Lelaki Beristri

1102 Kata
Sepintas tidak ada yang berubah dari Jeffrey. Maksud Alina, dari fisiknya kecuali postur tubuhnya yang lebih tegap serta badannya tampak berisi dan liat hasil olahraga. Dalam balutan setelan jas itu, Jeffrey tampak berwibawa dan intimidatif. Satu yang masih sama adalah garis senyumnya. Jeffrey memiliki senyum yang manis, setiap kali dia tersenyum di bawah matanya akan muncul kantung hingga membuat matanya makin menyipit. Dan, perubahan lain yang paling kentara adalah ada cincin di jari manisnya. “Istri nggak ikut, Jeff?” tanya Alina. “Huh?” Jeffrey berdengung dengan kedua alis terangkat, seolah tak mengerti maksud Alina. Alina lalu menunjuk cincin yang melingkari jari manis Jeffrey sebelah kanan. “Itu, nggak datang bareng istri? Kamu kayaknya sudah menikah.” “Oh,” gumam Jeffrey mengerti. Alina menunggu respon lainnya tapi Jeffrey tak kunjung mengatakan apa-apa, sehingga Alina pun juga tidak tanya apa-apa. Mungkin saja Jeffrey sedang ada masalah dengan istrinya sehingga dia enggan membahasnya. Alina pun memilih diam dan mengembalikan perhatian ke arah home band di mana Jennie sedang menyumbangkan suaranya di sana, temannya itu bernyanyi lagu Celine Dion dengan penuh percaya diri walau suaranya fals di sana sini. “Kamu sendiri, nggak datang sama pasangan?” Alina mengerejap lantaran Jeffrey tiba-tiba bertanya. Alina lantas menunjukkan kesepuluh jari tangannya yang bersih. “Jomlo,” jawabnya sambil menyengir, seolah hal tersebut sesuatu yang membanggakan di saat kebanyakan orang di usia Alina menganggap itu sebagai aib. Perempuan tidak laku. “Kok bisa?” Alina mengerutkan kening, tak mengerti maksud pertanyaan Jeffrey. “Apanya yang kok bisa? Kamu ini sedang mau melucu atau sebenarnya mau ngejek aku, sih?” balas Alina berlagak tersinggung. Jeffrey tertawa kecil. “Agak nggak masuk akal perempuan … cantik kayak kamu belum ada yang punya.” Alina membuang muka sambil mendecakkan lidah malas. “Terima kasih pujiannya, itu cukup menghibur.” “Aku serius, Al.” Jeffrey tertawa lagi dan sukses membuat Alina tertegun seperkian detik, ternyata tawa lelaki itu juga masih sama seperti saat dulu mereka sering bercanda bersama. “Seandainya jodoh itu perkara cantik nggak cantik, Jeff,” keluh Alina sembari mengembuskan napas panjang. “Jangan-jangan kamu milih pasangan juga tergantung cantik dan nggak cantik lagi.” “Emang,” aku Jeffrey terus terang. Alina merespon dengan melotot dramatis. “Aku nggak nyangka ternyata kamu kayak gitu ya orangnya.” “Kalau enggak aku nggak mungkin nembak kamu dulu, kan,” jawab Jeffrey santai sambil tertawa. Astaga apa-apaan ini? Alina membatin, padahal Jeffrey mungkin tidak ada maksud lain dari perkataannya, hanya bercanda mengenang masa lalu saja. Tapi bisa-bisanya Alina merasa pipinya menghangat. Alina berdeham lalu berkata, “perasaan, aku dulu nggak secantik itu, deh.” “Kamu dulu cantik, Al.” “Iya, dulu aku cantik banget.” Alina geleng-geleng kepala, menganggap pujian Jeffrey barusan sebagai sarkasme semata. Demi Tuhan, Alina bahkan malu melihat foto-foto zaman sekolahnya. Dulu ia masih memakai kawat gigi, rambutnya diponi miring belah pinggir, dengan jam tangan kesayangan besar warna ungu, serta wajah yang dekil karena belum kenal skincare. “Sekarang juga cantik,” ucap Jeffrey lagi, membuat Alina menoleh padanya. “Masih cantik,” tambah Jeffrey disertai senyuman tipis. Alina menelan ludah gugup. Jeffrey sialan! Bagaimana bisa dia mudah sekali memuji seorang perempuan, lebih spesifik lagi, dia adalah jomlo nyaris desperate. Tidak tahu kan dia bahwa perempuan seperti itu mudah sekali dibuat tersipu? Lebih sialnya lagi tentu saja kenyataan kalau Jeffrey sudah punya istri. Sehingga kalau bukan karena humor Jeffrey yang garing, ya Jeffrey orang pria genit. Dua jenis lelaki yang tidak bisa Alina seriusi. Ia ilfil dengan lelaki yang semudah itu mencandai fisik perempuan, pria beristri tapi menggoda perempuan apalagi, itu lebih menjijikkan. Alina lalu membuang muka. “Ah, tapi istrimu pasti lebih cantik. Buktinya, kamu menikahi dia.” Alina sengaja menekankan kata ‘istri’, secara tak langsung ingin mengingatkan bahwa Jeffrey adalah pria beristri. “Iya … dia memang cantik sekali,” gumam Jeffrey, disambung dengan meminum champange-nya dan senyum yang hilang dari wajahnya. Perubahan mimik wajah Jeffrey tersebut membuat Alina merasa yakin bahwa dugaannya benar, bahwa Jeffrey dan istrinya sedang bertengkar. Akan aneh rasanya jika Alina sok tahu bertanya, mereka tidak sedekat itu, dan bahkan baru bertemu sekitar sejam lalu setelah lebih dari 10 tahun tidak pernah bertemu. Apapun itu, Alina harap Jeffrey dan istrinya baik-baik saja. Konon tidak ada hubungan rumah tangga yang adem ayem, itu sesuatu yang wajar. Sejujurnya, menyenangkan bisa bertemu lagi dengan Jeffrey. Mendadak atmosfer di sekitar menjadi tak nyaman. Untung saja posisi mereka dekat dengan stall makanan dan Alina berniat untuk mengambil buah. “Mau buah, nggak?” tanya Alina demi sopan santun. Diiringi oleh suara Jennie yang sedang berbincang dengan tamu, benar-benar mirip biduan. Para tamu meneriaki minta Jennie bernyanyi sekali lagi. “Enggak, udah cukup,” jawab Jeffrey.” Alina membalas lagi dengan tersenyum dan memberi gestur bahwa dirinya ingin ke stall buah. Namun, ketika Alina baru beranjak hendak mengambilnya, suara Jennie tiba-tiba memanggilnya dari arah home band. Suaranya terdengar menggelegar memenuhi gedung karena dia menggunakan mikrofon. “Kali ini saya akan nyanyi bareng teman karaoke saya. Al, Alina?” Alina menoleh ke sekeliling dengan ngeri, semua orang ikut mencari-cari siapa yang dimaksud Jennie. “Nah itu dia,” seru Jennie, berhasil menemukan keberadaan Alina meski dari kejauhan. “Woy, Al, buruan!” Alina menggeleng-geleng tapi orang di sekitar malah mendorong-dorongnya untuk maju dan orang-orang bersorak menyemangati. Akan menyebalkan dan pasti mengecewakan kalau Alina tidak menuruti, lagipula tujuannya hanya untuk bersenang-senang. “Semua nungguin kamu, Al.” Jeffrey ikut-ikutan mendorong Alina. Alina mendecakkan lidah dan melirik Jeffrey. “Kalau kamu tanya kenapa aku masih jomlo, ya karena ini salah satunya,” ujarnya dengan mimik wajah nelangsa. Akhirnya, dengan berat hati Alina maju ke depan. Tidak perlu diragukan lagi, Jennie adalah orang yang baik yang selalu memastikan melibatkan Alina dalam segala hal yang dilakukannya. Termasuk dalam hal mempermalukan diri. “Nah, ini dia Bu Guru Alina yang cantik,” sambut Jennie, merangkul Alina. “Dia ini sobat karaoke saya sejak SMA. Dia bisa nyanyi dua jam penuh tanpa serak kalau lagi patah hati. Iya kan, Al?” “Itu lo, Jen,” jawab Alina saat Jennie menyodorkan mikrofon. Sikap malu-malu Aline langsung berubah begitu musik diputar, kedua perempuan itu berpenampilan elegan itu mendadak merasa menjadi biduan Pantura ketika sang pengantin request lagu dangdut. Jennie berjoget dengan heboh, pun dengan Alina yang tak keberatan membuat dirinya tampak konyol agar semua orang bersenang-senang di pesta resepsi yang membahagiakan ini. Meski saat musik berhenti nanti, Alina pasti malu sekali. Tanpa Alina tahu, Jeffrey menjadi salah satu orang dari para tamu yang sangat menikmati penampilannya itu. Senyum di bibirnya merekah sejak suara nyanyian Alina terdengar, hingga nyanyian Alina selesai.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN