BAB 09

1271 Kata
Empat tahun lalu.... Janied menaruh dua kantung belanjaan di atas meja makan apartemennya. "Kayanya salah kita milih masak, harusnya makan di restoran aja." "Karena lo capek?" Saima melihat pemuda itu melipat lengan kemejanya. Sangat menarik. "Memangnya lo nggak capek?" "Lo dan gue cuma nyobain satu baju, Janied." "Tapi kejebak macet bikin capek." Meski mengeluh, Janied tetap memisahkan bahan-bahan dari plastik. Mencuci daging serta memotong sayuran. "Kalau kita menikah nanti, gue bakal terus masakin lo ya, Sai?" Janied bertanya tanpa membalikan tubuhnya dari kompor. "Gue bisa masak tapi nggak seenak lo, jadi lo aja yang masak gue bagian yang makan," jawab Saima yang memperhatikan Janied dengan cekatan memasak seperti chef di TV. Satu email masuk ke ponsel Saima, ia membacanya dengan fokus sehingga saat Janied mengajak ngobrol lebih banyak tidak dapat tanggapan. "Siapa?" Janied mengetuk dahi Saima perlahan menggunakan telunjuk, gadis itu menatapnya dan menyimpan ponselnya dengan santai. "Kerjaan kampus," kata Saima. Janied kembali ke kompor, tapi kali ini Saima mengikutinya. Gadis itu berdiri di sebelah Janied melihat tunangannya mengaduk sup. "Janied...." ketika Saima memanggil namanya dan Janied menanggapi dengan menatapnya, satu kecupan ia rasakan di bibir. Janied terdiam beberapa saat, Saima gugup setengah mati karena itu ciuman pertama mereka. Meski sudah dijodohkan sejak kecil dan setuju bertunangan, mereka hidup seperti dua orang teman baik. Tak pernah melanggar batasan. "Sorry," Saima semakin gugup. "Yang tadi lupain aja—" Janied menangkap pinggang Saima, mendekatkan kepadanya ketika ia mencium Saima lagi. Kali ini bukan kecupan, bibir mereka bergerak. Canggung diawal, namun keduanya tahu mereka menginginkan ini sehingga saat Saima mendesah, Janied hilang akal. Janied melepaskan ciuman, Saima menahan kerah kemejanya. "I want this," gumam Saima. "Tidur sama gue, Janied." "Sai? Serius?" Janied mengerutkan kening. "Lo dan gue akan bertunangan dua bulan lagi dan menikah. Gue pasti akan tidur sama lo setelah kita menikah." Janied mengusap pipi Saima. "Sekarang apa bedanya?" Saima mendekatkan dirinya lagi. "Lo nggak akan ninggalin gue." "This is your first time, Saima." "Dan lo juga? Lo belum pernah tidur sama siapa pun." "Ya, tapi—" Saima mencium Janied lagi, berusaha melepaskan kancing kemeja pemuda itu. "Oh, gorgeous, slow down." Janied mematikan kompor, ia masih ingin hidup dan mencium Saima. Lalu Janied membawa gadis itu ke kamarnya. Mereka berdua membagi pengalaman pertama mereka satu sama lain. *** "Apa sekarang lo dan gue akan membicarakan apa yang kita lakukan 4 tahun lalu?" Saima melihat Janied berdiri di ujung tempat tidurnya. "Apa lo kesal karena lo tidur pertama kali dengan gue dan bukan dengan Radmila?" Janied mengerutkan kening, kesal. "Saima, Radmila nggak ada hubungannya." "Oh, tentu ada." Saima memasang ekspresi menyebalkan. "Lo pasti ingin tidur dengan Radmila bukan dengan gue. Kalau gitu empat tahun lalu anggap aja lo tidur dengan Radmila. Yang lo cium itu Radmila. Yang mendesah memanggil nama lo itu Radmila." "Saima!" Janied nyaris tak pernah meninggikan suaranya. Sehingga Saima terpaku, merasa gugup. "Apa, Janied? Lo mau gue membalas kata-kata lo seperti apa?" Saima mencoba tidak gemetaran. "Lo mau gue minta maaf karena gue minta lo meniduri gue empat tahun lalu? Oke, maaf karena mencuri start Radmila." Bagus, Saima. Kata-kata kamu membuat pria itu marah. "Lo nggak akan mendengarkan gue, iya kan?" Janied berdecak. "Dan mulut lo itu nggak akan diam, iya kan?" Saima menelan ludahnya ketika Janied mendorong tubuhnya terjatuh ke atas tempat tidur. Janied tidak mencium bibirnya, wajahnya hanya terlalu dekat. "Ayo bicara lagi," pancing Janied di depan bibir Saima. "Lo ingin tidur dengan Radmila empat tahun lalu."  Saima terus mengatakan omong kosong karena ia gugup tubuh Janied menempel dengannya. "Persetan tentang kemauan gue empat tahun lalu, Saima." Janied menatapnya serius. "Lo rasakan sesuatu yang menekan di bawah sana? Dia mengeras, lo terlalu banyak bicara. Haruskah gue membungkan mulut lo? Dengan senang hati." Ketika Janied akan mencium bibirnya, Saima menghentikan dengan membalikan tubuh mereka berdua. Janied sebenarnya sangat kuat tapi pemuda itu sengaja membiarkan Saima duduk di atasnya. Dia ingin tahu apa yang akan perempuan itu lakukan. "Lo tanya apa bedanya meniduri gue empat tahun lalu dan sekarang. Jawabannya adalah; nggak ada bedanya. Karena lo bukan siapa siapa untuk gue, Janied." Saima mengatakan kata-kata menyakitkan namun tangannya masuk ke celana piyama Janied. Mengeluarkan ereksi pemuda itu. Saima menunduk, membuka bibirnya dan bagian dari diri Janied yang besar dan mengeras langsung memenuhi mulutnya. "Shit." Janied mengumpat ketika rasa bibir itu masih sama ketika melumat miliknya. "Lo mau meniduri gue?" Saima menatap Janied. Lidahnya sengaja menggoda ujung ereksi Janied. "Kalau gitu, tiduri gue. Apa yang lo tunggu?"  *** "Shi*t." "Yeah, Saima, shi*t." "I can see my c0ck in your belly. Lo terlalu kurus. Makan yang benar, Saima." Janied mengatakan itu ketika ia menyetubuhi Saima dengan ritme yang melambat. Sengaja memperlihatkan bagian tubuhnya bergantian masuk dan keluar di bawah sana. "Just fvck me and shut up!" Saima mengumpat. "Cute." Janied menyeringai saat Saima bergerak gelisah dan tak menatapnya namun menikmati setiap hentakan dan dorongan yang diberikan. "So tight, so good." Janied berguman di telinga Saima sebelum membalikan posisi. Saima duduk di atasnya. "Ride me," perintahnya sangat jelas. Tangan Janied berada di pinggang kecil Saima ketika wanita itu mulai bergerak membuat penyatuan mereka lebih penuh dan Janied menikmatinya. Jemari Janied naik untuk meraba p******a Saima yang tertutup kain tipis piyama tidur. Meremashnya, bermain-main, membuat Saima melambatkan gerakan karena dia mendesah. "Lo membuat gue nikmat. Gue di dalam lo dan lo bergerak seperti ini. Tidur dengan banyak orang membuat lo berpengalaman, Saima?" ada nada sindirian pada suara Janied. "Apa lo nggak pernah tidur dengan cewek lain setelah dengan gue?" Saima bertanya namun fokusnya mencari kenikmatan lewat ereksi Janied yang memenuhi miliknya. Mungkin besok ia akan kesulitan berjalan karena Janied sangat besar. "Gue nggak tidur dengan siapa-siapa." "Poor you." Janied membiarkan Saima bergerak di atasnya dan setelah merasa wanita itu kelelahan Janied membuat lutut Saima berada di atas tempat tidur sebagai tumpuan. Wajahnya terbenam pada bantal ketika pantatnya tersaji di udara siap dimasuki lagi. "I don't like this position," keluh Saima ketika merasakan Janied mencari kenikmatan dari dirinya.  "Tapi gue suka." Janied menghentakan bagian dirinya yang tegang dan mengeras kepada Saima, masuk lebih dalam dan dalam seolah wanita itu sudah melakukan hal yang salah dan ini adalah hukumannya. "Janied, I can't...." Saima menangis karena ia tidak bisa menerima kenikmatan lebih dari ini. Dia akan ambruk jika Janied tak memberinya ampun. Janied tidak berniat menyakiti Saima sehingga ia  menyelesaikan semuanya dan cairan putih keluar di atas p****t Saima yang memerah. Janied meremasnya saat tubuh mereka memanas. Saima gemetaran, Janied mencium lehernya dari belakang. Deru napas mereka berdua terdengar begitu berat dan jelas bahwa mereka kelelahan. Saima mengambil selimut untuk menutupi dirinya ketika ia berkata, "Keluar." "Gue akan pindah ke kamar tamu sebentar lagi." "Sekarang, Janied." Saima tak mau menatap pemuda itu. Janied mengerutkan keningnya, namun ia memungut celana piyamanya dan memakainya di hadapan Saima. "Apa lo mengusir gue?" "Gue cuma ingin tidur, Janied." "Oke, good night." Janied sudah berjalan untuk membuka pintu saat Saima mengatakan sesuatu. "Seks yang tadi bukan apa-apa, Janied. Kita berdua butuh itu dan selesai." "Tentu aja." Janied kembali berbalik. Kali ini Saima melihat matanya. "Apa empat tahun lalu lo juga berpikir seks yang kita lakukan bukan apa-apa?" "Kenapa lo membicarakan lagi kejadian empat tahun lalu, Janied?" "Karena setelah tidur dengan gue, lo membatalkan pertunangan." Janied mengatakannya tanpa nada tanpa ekspresi. "Apa besok lo akan pergi?" "Gue nggak akan pergi ke mana-mana." "Great." Janied berhenti untuk mencari kata-kata yang tepat. "Misalnya sekarang lo mau pergi lagi, go ahead. Itu bukan urusan gue, Saima. Tapi sebagai teman yang baik, akan lebih bagus kalau lo pamit sebelum pergi." "...." Saima tidak membalas. [] - Instagram: galeri.ken
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN