak-anak, sebab setahu Alina, ketering tersebut hanya menyediakan menu makanan sehat. “Sepertinya Om Teddy karena kalau aku butuh apa-apa, aku selalu disuruh bilangnya ke Om Teddy.” “Disuruh? Sama Ayah kamu?” Syam hanya mengangguk. Senyum miris muncul di wajah Alina, ia masih tak menyangka, bahwa Hisyam murid nakalnya ternyata menyimpan duka yang barangkali orang dewasa saja tak sanggup memikulnya. “Makan yang banyak, biar kuat jahilin teman-teman,” ujar Alina sambil terkekeh. “Bu Al?” panggil Syam setelah sesaat terdiam. “Ya?” “Aku nggak mau nakal lagi.” Alya mengerutkan dahi. “Itu... Bagus. Tapi, kenapa tiba-tiba?” “Karena sebanyak apapun aku berbuat nakal dan Bu Al memanggil Ayah, Ayah nggak akan mau datang ke sekolah.” Alina tertegun mendengar penuturan Syam barusan. “Jadi kamu sengaja nakal di sekolah biar Ibu panggil ayah kamu?” “Jerry sama Edgar bilang kalah aku nggak punya Ayah karena Ayah nggak pernah ke sekolah seperti Ayah mereka,” jawab Syam pelan dengan kepala tertunduk sedih. Hati Alina mencelos, tidak seorang pun anak yang harus memiliki pemikiran seperti Syam. Alina tidak bisa tinggal diam, bagaimana pun caranya, ia harus menemui Ayah Syam. *** Alina mengeluarkan semua pakaian terbaiknya dari dalam lemari, lalu membentangkannya satu per satu di atas ranjang hanya agar memudahkannya memilih pakaian mana yang akan ia kenakan ke acara resepsi pernikahan teman SMA-nya. Temannya itu merupakan anak dari seorang pejabat, jadi bisa dibayangkan seperti apa pesta yang akan ia hadiri itu. Alina tentu saja tak mau mempermalukan dirinya sendiri dengan berpenampilan biasa saja. Terlebih dipastikan pesta itu juga akan menjadi reuni dadakan, sehingga Alina sengaja ‘membandrol’ dirinya dengan image wanita karir yang sukses dan mandiri. Kenapa harus? Karena Alina lajang. Benar, untuk seorang wanita yang setahun lagi menyentuh kepala tiga seperti Alina, kebanyakan orang akan menilai dari siapa suaminya, sudah berapa anaknya, tinggal rumah tipe berapa, tas merek apa yang dipakainya. Nyaris tidak ada yang bertanya apa ‘kamu bahagia’. “Kak, pinjam laptop, dong.” Killa, adiknya yang masih SMA membuka pintu tanpa mengetuk lebih dulu. Kebiasaan buruk yang sudah sangat dimaklumi Aline. “Ambil sana di atas meja,” jawab Alina tanpa mau bertanya balik kemana laptop Killa sehingga harus meminjam miliknya. “Mau ke kondangan?” tanya Killa memeluk laptop Alina. “Iya, nih. Bantuin milih baju, Dek. Kakak bingung mau pakai yang mana.” “Kak, percaya deh, yang pertama kali teman Kakak lihat bukan baju yang Kakak pakai. Tapi siapa yang Kakak gandeng.” Alina memutar bola mata, itu lagi-itu lagi. “Justru karena nggak ada yang Kakak gandeng, makanya Kakak harus menonjolkan penampilan sebagai pengalihan pertanyaan kok sendirian? Mana cowoknya. Ngerti?” Killa meringis kecil. “Oh, iya. Jomblo tua sih, ya gitu repotnya.” “Sialan.” Maki Alina. Meski jika itu Killa mengatakan di depan Ibu mereka, pasti Alina lah yang akan dijewer seperti anak kelas 6 SD ngompol di kasur. Setelah menertawakan kemalangan sang Kakak, Killa pergi dari kamar Alina. Dan Alina pun sudah memutuskan apa yang akan ia pakai. Sebuah dress di bawah lutut warna cream yang sangat cocok untuk kulit putih dan rambut hitamnya. Alina mencatok rambutnya, memberi gelombang di bagian bawah sehingga rambutnya terlihat mengembang dan cantik. Tak lupa riasan wajah yang tidak terlalu mencolok tapi juga tidak membuat wajahnya pucat. Alina terlihat sempurna. Setidaknya, itu yang ia lihat di cermin. Dengan menaiki taksi, Alina akhirnya tiba di hotel tempat acara. Dan Alina bersyukur karena tak salah memilih pakaian karena pesta ini persis seperti yang ia bayangkan. Ia juga melihat beberapa pejabat yang sering wara-wiri di tivi. “Al!” Seseorang menepuk bahunya dari belakang, Alina terkejut dan memaki orang yang tak lain adalah Jennie. Teman kuliah yang masih aktif berkomunikasi dengannya hingga saat ini. Jennie menertawakan wajah terkejut Alina. “Wow, tumben cantik,” komentarnya begitu melihat penampilan Alina. “Mau sekalian cari jodoh, ya,” lanjut Jennie meledek. “Sembarangan,” tampik Alina sambil memukul pelan Jennie. Sebagai sesama lajang, tak heran mereka masih nyambung berteman dan Alina tidak tersinggung dengan segala ledekan Jennie karena mereka senasib. Mereka memang biasa saling menista satu sama lain. “Kata tumben yang lo pakai, seolah-olah gue nggak pernah cantik.” “Salah sendiri kenapa nggak pernah dandan.” “Gue kalau nggak dandan juga cantik, kok. Kata Ibu, sih.” Alina membela diri. “Lagian, make up itu bukan topeng yang ngerubah wajah. Itu Cuma alat bantu buat memperbaiki bagian-bagian wajah yang kurang bagus.” Jennie tertawa geli. “Iya, iya, jomblo sensitif banget dah. Dikit-dikit baper.” Alina baru akan menyela, ketika Jennie mengangkat telunjuknya, menyuruh Alina diam. “Stop. Mending kita ngantri sekarang, sebelum terlalu panjang antreannya.” Alina tak membantah saat Jennie menyeretnya menuju buntut antrean tamu undangan yang ingin memberi selamat pada kedua mempelai pengantin di atas pelaminan. Hampir satu jam Alina berdiri hanya untyk bersalaman dengan pengantin serta mengucapkan basa basi selamat menempuh hidup baru yang hanya membutuhkan waktu tidak lebih dari semenit. Luar biasa. Maka jangan salahkan jika sekarang Alina makan seperti orang kerasukan. Namun Alina mendadak berubah jadi Putri Keraton saat dihampiri teman-teman kuliahnya. Mereka mengobrol saling menanyakan kabar dan kesibukan yang sekarang sedang dijalani. Mereka bergantian membanggakan pekerjaan masing-masing. Ada yang sudah jadi arsitek, dokter, bekerja untuk perusahaan asing. Dan entahlah Alya tak terlalu peduli. “Al, masih betah aja jadi guru? SD, kan?” Entah apa yang lucu dari pertanyaan itu, hingga terdengar suara kikikan tawa dari teman-temannya yang berdiri melingkar di dekat pilar dekorasi bunga. “Sharing ilmu nggak pernah ngebosenin. Kalau guru-guru pada bosen ngajar, terus yang ngajarin anak kalian siapa?” “Ya, kan guru gajinya kecil. Eh, berapa sih? Nyampe UMR, nggak?” “Yang honorer katanya cuma ratusan ribu,” sahut teman Alina yang lain dan Alina hanya bisa tersenyum. Sudah biasa. Di saat mereka berlagak memuliakan profesi guru, di saat yang sama pula mereka mencibir karena gaji kecil. “Lo kan pinter, Al, nggak mau apa kerja yang lain yang bisa bayar lo lebih?” “Eh eh kalian,” sela Jennie. “Alina ini ngajarnya di sekolah swasta elit, bisa jadi gajinya malah lebih banyak dari kalian pada b***k korporat. Ya nggak, Al?” “Ya cukup aja, sih, Jen. Sebanyak-banyaknya gaji guru, emang bisa seberapa banyak, sih?” Alina berusaha merendah. “Iya ya, Al. Asal cukup kalau mau repurchase lipstik Dior, cukup kalau parfume Channel habis, cukup—“ Ucapan Jennie terhenti karena Aline mencubit pinggangnya dari belakang. Ia tak mau kelihatan norak dengan membesar-besarkan penghasilan. Tiga teman Aline pun hanya mesem kecut lantaran tanggapan Aline tidak sesuai harapan mereka. Mereka bertiga lanjut membicarakan pekerjaan mereka dan penghasilan mereka sendiri, membuat Jennie bergantian jadi mesem kecut. “Eh, kayak kenal cowok itu, deh,” celetuk Jennie memandang ke satu arah dengan mata menyipit, berusaha mengenali objek yang dilihatnya. Tepatnya, pada seorang pria bersetelan jas hitam yang tengah berdiri dengan tangan kiri memegang gelas champange, sementara tangan satunya diselipkan di saku celana. Praktis, semua mata ikut menoleh ke arah sana. “Iya, siapa ya dia, kayak nggak asing wajahnya.” “Teman SMA kita, bukan?” “Dia mirip cowoknya Alina. Siapa tapi namanya?” “Yang tiba-tiba pindah di pertengahan kelas dua?” “Siapa sih namanya, lupa gue.” Alina yang semula tidak terlalu peduli pun jadi ikut menajamkan pengelihatan. Hingga sesaat kemudian, Alina melebarkan mata setelah dapat mengenali pria itu siapa. Dia memang teman pindah di pertengahan semester kelas dua, dia yang mereka bilang sebagai pacarnya sewaktu SMA. “Jeffrey …,” gumam Alina yang sebenarnya ditujukan untuk diri sendiri. “Ah, iya Jeffrey!” Jennie menjentikkan jari baru ingat. “Jeffrey Tama Gunasatya.” Alina bergumam lagi, agak tak percaya ia masih ingat nama lengkap lelaki itu di saat teman-temannya bahkan sulit mengenali wajahnya. “Coba gue tes.” Sedetik kemudian Jennie mengangkat tangannya tinggi-tinggi dan menyerukan nama Jeffrey dengan cukup lantang, tanpa sempat Alina cegah. Lelaki itu seketika menoleh, semua orang tersenyum dalam penasaran. Jika yang lain penasaran mereka salah orang atau tidak, Alina sendiri penasaran masih kan Jeffrey mengingatnya seperti halnya Alina mengingat dirinya? Jeffrey seperti menajamkan pengelihatan, sebelum kemudian mengembangkan senyuman lalu berjalan ke arah mereka. Helaan nafas lega terdengar. Kecuali Alina, tentunya. “Hi, udah lama bangat, ya? Kemana aja lo?” sambut Jennie sok akrab yang dibalas dengan kekehan tawa oleh Jeffrey. “Jennita, kan?” “Yup, Jennie.” Jeffrey tertawa lagi lalu lanjut menyalami tangan mereka satu per satu. Menyebutkan nama mereka meski masih tampak harus mengingat-ingat. Maklum saja ini sudah lebih dari sepuluh tahun berlalu. Sampai terakhir orang yang Jeffrey sodori tangan untuk diajak bersalaman adalah Alina. “Hi, and you must be Alina,” sebut Jeffrey dengan nada yakin. Dalam diamnya, Alina berusaha menetralkan detak jantung. Bagaimana bisa senyuman Jeffrey bisa membuat pelipisnya mengeluarkan keringat dingin. Bukan, senyum yang dilihatnya ini bukan senyum cengengesan tengil milik Jeffrey teman masa remaja lelaki itu. Di hadapannya ini adalah pria dewasa yang senyumnya sungguh berwibawa. Aline mengerejapkan mata ketika merasakan Jennie menyenggol lengannya, buru-buru Alina membalas jabatan tangan Jeffrey. “Iya, Alina.” “Lo kayaknya masih ingat banget sama Alina, Jeff.” Sambil menatap Alina, Jeffrey menjawab. “Tentu saja.” “Ih, akward banget ketemu sama mantan pacar,” goda Jennie melirik Alina dan Jeffrey bergantian. “Apaan sih, Jen.” Jeffrey tertawa pelan. “Pacar-pacaran, ya, kan, Al?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN