BAB 08

1115 Kata
"Aku nggak mencintai kamu, Janied. Aku nggak menginginkan kamu." Rasanya aneh karena Janied sangat marah dengan kata-kata Radmila. Dia memang membutuhkan penjelasan mengapa gadis itu menghilang, namun apa yang diucapkan Radmila membuat egonya berantakan. Janied mau menjadi pihak yang diinginkan. Janied mau Radmila menyesal karena pergi tujuh tahun lalu. Janied mau gadis itu melihat bahwa Janied kecewa. Maka Janied mengatakan bahwa ia menginginkan Radmila Mega untuk mencintainya lagi. Janied ingin gadis itu mencintainya, tergila-gila padanya. Janied ingin Radmila sangat mencintainya sampai merasakan sesak dan takut kehilangan Janied. Janied ingin Radmila membayar tujuh tahun yang ia lewati dengan banyak pertanyaan. Seperti orang bodoh. "Janied, kamu bisa memiliki perempuan manapun yang kamu mau, aku bukan siapa-siapa." Radmila menjawab ketika Janied menatapnya dengan dingin. "Gadis di luar sana akan dengan senang hati mencintai kamu." "Aku mau kamu yang mencintai aku." Janied menekankan kata-katanya. "Apa kamu nggak mau mencintai aku?" "Janied, ini bukan permaianan." "Kalau begitu jadikan ini serius. Aku akan membuat kamu mencintai aku." "Janied, kamu penyanyi terkenal dan apa yang akan mereka katakan kalau kamu meminta perempuan seperti aku untuk mencintai kamu?" "Perempuan seperti apa, Radmila?" "Tujuh tahun bukan waktu yang singkat. Aku berubah, Janied." Radmila berujar pelan. "Banyak yang aku lalui, aku bukan Radmila yang sama seperti Radmila partner lab kamu di SMA." "...." "Untuk apa kamu meminta aku, yang bukan siapa-siapa untuk mencintai kamu di saat kamu punya seseorang yang lebih pantas, Janied." "Apa maksud kamu." Janied mengerutkan keningnya. "Seharusnya kamu bertunangan dengan Saima, bukan?" Radmila berujar hati-hati. "Kalian saling mengenal, selalu sama-sama, kalian sangat cocok." "Apa kamu pergi tujuh tahun lalu karena berpikir aku akan menikah dengan Saima?" Janied mengikuti topik yang dibicarakan Radmila. "Bukan." Radmila menggeleng. "Dan aku berharap pertunangan kalian berakhir bukan karena aku juga." "Pertunangan aku dan Saima berakhir karena aku dan dia nggak menginginkannya." Radmila menatap Janied, "Kalau kamu bisa menginginkan aku kenapa kamu nggak bisa menginginkan Saima? Lebih mudah kalau kamu bersama Saima." "Saima nggak lebih dari adik untuk aku," ujar Janied. "Dan ini tentang aku dan kamu, jangan kaitkan orang lain. Saima nggak menghilang tujuh tahun lalu, tapi kamu." Janied meneruskan, "Kamu bilang kamu berubah, aku juga berubah. Tujuh tahun lalu aku membiarkan kamu pergi maka sekarang aku nggak akan melakukannya lagi, Radmila." *** Julieta Mahveen melihat temannya yang berusaha mengabaikan panggilan sehingga ia berkata, "Sai, angkat dulu aja kita juga masih siap-siap." "Sorry," Saima langsung membawa ponselnya keluar dari cafe dan mengangkat panggilan. "Janied, gue mau meeting sama investor. Bisa kita bicara lagi nanti?" "Dia bilang nggak menginginkan gue." "Huh?" Saima mengerutkan kening. "Maksud lo Radmila?" "Ya." Janied bergumam. "Apa lo baik-baik aja?" Janied tidak menjawab. "Setelah meeting gue akan menemui lo. Lo di mana, Janied?" Saima bertanya namun lelaki itu tetap diam. "Gue asumsikan lo ada di apartemen. Gue akan ke sana." "Gue di parkiran apartemen lo," jawab Janied. "Kalau begitu lo naik aja. Lo tahu kata sandi apartemen gue." "Oke." Janied mematikan panggilan dan Saima kembali masuk ke cafe untuk bertemu investor yang akan membiayai proyek yayasan temannya. Sebisa mungkin Saima fokus saat menjelaskan isi proposal yang sudah ia rancang dengan hati-hati bersama Julieta. Meeting selesai dua jam kemudian. Saima langsung menutup laptop dan berkata kepada Julieta bahwa ia tidak bisa makan malam bersama. "Lo selalu berlari saat Janied butuh sesuatu. Tapi gue nggak pernah melihat Janied berlari untuk lo, Saima." Saima mendengar kata-kata Julieta Mahveen dan ia tidak menjawabnya. Karena benar kata Julieta, detik ini Saima berlari ke arah mobilnya terparkir untuk menemui Janied. Seperti seorang adik yang berlari kepada kakaknya. *** "Oh? Lo udah pulang?" Janied duduk di sofa dengan piyama menatap bosan pada layar TV di apartemen Saima. Saima masuk ke apartemennya dan menemukan meja makan di mini kitchen berantakan. Ada beberapa potong pizza yang masih berada di box serta satu ember kosong berwarna merah kemasan ayam goreng. Juga tiga bekas minuman s**u. "Nanti gue bersihin," kata Janied. "You should be." Saima duduk di sebelah Janied memperhatikan pemuda itu yang tampak biasa saja. Saima langsung pulang karena berpikir Janied akan sangat sedih seperti tujuh tahun lalu ketika Radmila menghilang namun sepertinya ia salah. "Lo meeting sama siapa? Malem banget." Janied menunjuk jam dinding di atas TV menunjukkan pukul 9 malam lewat 40 menit. "Investor gue kali ini Pak Brian Kayavine. Dia baru pulang dari Dubai, segini aja gue masih untung beliau mau meeting tanpa diwakili asistennya." "Kayavine berhubungan baik sama keluarga lo, Sai. Menjadi investor lo sama aja cuma ngasih uang jajan buat mereka." "10 miliar cuma uang jajan menurut lo?" "Sedikit? Gue kira lo butuh lebih banyak. Lo dan si anak presiden punya proyek apa memangnya?" Saima tahu Janied tak tertarik pada pekerjaannya, pemuda itu hanya membuat pengalihan agar Saima tidak membahas pertemuannya dengan Radmila. Dan Saima keras kepala. "Proyek gue bukan urusan lo. Gimana Radmila, Janied?" Janied menjawab setengah niat, "Udah gue bilang dia nggak menginginkan gue. Bisa lo bayangin gue booking Joy Two untuk dia tapi dia datang cuma untuk mempermainkan gue." "Lo... sedih?" tanya Saima, hati-hati. "Sedih?" Janied mendengus. "Gue marah." "Lo nyerah?" "Malah ini baru awalnya, Saima. Gue akan membuat dia sangat menginginkan gue sampai dia nggak bisa hidup tanpa gue." "Jadi ini balas dendam, Janied?" "Radmila bilang nama belakang gue membuat dia kecil. Biar gue tunjukkan seberapa kecil dia di mata gue sekarang." *** Saima terbangun karena merasa ada yang memperhatikannya. Ketika ia membuka matanya, ia menemukan Janied duduk di single sofa yang Saima taruh di ujung kamarnya, di dekat jendela tinggi. "Sorry, gue nggak bisa tidur." Janied masih menatapnya dengan tatapan asing dan Saima menyadari sesuatu yang dipegang Janied. Saima benar-benar terbangun, menyalakan lampu kamar karena cahaya redup membuat Janied terlihat sangat.... Mendominasi. "Taruh itu ke tempatnya lagi, Janied." Saima berusaha mengeluarkan suaranya. "Apa? Mainan lo?" Janied menunjukkan sebuah dildo berwarna pink yang sangat cantik. "Gue duduk di sini melihat lo tidur memikirkan kapan lo pakai ini? Kapan lo sangat terangsang dan bermain-main dengan ini? Lo puas dengan mainan kecil ini?" "Assh0le." Saima seharusnya marah namun pipinya memerah. Tidak ada yang salah seorang wanita mendapatkan kepuasan atau menyentuh dirinya sendiri, perempuan memiliki otoritas atas tubuhnya namun membicarakannya dengan teman tetap terdengar canggung. "Show me," ujar Janied. "Show you what." "Spread your legs, use this." Janied masih duduk di sofa, tangannya yang besar menunjukkan dildo itu seolah kata-katanya adalah perintah. Sebelah alis Janied naik. Seductive. "Or you can use mine if you want. The real thing." "B*rengsek." Saima mengumpat entah untuk apa. Entah ia marah atau gugup karena Janied berjalan ke arahnya dan Saima tak bisa bergerak. Janied menatapnya dan mengatakan, "Empat tahun lalu lo membiarkan gue meniduri lo, Saima, apa bedanya sekarang?" [] - Instagram: galeri.ken
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN