BAB 10

1534 Kata
"Hai." Radmila Mega tersentak ketika melihat Janied berdiri tepat di dekat pintu keluar bar tempatnya bekerja. Radmila dengan cepat menarik Janied untuk masuk. Pemuda itu memakai jaket hitam bertudung yang menyembunyikan setengah wajahnya. "Kamu ngapain di sini? Kalau ada yang lihat gimana? Kamu nggak bisa ada di tempat seperti ini, kamu artis Janied!" Radmila panik dan Janied menikmati itu. See, kamu masih peduli aku. "Kalau kamu takut terjadi sesuatu sama aku seharusnya kamu menghubungi aku. Aku nunggu telepon dari kamu, Mila." Janied memanggilnya dengan nama singkat gadis itu. "Aku..." Radmila menghela napas. "Bukannya udah aku bilang sebaiknya kamu nggak berhubungan dengan aku lagi?" "Apa yang membuat kamu berpikir aku akan melepaskan kamu?" "Karena aku bukan siapa-siapa." Janied mengambil tangan Radmila untuk ia gandeng keluar dari sana. Janied membawa gadis itu masuk ke mobilnya. "Di mana kamu tinggal?" "Janied, aku bisa pulang sendiri." "Apa kamu laper? Kita bisa makan dulu." Janied tak peduli Radmila mencoba menolaknya. "Dulu kamu suka banget sate ayam. Kita makan itu, mau?" Janied mengatakan kepada supir untuk mencari warung sate ayam terdekat. "Mas Janied, restoran 'kan?" Pak Kunco, supirnya bertanya. "Dipinggir jalan aja, Pak. Lebih enak." "Janied, kamu serius???" Radmila menatap tidak percaya. "Orang-orang bisa mengenali kamu." "Kalau gitu biar aku beli warung satenya sehingga cuma aku dan kamu yang makan." Kunco sudah menghentikan mobilnya di dekat warung sate madura yang tak terlalu ramai. "Mas, biar saya aja yang turun dan beli satenya." tentu Kunco khawatir karena tuannya adalah artis terkenal meski sekarang Janied berpakaian serba hitam tapi akan ada saja yang mengenali. "Makan di sini lebih enak, Pak." Janied nyeyel. "Janied, benar kata supir kamu. Biar beliau yang beli satenya dan kamu bisa makan di tempat aku." Radmila membujuk. "Aku mau makan di sini, Mila, sama kamu." Kunco memiliki inisiatif untuk turun terlebih dahulu dan berkata kepada pemilik warung sate untuk menyediakan meja paling ujung dan tidak boleh ada yang mendekati mereka. Janied dan Radmila turun dari mobil. Berbeda dengan Janied yang tampak bersemangat akan makan sate, Radmila kikuk. Apalagi Janied tak melepaskan genggaman pada tangannya. Entah tukang sate itu profesional atau dia tak punya waktu menonton TV, yang terpenting ia tak menatap aneh kepada Janied. Memperlakukannya seperti pembeli biasa. "Boss, berapa tusuk satenya?" "Kamu mau berapa?" Janied bertanya kepada Radmila. "T-terserah kamu." "30 tusuk sate ayam, Mas." "Siap, Boss. Istrinya lagi ngidam, ya?" Tukang sate itu dengan ramah menunjuk Radmila yang duduk di sebelah Janied. Janied tersenyum karena Radmila dikira istrinya. "Ya, Mas. Cepet atau nanti istri saya ngambek." "60 tusuk sate ayam siap meluncur, Boss!" "Aku bukan istri kamu," ujar Radmila ketika tukang sate itu sudah pergi untuk menyiapkan pesanan. "Kamu mungkin jadi istri aku kalau 7 tahun lalu nggak menghilang." Janied mengatakan itu dengan santai tanpa menatap Radmila karena ia sedang membuka bungkus keripik singkong. "Ini enak, kamu mau coba?" "Janied, can we get serious now?" "Ya, kita bisa serius. Sekarang kamu mau menjelaskan kenapa kamu pergi?" Butuh keberanian untuk gadis itu mengatakan, "Restoran ayah aku bangkrut." "Cuma itu satu-satunya usaha ayahku di Jakarta, Janied." Radmila meneruskan, "Supaya kami berdua tetap bertahan, ayah menjual rumah dan kami pindah ke Jogja. Aku sangat ingin bicara sama kamu tujuh tahun lalu, tapi... aku malu." "Aku udah ada di depan rumah kamu tujuh tahun lalu, aku bicara sama satpam di rumah kamu kalau aku ingin ketemu kamu tapi beliau bilang kamu di rumah Saima." Radmila berusaha agar suaranya tidak pecah. "Aku pergi ke rumah Saima dan ternyata kamu tertidur di sana." Janied mengingat-ingat apa yang ia lakukan tujuh tahun lalu. Ia bergadang membantu Saima belajar untuk test masuk kampus. "Saima menawarkan untuk membangunkan kamu tapi melihat kamu tertidur seperti itu, aku nggak tega berpamitan." Radmila mengatur napasnya. "Jadi... aku memberikan selembar kertas, bertuliskan alamat rumah aku di Jogja kepada Saima. Aku yakin Saima memberikan kertas itu kepada kamu 'kan, Janied?" Apa? Kertas apa? "Aku nggak menghilang, Janied. Aku ada di Jogja. Aku melihat kamu akan bertunangan dengan Saima. Aku melihat kamu menjadi penyanyi. Selama tujuh tahun aku menunggu kamu dan kamu nggak mencari aku. Bukannya itu semua udah jelas bahwa kamu nggak mencintai aku?"  *** "Bukannya itu jelas bahwa kamu nggak mencintai aku?" Lalu Radmila tertawa dengan kalimatnya sendiri. "Ah, aku melantur. Kamu nggak perlu jawab karena kisah kita udah berakhir tujuh tahun lalu. Aku dengar lagu baru kamu yang rilis tadi malam. Liriknya sangat kita ya, Janied?" "Maaf aku menjadi pengecut yang pergi tanpa mengatakan apa-apa," ucap gadis itu perlahan. "Tapi kamu terlihat baik-baik aja pasti karena ada Saima, kan?" "Seharusnya kamu jangan membatalkan pertunangan itu, Janied. Saima cocok dengan kamu. Sejak SMA, para siswi membayangkan seperti apa pernikahan kalian di masa depan. Keluarga Hartono dan Searajana bersama, pasti pestanya akan mewah! Dan bayangkan kalau kalian berdua punya anak. Kalian akan punya keluarga yang dicemburui semua orang. Aku... ah, aku terlalu banyak bicara, ya?" Radmila tertawa namun pipinya terus basah. "Aduh mbaknya kok nangis? Satenya lama ya, mbak?" Pedagang sate datang membawa pesananan. "Silakan dinikmati, mbak." "Terima kasih." Radmila berusaha menghentikan tangisnya. "Janied, makan satenya." Tapi selera makan Janied sudah hilang karena pembicaraan ini. "Aku nggak tahu restoran papa kamu bangkrut." "It's okay, bukan tanggung jawab kamu harus tahu tentang itu. Papa baik-baik aja sekarang di Jogja, Janied." "Tapi tujuh tahun lalu aku pacar kamu." "Dan kamu juga tunangannya Saima, bukan? Aku seperti gadis nggak tahu diri memacari tunangan seseorang. Aku nggak pernah minta maaf kepada Saima untuk itu." Radmila menghela napasnya. "Kamu nggak perlu minta maaf." Seharusnya Saima yang minta maaf karena dia nggak memberikan kertas itu kepada aku. Janied menahan suaranya di kepala. "Lebih baik kamu makan satenya, Janied. Aku kenyang, udah makan di tempat kerja. 60 tusuk siapa yang mau habisin?" "Aku nggak laper," kata Janied seperti anak kecil. Lalu dia berkata kepada supirnya, "Pak, bungkus satenya dan berikan kepada pengamen atau siapa aja." "Aku akan nganterin kamu," tambah Janied kepada Radmila. Radmila tidak membantah, ia menunjukkan kontrakan sederhananya kepada Janied dan ekspresi lelaki itu seperti bersalah. "Kecil, tapi nyaman." Radmila tak mau Janied berpikir ia menderita tinggal di sebuah kontrakan. "Aku akan hubungin kamu lagi besok," kata Janied. "Untuk apa? Janied, lebih baik kita berhenti di sini. Apa pun yang coba kamu lakukan, jangan dilanjutkan." Janied mencoba mencerna kata-kata Radmila. "Masih sama, masih sama. Atau mungkin hanya aku yang merasa? Itu lirik lagu baru milik kamu," ujar Radmila. "Dan benar, cuma kamu yang merasakan hal yang sama. Aku nggak mencintai kamu lagi sekarang. Pergi dari hidup aku dan aku berjanji nggak akan mengganggu kamu lagi, Janied." *** Saima siap turun dari mobilnya untuk pergi ke gereja ketika sebuah panggilan dari Rama Arjuna Mahveen menyapa di layar ponsel. "Hai, Saima. Saya hari ini ke Jakarta dan mama saya bilang kita akan bertemu untuk makan malam? Saya memilih Joy Two kalau kamu nggak keberatan." "Saya setuju, Mas." Saima beberapa kali bertemu Rama di acara seperti penggalangan dana, dan lelaki itu sangat berkarisma bahkan berbicara di telepon seperti ini Saima bisa membayangkan ekspresi wajahnya yang tenang. "Sampai bertemu nanti malam, Mas Rama." Saima berjalan menuju pintu utama gereja ketika ia melihat seorang gadis kecil yang terpeleset sehingga lututnya terluka, berdarah. "Hei nggak pa-pa," Saima menghampiri gadis kecil itu yang menangis di pelukan ibunya yang panik. Sejak kuliah, Saima selalu menaruh beberapa produk pertolongan pertama di dompet kecil dan ia masukan ke dalam tas. Ia bersyukur kebiasaannya itu bisa membantunya jika hal-hal yang tak terduga seperti ini terjadi kapan saja. Setelah Saima merawat luka si gadis kecil, ibunya bertanya kepada Saima, "Terima kasih. Apa Anda dokter?" "Dia kuliah keperawatan." Bukan Saima yang menjawab. Suara familiar milik Janied terdengar. "Hati-hati ya, jangan jatuh lagi." Saima mengusap kepala si gadis kecil yang mencium pipinya. "Lo selalu peduli sama anak-anak." Janied berkata lagi ketika hanya ada dirinya dan Saima. Saima mengerutkan kening. "Kenapa lo di sini?" "Apa gue nggak boleh ibadah?" Janied berjalan memasuki gereja. "Sit with me." Saima duduk di sebelah Janied dan pemuda itu kembali berkata tanpa menatapnya, "Ternyata dibohongi oleh keluarga sendiri sangat menyebalkan." Saima mengerutkan kening. "Tujuh tahun lalu Radmila memberikan alamatnya kepada lo. Kenapa lo nggak memberikan kertas itu kepada gue?" Saima merasa napasnya dihentikan saat itu juga. Janied menatapnya, "Kenapa lo nggak mengatakan apa-apa soal alamat Radmila? Lo membuat gue salah paham sama Radmila." Saima tahu rahasia ini cepat atau lambat akan diketahui oleh Janied. Maka ia berusaha menyembunyikan rahasianya yang lain. Tanpa perasaan Saima berkata, "Apa penting? Sekarang Radmila kembali, lo bisa memilikinya lagi." "Mudah untuk lo mengatakan itu setelah menghancurkan hubungan orang lain tujuh tahun lalu, Saima? Dan lo berpikir semuanya nggak berubah antara gue dan Radmila? Lo sangat naif." Meski kalimat Janied tak bernada, Saima tidak suka tatapan Janied kepadanya seolah ia adalah orang jahat. "Radmila nggak mau gue memperjuangkannya lagi. Dan semuanya salah lo, Saima." Saima akan membiarkan Janied menyalahkannya. "Lalu apa yang harus gue lakukan, Janied? Gue menghancurkan hubungan kalian tujuh tahun lalu tapi apa yang sekarang Radmila rasakan kepada lo bukan salah gue." "Gue udah membantu lo untuk menemukan Radmila, dan lo udah ketemu dia. Kalau hubungan kalian nggak berlanjut—itu bukan urusan gue, Janied. Gue nggak akan membantu lo lagi karena gue punya kehidupan gue sendiri." "Mulai detik ini mari jalani hidup masing-masing, Janied Elang Hartono." [] - Instagram: galeri.ken
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN