bc

Anak Rahasia CEO

book_age18+
193
IKUTI
1K
BACA
friends to lovers
powerful
independent
CEO
drama
comedy
bxg
realistic earth
childhood crush
friends with benefits
like
intro-logo
Uraian

Pertemuannya kembali dengan sang sahabat lama di saat ia sedang patah hati, membuat Alina menemukan kembali gairah hidupnya dalam waktu singkat. Mereka dengan cepat dekat seolah rentang 9 tahun perpisahan tak lantas membuat mereka menjadi asing.

Jeffrey yang Alina kenal masih sama seperti dulu. Gaya bercandanya yang garing, pola pikirnya yang terkadang hanya dimengerti dirinya sendiri, sampai kebiasaannya tidak bisa tidur tanpa menyalakan TV.

Ya, Alina pikir tidak ada yang berubah dari Jeffrey, sampai ketika Alina tahu ternyata anak didiknya di sekolah ternyata adalah anak kandung Jeffrey.

chap-preview
Pratinjau gratis
Syam Anak Nakal
“Syam, jangan, kotor.” Meski sudah diperingatkan, bocah berseragam sekolah sekolah dasar swasta itu masih mengendap-endap mengambil ancang-ancang untuk menangkap katak di taman sekolah. Syam menghitung sendiri dalam hati sebelum menangkapnya menggunakan tangan kosong. “Yes! Dapat!” Pekiknya senang. Dengan tangan terkenal lumpur, ia berlarian menuju Morine yang berdiri di pinggiran taman. Didekati Syam dengan katak di tangan, sontak saja Morine berlari menjauhi. Gadis cilik bermata sipit khas keturunan Tiongkok itu merasa takut dan jijik. “Jangan lari, Selai, lihat ini.” “Nggak mau, Syam. Morine takut. Ih Syam, jangan kejar Morine lagi.” “Hahaha...” Syam tertawa, ia malah kegirangan lari-lari mengejar Morine. “Syam jangan!” teriak Morine dengan suara bergetar ingin menangis. Akhirnya Syam berhenti, bukan karena rasa kasihan, melainkan karena tubuhnya capek. Ini masih pagi dan sekolahnya masih sepi. Sekarang Syam sedang berpikir harus menempatkan katak ini di mana karena ia masih ingin bermain-main dengan hewan ini saat jam istirahat nanti. “Selai, sini,” panggil Syam menggunakan panggilan khusus untuk Morine. Katanya nama Morine seperti nama selai yang selalu tersedia di meja makannya, dan jar selai selalu mengingatkannya pada Morine yang memang bertubuh padat. Pendek dan sintal. “Namaku Morine, Syam. Morine.” “Iya, tau. Sini cepetan.” “Nggak mau kalau kamu masih panggil aku Selai.” “Astaga. Iya, deh, Morine sini bentar.” Morine pun bergerak mendekati Syam sambil memeluk botol air minumnya yang berwarna merah muda. “Kenapa?” Morine berdiri di jarak aman. “Minta air, dong.” “Syam haus?” Dengan tulusnya Morine mengulurkan botol minumnya. Syam mengenggam katak itu di tangan kiri, ia menerima botol yang diulurkan Morine menggunakan tangan kanan. Menarihnya di bawah dan memutar penutupnya. “Syam, kan ada sedotannya.” “Nggak apa-apa,” jawab Syam setelah meminum air itu sedikit, setelah itu menuangkan sisanya ke tanah. Membuat Morine berteriak. “Lho kok dibuang?” Morine ternganga saat Syam memasukkan kataknya ke dalam botol air minumnya yang sekarang sudah kosong. Syam sengaja membuka penutup kecil di atas, memastikan kataknya mendapat udara. “Pijam botolnya, ya, besok aku balikin.” Syam lari sambil tertawa-tawa, meninggalkan Morine yang menjerit tak terima botol minumnya dijadikan tempat katak. *** Alina baru turun dari angkot di depan sekolah dasar tempatnya mengabdi sebagai seorang guru. Sekolah swasta yang menerima siapapun, asal sanggup membayar uang tiap bulannya yang selangit. Sehingga tak heran jika kebanyakan siswa yang bersekolah di sini adalah anak dari orang-orang berada. “Selamat pagi, Bu Alina.” Beberapa anak yang dilewatinya menyapa dengan wajah ceria. Senyum anak-anak adalah senyum tertulus dan tahan lama, asli tanpa pengawet bernama basa basi. “Selamat pagi,” Alina membalas sama cerianya. Melihat wajah segar anak-anak selalu membuatnya bahagia. “Eh, pagi-pagi kok udah jajan es krim?” Alina menghentikan langkah di depan seorang siswa kelas satu yang asyik menjilati es krim stroberi. “Tadi sudah sarapan, belum?” Bocah perempuan itu tersenyum lebar. “Sudah, Bu Guru.” Alina mengambil selembar tissue dari tasnya untuk membersihkan sudut bibir bocah itu yang belepotan. “Habisin es krimnya. Besok-besok jangan jajan es krim pagi-pagi, nanti perutnya sakit.” “Tapi sekarang perutnya nggak sakit, kok.” “Kalau keseringan nanti sakit,” jawab Alina penuh pengertian. Ia mengusap rambut muridnya itu, lalu beranjak menuji ruang guru. Sudah empat tahun Alia mengajar di sini sebagai Guru mata pelajaran Bahasa Indonesia. Pelajaran yang dianggap tak penting lantaran setiap harinya kita berbicara menggunakan Bahasa Indonesia. Sayangnya mereka tidak tahu, Bahasa Indonesia itu bukan sekedar alat komunikasi yang kita gunakan sehari-hari. Meski sudah empat tahun mempelajarinya di bangku perkuliahan, Alina masih merasa ilmunya kurang. Jika Mata pelajaran Bahasa Indonesia semudah itu, lantas mengapa saat ujian nasional nilai rata-ratanya selalu di bawah Matematika dan Bahasa Inggris? Menjadi guru sebenarnya bukan cita-citanya, ini murni keinginan Ibunya yang menginginkan anak perempuannya meneruskan pengabdiannya mencerdaskan anak bangsa. Entahlah, Alina hanya berusaha menjadi anak yang baik, disamping ia memang tak tahu ingin berkarir sebagai apa. Ketukan sepatu pantofel hitam berhak setinggi 5 cm yang dikenakannya menimbulkan bunyi ketukan setiap kali melangkah. Tiba-tiba saja langkahnya menjadi tak seimbang saat seorang siswa berlari dan menubruknya dari arah belakang. Alina memekik kaget, kontan saja tas dan buku-buku bawaannya terjatuh di lantai. “Hisyam!” Teriak Alina tertahan memanggil nama siswa itu. “Gawat Bu Ali, ada banteng lagi ngejar di belakang,” jawab Syam sembari berlari menjauhi Alina, tanpa menunjukkan sedikitpun rasa bersalah. Alia berdecak, ia berusaha berdiri. Beruntung diantara sekian ratus siswa di sekolah ini, yang seperti Syam hanya bisa dihitung dengan jari. Dua orang siswa peremuan membantu memunguti barang-barangnya. Alina mengucapkan terima kasih. Alina akan memulai langkah pertamanya, tepat ketika Pak Dadan, tukang kebun sekolah juga menubruknya dari arah yang sama seperti Syam. “Ada apa sih, ini?” pekik Alina tak tertahankan lagi, masih pagi tapi ia telah mendapat kesialan bertubi-tubi. Dengan napas tersenggal, Pak Dadan berhenti sejenak untuk membantu Alia berdiri. “Maaf, Bu Al, saya tadi ngejar Nak Syam.” “Bikin ulah apa lagi dia?” “Dia baru saja matahin sapu saya, Bu Al. Terus potongan gagangnya dipakai buat mainan kotoran kucing. Kan saya repot kalau nyapu mesti bungkuk,” jelas Pak Dadang. Alina memejamkan mata rapat-rapat. Demi Tuhan ini masih pagi, dan ia sudah diberi sarapan seperti ini. Hisyam Gigih Pramuda benar-benar butuh jeweran di telinga. “Pak Dadang lanjut kerja aja, biar saya yang urus Syam nya.” *** Alia masuk ke dalam kelas begitu bel masuk berbunyi. Kebetulan ia akan mengajar di kelas dua, dimana Syam duduk di sana. Saat Alia masuk, ia disambut dengan suara berisik khas anak-anak. Arah pandangannya pertma kali mencari-cari sosok bocah kurus berkulit putih bernama Hisyam. Bocah itu terlihat aneh dengan duduk manis melipat tangan di atas bangku. Bibirnya menyunggingkan senyuman yang sama anehnya seperti tingkahnya. Alina memicingkan mata, yakin Syam sedang menyembunyikan sesuatu entah apa “Selamat pagi, Ibu Guru,” sapa serentak anak-anak. Alina tersenyum, berusaha mengacuhkan kecurigaannya. Ia pasti akan menegur Syam nanti setelah kelas selesai. Di mejanya, Alia menaruh tas dan buku-buku sembari merendahkan tubuhnya untuk duduk di kursi. Namun ada yang aneh, bantalan kursi yang biasa didudukunya memberi sensasi empuk berbeda. Lebih kepada kenyal dan sedikit berlendir. Alina meraba-raba kursi dan ujung kemarinya merasakan telah menyentuh sesuatu. “Syam!!!” *** Alina sedang di papan tulis, melalui ekor matanya ia melihat Syam sesekali menurunkan tangannya atau memasang wajah bengis saat ditertawakan oleh teman-temannya yang duduk di bangku masing-masing. Sementara bocah itu sendiri dihukum berdiri di pojokan kelas sambil memegangi telinga akibat kejahilannya menaruh slime di kursi guru. Diam-diam Syam menurunkan tangannya, sayangkan Alina melihat itu. “Tanganmu, Syam.” Menghembuskan napas panjang, Syam pasrah mengangkat lagi tangannya. Tak seperti kebanyakan anak lain yang menunjukkan penyesalan saat ketahuan telah membuat kesalahan dan mendapat hukuman, Syam terlihat sangat santai. Seolah nakal adalah keahliannya dan hukuman adalah hadiah hiburannya. Alina menyuruh Syam kembali duduk duapuluh menit kemudian. Ia bukanlah tipe guru yang menggunakan fisik sebagai bahan didik. Lagipula, jalan sekarang sedikit cubitan bisa dianggap sebagai kekerasan. Orangtua siswa bisa membawanya ke kepolisian dan tamatlah riwayat Alina sebagai guru dan citra sekolah. Terlepas dari semua yang sudah dilakukan, Syam hanyalah anak kecil berumur delapan tahun. Dia masih punya banyak peluang berubah menjadi lebih baik. Dan inilah tugasnya sebagai seorang pendidik. Pada jam istirahat, Alina mengelilingi sekolah hanya untuk mencari Syam yang sudah ditemukan di manapun. Setelah bertanya pada teman-teman sekelas Syam yang ditemuinya, Alina akhirnya menemukan bocah itu di depan toilet perempuan. “Syam, toilet cowok di sebelah sana.” Syam tampak berjingkat terkejut, lalu cengar-cengir tapi malah terlihat imut. “Nyembunyiin apa kamu?” Alina melirik-lirik sesuatu yang disembunyikan Syam di balik punggungnya. “Nggak ada, Bu Ali.” Syam menglurkan tangan kirinya. “Satunya.” Syam memutar tangan kirinya ke belakang, lalu mengulurkan tangan kanannya. Alina menghela napas lelah. “Dua-duanya, Hisyam.” Syam nyengir lagi. Cengirannya terasa sangat familiar, mungkin karena hampir setiap hari Alina melihat Syam melakukannya, bisa juga karena Alia teringat-ingat teman masa kecilnya yang memiliki cengiran serupa. “Syam...” Panggil Alina sekali lagi, kali ini disertai tatapan tajam. “Hehehe... Yakin Bu Ali nggak bakal marah?” Syam cengengesan mengulur-ulur waktu. “Bu Al akan makin marah kalau kamu nggak buka tangan kamu.” “Bener, ya?” Alina memejamkan mata. “Syam... Jangan coba-coba ngajak Bu Al bercanda.” Dengan gerakan sangat pela, Syam mengeluarkan kedua tangannya yang saling terkepal dari balik punggungnya. Meluruskannnya di depan Alina, lalu perlahan-lahan merenggangkan jemarinya hingga terbuka. Belum sempat Alia menebak apa isinya, sesuatu loncat dari tangan Syam dan jatuh tepat di keningnya. Alina memekik sangat keras, sejuru kemudian terpeleset dan bokongnya sakit bukan main setelah berhantaman dengan lantai. Sambil berteriak Alia memukul-mukul wajahnya mengurus makhluk lunak menjijikkan itu hingga lompat lagi entah ke mana. “Oops,” Syam melebarkan mata, buru-buru ia mengejar kataknya. Kegaduhan yang ditimbulkan memancing penasaran, para siswa dan guru yang mendengar berbondong-bondong datang. Alina malu karena dirinya kini mirip pelawak di tivi-tivi. Semua orang menertawakannya. “Bu Al nggak papa, kan?” tanya Pak Burhan, rekan sesama guru muda di sini, dengan baik hati membantu Alina berdiri. “Makasih, Pak Burhan.” Saat kedua kakinya menapak lantai, ia baru mendari kalau hak sepatu kanannya patah. Alia mengumpat dalam hati. “Syam!” Alina memanggil Syam yang masih sibuk mencari kataknya di antara pot-pot bunga. “Hisyam!” Panggil Alina sekali lagi, kali ini lebih keras. Syam menggaruk-garuk kepala mendekati Alina meski tampak enggan. Tentu saja itu karen kataknya belum ditemukan. “Syam, Ibu nggak tahu mesti bilang apa lagi ke kamu. Kamu selalu mengulangi perbuatan-perbuatan yang sudah Ibu bilang jangan dilakukan lagi. Besok Bu Al mau kamu datang bersama orangtua kamu. Bilang sama ayahmu, Bu Al kali ini nggak mau dia diwakilkan sekretarisnya. Kamu mengerti?”

editor-pick
Dreame-Pilihan editor

bc

The CEO's Little Wife

read
653.1K
bc

BELENGGU

read
67.9K
bc

Revenge

read
27.7K
bc

After That Night

read
13.3K
bc

Hasrat Istri simpanan

read
15.0K
bc

Aku ingin menikahi ibuku,Annisa

read
80.2K
bc

Istri Lumpuh Sang CEO

read
3.9K

Pindai untuk mengunduh app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook