Netra biru itu mengerjap beberapa kali saat sinar matahari terasa menyilaukan matanya. Gadis yang menguncir rambut panjangnya itu menghentikan langkah kakinya di bawah pohon rindang yang ada di taman.
Dengan napas ngos-ngosan, Anna meneguk air minum yang sengaja dia bawa dari rumah. Sudah sedari pagi dia memutuskan untuk jogging di sekitar tempat tinggalnya.
"Hai, boleh saya duduk di sini?" tiba-tiba seseorang menyapanya ketika Anna tengah duduk mengistirahatkan tubuhnya.
"Yeah, sure." balas Anna cuek.
Pria tampan yang usianya terlihat hampir sama dengan kakak iparnya itu mendudukkan dirinya di sampingnya dengan senyum tipis.
"Saya belum pernah melihat kamu sebelumnya. Apa kamu baru saja pindah ke sini?" tanya pria itu membuka suara.
"Hm, saya memang baru kemarin pindah ke sini." balas Anna seadanya.
Pria itu manggut-manggut dan beralih menatap sekitar taman.
"Kamu masih sekolah?" pria itu kembali bertanya.
"3 SMA." jawab Anna singkat.
"Saya kira kamu masih SMP." kekeh pria itu.
"Are you kidding?" Anna memutar bola matanya sebal
Pria itu tertawa kecil melihat reaksi Anna.
"Yeah, sorry. Kamu memang masih terlihat seperti anak kecil." kata pria itu.
"Anak kecil yang udah bisa buat anak, ya." kekeh Anna garing.
Upss. ..
Menyadari akan ucapannya yang melenceng jauh dari pembahasan, Anna buru-buru membekap mulutnya sendiri. Menatap pria asing di sampingnya dengan wajah memerah.
"Sorry." ujar Anna meringis.
"It's okay. Saya lebih suka kamu bersikap seperti ini." kekeh pria itu.
Anna mengulum bibir bawahnya tak tau harus berkata apa.
"Andrew Darwin." pria itu mengulurkan tangannya ke arah Anna.
"Brianna." balas Anna singkat.
"Nama yang cantik, seperti orangnya." kata Andrew mulai menggombal.
Anna yang memang jarang sekali mendapat gombalan dari para pria karena gadis itu terkesan cuek tentu saja memerah.
Keadaan di antara keduanya menjadi hening. Anna memilih untuk menatap hamparan rumput hijau yang cukup luas di depannya. Sedangkan Andrew terus menatap Anna dengan intens.
Greb
Anna terkesiap saat tiba-tiba tangannya digenggam oleh sebuah tangan yang berukuran lebih besar dari tangan miliknya. Gadis itu menoleh dengan mata mengerjap lucu.
Cup
Kedua netra biru Anna seketika membola saat mendapat kecupan tiba-tiba itu tepat di bibirnya. Namun tak sampai beberapa detik, gadis itu mulai menormalkan raut wajahnya.
Cup
Kini Anna yang justru lebih dulu mencium bibir Andrew. Pria matang yang baru pertama kali dia temui itu.
Keduanya terlibat ciuman yang cukup panas. Andrew melarikan tangannya meremas pinggang ramping Anna yang berbalut tanktop hitam sebatas perut. Sehingga dia bisa merasakan kelembutan pinggang polos Anna.
Emnh..
Anna melenguh di sela ciumannya saat tangan Andrew merambat di payudaranya. Meremasnya lembut tanpa menyentuh ujungnya.
Plop
Anna memutuskan ciuman mereka lebih dulu. Dengan bibir setengah terbuka dan pandangan yang tak lepas dari Andrew, gadis itu menangkup tangan Andrew agar meremas dadanya lebih kuat.
Ahh..
Anna mendesah saat Andrew meremas dadanya dengan kasar. Wajah pria itu kini telah tenggelam di ceruk lehernya. Tak mempedulikan keringat yang membasahi area itu.
Engh..
"Sepertinya kita butuh kamar." ujar Andrew serak.
Anna menggeleng dan menjauhkan kepala Andrew dari lehernya. Dia menatap pria itu dengan tatapan menyesal.
"Kita nggak bisa ngelanjutin ini." balas Anna.
"Why not? Kamu terlihat menyukainya." timpal Andrew tidak terima.
"Nggak sekarang, Baby. Aku harus segera pulang." jawab Anna hendak beranjak.
"Saya bersumpah tidak akan melepaskan kamu jika kita bertemu lagi." Andrew berkata itu penuh penekanan.
"Coba aja kalau bisa." kekeh Anna dan berlalu meninggalkan Andrew yang tampak frustasi.
|•|
Anna memasuki rumahnya dengan senyum cerahnya. Dia merasa senang karena sudah menggoda pria tampan seperti Andrew.
"Bersenang-senang?" tanya sebuah suara dari samping Anna.
"Astaga." pekik Anna karena terkejut.
"Wajahmu terlihat senang." pria itu kembali bertanya.
"Kenapa? Emangnya nggak boleh?" semprot Anna judes.
Pria itu hanya mengedikkan bahunya acuh dan berlalu dari hadapan Anna. Anna yang melihat kakak iparnya itu mencibir dalam hati.
"Hai, Anna." sapa Celine yang baru saja turun dari lantai dua dengan menggendong seorang anak kecil berusia 3 tahun.
"Oh, Hai, Kak Celine." sapa Anna balik dan mendekat ke arah kakaknya.
"So handsome, Baby. What's your name?" Anna terlihat antusias melihat anak laki-laki yang digendong Celine.
"Austin, Aunty." balas anak kecil itu dengan suara kecilnya yang lucu.
"Nice name." puji Anna mencubit pipi Austin gemas.
"Austin mau main sama Aunty nggak?" kata Anna menawarkan diri.
"Mau.. " seru Austin senang. Anak kecil itu langsung merentangkan tangannya ke arah Anna.
Anna yang melihat itu tertawa senang, begitu juga dengan Celine.
"Aduh, Austin berat banget." keluh Anna pura-pura saat keponakannya itu sudah berada di gendongannya.
"Nggak, kok. Austin nggak berat." jawab Austin dengan suara cadelnya.
Anna terkekeh kecil karena respon Austin.
"Kamu abis jogging ya, An?" tanya Celine melihat penampilan adiknya.
"Iya, Kak. Tadi aku abis muter-muter bentar di taman kompleks." balas Anna.
Celine manggut-manggut dan mengajak Anna ke ruang makan. Selama mereka berjalan ke sana, tampak Celine mencuri-curi pandang ke arah adiknya yang telah banyak berubah.
Anna terlihat semakin cantik dan anggun. Dan itu membuat sisi lain dari diri Celine merasa iri. Namun selama ini dia tidak pernah menunjukkannya pada siapapun. Sehingga kedua orang tuanya itu selalu mempercayainya.
"Pagi, Austin." sapa Arletta melihat cucu laki-lakinya datang bersama Anna. Wajahnya tampak tidak begitu senang.
"Pagi, Oma." balas Austin tersenyum.
Anna menyadari perubahan wajah mamanya dan dia tidak ambil pusing akan hal itu. Dia memilih mendudukkan dirinya di kursi kosong yang ada di depannya dengan Austin yang kini berada di pangkuannya.
"Austin mau disuapin Aunty Anna." pinta Austin manja.
Anna terlihat senang saat Austin mengetahui namanya dan terlihat menyukainya. Sepertinya dia sudah berhasil mengambil hati keponakannya itu dengan mudah.
"Oke, Aunty akan suapin kamu." balas Anna senang dan mulai menyuapi Austin.
Keadaan menjadi hening. Hanya ada suara dentingan sendok yang berada dengan piring. Austin tampak lahap menerima suapan dari Anna.
"Aunty Anna kenapa nggak pernah pulang ke sini?" tanya Austin sambil mengunyah.
"Aun-
"Austin.. Kalau makan nggak boleh sambil ngomong." sela Darren mengintrupsi.
Celine dan kedua orang tuanya tanpa sadar bernapas lega saat Darren menyelamatkan mereka dengan menyela ucapan Anna.
Celine meremas tangan Darren dengan senyum lega yang dibalas oleh pria itu dengan senyum tipis.
Austin yang mendengar nasihat Papanya langsung terdiam dan menurut. Dia kembali mengunyah makanannya tanpa suara.
Anna menghembuskan napasnya kasar karena melihat respon dingin anggota keluarganya itu. Mengapa dia sampai tidak diperbolehkan menjawab pertanyaan Austin yang memang dia sendiri masih tidak tau dengan alasannya?
Anna memilih untuk tetap diam dan menyelesaikan sarapan paginya. Seperti biasa, dia tidak akan menghiraukan sikap kedua orang tuanya itu.
***