4

2620 Kata
Aku menunggu lebih 3 jam di pesawat jet milik Wren bersama dengan sang malaikat dan istrinya. Sialnya, sang malaikat adalah sahabat Wren_jangan tanya bagaimana mereka bisa bersahabat_dan istrinya adalah sahabat sehidup semati Lily, istri Wren. Selama itu juga Aleandro, Wren dan Lily tidak juga kembali ke pesawat. Ini lebih lama daripada yang kupikirkan. Aku memang tidak mengharapkan kalau pertarungan ini akan berlangsung dengan cepat, tapi ini terlalu lama! Aku sendiri heran dengan diriku kenapa aku bisa-bisanya menuruti perintah Wren untuk menunggu di pesawat bersama kedua makhluk yang selalu menebar kemesraan kapan saja mereka bisa. Baik Navaro maupun aku, kami berdua tidak memiliki hubungan yang sangat baik untuk bisa mengobrol di saat seperti ini. Aku sudah sampai di tangga saat sekelebat bayangan melesat dari arah pepohonan ke arahku. Kalau saja aku tidak mengenal pancaran tenaga mereka, kalau saja aku tidak melihat kilasan sayap diantara mereka, aku pasti sudah menyerang mereka. Tapi itu mereka, itu Wren, Aleandro, Lily dan Amelia. Saat itulah aku sadar jauh di antara pepohonan itu asap hitam membumbung tinggi memenuhi langit malam. “Terlalu lama.”ujarku kuat. “Dia terlalu kuat.”bisik Aleandro lemah. “Dan aku butuh waktu untuk melenyapkan barang bukti_seperti yang selalu kau lakukan.”sambung Wren. Aku menyipitkan mata bingung melihat keadaan Aleandro. Aleandro terlihat... Lemah, lebih Nefenip manusia yang terkena anemia. Dan tiba-tiba saja aku sadar kalau ada yang aneh diantara mereka, dan itu adalah Amelia. Dia sudah berubah, menjadi vampir sepenuhnya. Tapi aku masih tidak mengerti alasan kenapa Aleandro terlihat begitu lemah. “Apa yang terjadi?”tanyaku penasaran karena isi pikiran mereka terlalu rumit untuk bisa kumengerti. “Aku yang akan menjelaskannya, Zac. Saat ini Aleandro membutuhkan darah lebih dari siapapun. Amelia sudah menguras habis darah Aleandro.”ujar Wren sambil membantu Aleandro masuk ke dalam pesawat sementara Lily menggandeng Amelia. Setengah jam kemudian kami sudah mengudara kembali ke London. Aleandro sedang berada di kabin Wren sementara Amelia bergabung bersama kami di kabin penumpang. “Sekarang jelaskan apa yang terjadi.”ujarku datar. “Singkatnya, seperti yang sudah kita duga, melawan Kang Conrad bukan perkara mudah. Dia bisa memanggil hantu dan zombie, sihir kuno yang bahkan tidak bisa dilakukan penyihir manapun yang kukenal saat ini. Hantu itu tidak bisa diserang tapi mereka bisa menyakiti kita, Zac. Aku benar-benar beruntung karena Lily bisa mengatasinya dan membantu Aleandro terlepas dari masalah itu. Tapi Conrad kembali menggunakan kekuatan sihirnya dan memanggil zombie. Zombie! Mereka tidak bisa dikalahkan, bahkan kalau kau sudah mencabik-cabik mereka hingga beberapa bagian, itu tidak menghentikan mereka. Hanya ada dua cara untuk mengalahkan zombie sepanjang pengetahuanku. Bunuh pengendalinya atau hancurkan tubuh zombie itu hingga tidak berbentuk. Aleandro bisa melakukan itu, aku yakin, kalau saja dia tidak dihadapkan dengan pilihan antara menghancurkan zombie atau menyelamatkan Amelia. Karena itu aku yang menghadapi zombie itu dengan kekuatanmu, Zac. Tidak perlu susah payah saat aku bisa meledakkan mereka dengan api-mu. Selebihnya aku tidak tahu. Yang kutahu hanyalah saat aku menghampiri Aleandro kembali bersama Lily, dia sudah menguras darah Amelia hingga nyaris mati kalau saja Aleandro menolak untuk mendengarkanku. Aleandro jatuh ke level E, Zac. Sungguh keajaiban dia bisa mendengar suaraku saat itu dan mengubah Amelia menjadi vampir. Dan saat kami pikir segalanya terlambat, Amelia berhasil selamat dan dialah yang menguras habis darah Aleandro.”jelas Wren cepat. Aku menggeleng pelan. “Aleandro tidak akan pernah jatuh ke level E, Wren. Tidak ada seorangpun dari kita disini yang bisa jatuh ke level E apapun alasannya. Aku ragu ada vampir di dalam klanmu atau klanku yang bisa jatuh ke level itu. Bagi vampir berusia nyaris sepanjang peradaban, level E tidak akan tersentuh bahkan kalau kita ingin menyentuhnya. Aleandro adalah kasus khusus. Darahnya adalah milik Lilian, vampir kuno satu-satunya yang membunuh penyihir dengan menghisap darahnya. Kau tahu sendiri kalau kita tidak pernah bisa bersahabat dengan mereka. Kutukan mengalir di dalam darah mereka dan itu membuat kegilaan itu mengalir juga di dalam darah Lilian. Kau mungkin tidak tahu, tapi dulu selain menghisap darah manusia, Aleandro juga meminum darah masternya. Dan karena saat itu Aleandro berbagi darah dengan masternya, Aleandro juga mendapatkan efek itu. Aku pertama kali melihatnya seperti itu saat dia membunuh masternya demi menyelamatkan manusia yang tersisa akibat kebrutalan masternya. Saat itu Aleandro harus menggunakan seluruh kekuatannya untuk melawan masternya hingga dia tidak bisa mengendalikan kegilaan itu. Dan kalau malam ini Aleandro kembali ke keadaan itu, itu artinya dia benar-benar kewalahan menghadapi Conrad. Karena aku yakin sekali kalau darah Lilian baru akan mengakibatkan sesuatu kalau Aleandro sudah melepas semua kendali kekuatannya, termasuk kekuatan untuk menahan kegilaan dari darah itu. Beruntung Aleandro tidak sampai membunuh Amelia karena saat kegilaan itu menguasainya, Lilian tidak bisa menghentikan dirinya untuk terus menghisap darah ribuan manusia.”ujarku sambil mengenang kembali kejadian satu milenia yang lalu, dimana seorang vampir berhasil membunuh setengah kehidupan di satu negara. “Aku pikir ada hal lain yang belum kalian katakan padaku. Atau sebaiknya kau yang mengatakannya, Amelia?”tanyaku pada wanita yang duduk sendirian di seberangku itu. Amelia mengangkat tangan kanannya dan memperlihatkan tato kuno di punggung tangannya. “Apa artinya ini?”tanya wanita itu pelan. “Tanda pasangan. Seperti milik Wren dan Lily. Hanya akan muncul kalau seorang vampir sudah memiliki pasangannya. Jadi, siapa pemilik tanda lainnya?”tanyaku penasaran ingin memastikan apakah memang Aleandro pasangannya. “Conrad.”bisik Amelia. “Aku tidak merasakan apapun padanya... Tapi dia bilang dia sudah menikahiku secara hukum vampir...” “Aku juga punya.”ujar sebuah suara dari belakangku, tanpa berbalikpun aku tahu kalau itu Aleandro. Aleandro berjalan menghampiri Amelia, dan saat itu aku yakin kalau semua yang ada disana memperhatikan tanda kuno yang juga terdapat di lengan atas Aleandro. “Aku tidak peduli siapa pasanganmu sebenarnya Amelia karena aku sudah membunuh Conrad, jadi itu bukan masalah lagi.”ujar Aleandro datar sambil menggenggam tangan Amelia. Aku mengangguk setuju. “Kau benar, Aleandro. Itu bukan masalah, dan seharusnya tidak pernah menjadi masalah. Aku rasa Wren tahu karena aku pernah mengatakan padanya kalau tanda kuno tidak hanya terdapat di antara sepasang kekasih, tapi bisa juga muncul pada orang lain yang ‘mungkin’ ditakdirkan untuk berpasangan dengan salah satu dari mereka. Wren beruntung karena tanda miliknya hanya ada diantara dirinya dan Lily. Tapi kau? Conrad memang menjadi masalah kalau saja aku tidak menyadarinya. Tandamu dan tandanya, Aleandro, adalah tanda pasangan yang sebenarnya. Aku tidak mengatakan kalau tanda Conrad palsu karena aku tidak melihatnya. Tapi kalau saja kalian mau memperhatikan lebih jauh, tanda yang kalian berdua miliki terlalu Nefenip. Dan itulah tanda asli dari pasangan vampir, tato kuno dengan detail yang sama.” Aleandro dan Amelia saling memandang dan kemudian memeriksa tanda pasangannya masing-masing sebelum tawa keras meluncur dari mulut Aleandro. “Demi Tuhan! Aku terlalu frustasi untuk menyadarinya, Amelia. Aku sudah memutuskan akan menghabisi Conrad untuk memilikimu begitu dia mengatakan kalau kau sudah menjadi miliknya. Status pernikahan di dunia vampir bisa diputuskan dengan mudah saat pasanganmu mati, dan itulah yang kuincar saat menghadapi Conrad.”ujar Aleandro cepat. Ingatan itu terputus saat tangan Gabriella menyusup di balik selimut dan memelukku. “Dia benar-benar menguji kesabaranku.”desisku kesal tapi tetap tidak bergerak, tidak ingin membangunkannya dan aku terlalu menyukai sentuhannya di kulitku. Aku menyukai momen ini karena aku masih normal dan menyukai wanita.bisikku dalam hati sambil menahan nyeri di bagian tubuhku yang paling tidak bisa diajak bekerja sama. ~*~ Karena dia baru tertidur saat dini hari, Gabriella baru terbangun saat matahari berada di puncak, dan itupun dengan proses yang sedikit dramatis. Gabriella mengerang pelan sebelum membuka matanya, kaki dan tangannya melilit di tubuhku. Dan saat kelopak matanya terbuka perlahan, aku tidak bisa menahan diri lagi untuk menciumnya. Bibirku menyentuh bibirnya, melumatnya dengan hasrat tertahan sepanjang pagi akibat gerakan-gerakannya dalam tidur. Aku membaringkannya hingga terlentang dan menahan tubuhnya diantara kasur dan tubuhku. Aku melepaskan ciuman kami dan beranjak ke wajah dan lehernya, berlama-lama menikmati kehangatan lekukan tulang selangkanya sebelum kesadaran memenuhi inderanya. Dengan tenaga yang entah didapatnya darimana, dia mendorongku hingga terlentang di kasur sementara dia melompat dan menjerit di saat bersamaan. Gerakannya terlalu cepat untuk ukuran manusia, dan itu membuatku tertawa geli. “K,Kau bilang... Kau bilang kau tidak meniduri wanita saat tidak sadar!”tuduhnya sinis sambil menatapku tidak percaya. “Kalau yang kau maksud adalah ketelanjanganku saat ini maka kau harus tahu kalau aku terbiasa tidur tanpa mengenakan apapun, luv.”ujarku ringan. “Dan bukan aku yang pertama kali menggodamu, tapi kau.” “Aku?” “Kau memelukku, melilitkan tangan dan kakimu di tubuhku. Aku masih pria normal, luv. Tidur dengan wanita tapi tidak menyentuhnya jelas sudah membuat pengendalianku menipis.” “Kau tidak malu?” “Malu? Dengan segala yang kumiliki?”tanyaku balik sambil menunjuk tubuhku sendiri yang langsung membuat pipinya merona. Sialan wanita ini! “Kenapa kau menciumku?” “Kenapa kau tidur dengan gerakan-gerakan menggoda sepanjang malam sambil memelukku?” Mata Gabriella membelalak, membuat warna matanya kembali berubah. Kini warna abu-abu pucat lebih mendominasi bola mata itu. “A, a, aku melakukan apa?”cicitnya tidak percaya. “Kau memelukku sepanjang malam dan bergerak resah hingga membuatku ingin menidurimu saat itu juga kalau saja aku memang punya sifat suka meniduri wanita yang tidak sadar, luv.” “Tidak mungkin!” Aku mengangguk paham dengan sikapnya. “Percayalah. Kau bisa menuduhkan sikap buruk apapun padaku selain pembohong. Aku tidak pernah berbohong.”ujarku jujur. Dan itu memang benar. Sebagai Anasso, ucapanku lebih berarti dibandingkan sebuah sumpah, dan itu membuatku tidak mungkin mengucapkan suatu kebohongan. Gabriella melilitkan selimut ke sekeliling tubuhnya padahal dia masih mengenakan pakaian tidurnya dan duduk di sofa lembut yang ada di sudut kamar. “Aku semakin bingung, Zac. Kau bilang membutuhkan bantuanku, tapi kau sama sekali tidak mengatakan apapun atau meminta apapun yang bisa kuberikan. Kau juga tidak mengizinkanku keluar seorang diri padahal aku tidak mungkin bisa kembali ke Washington tanpa passportku seolah ada bahaya di luar sana yang sedang mengincarku. Kau juga tidak bersedia memulangkanku ke rumahku. Bisakah kita jujur satu sama lain saat ini? Apa sebenarnya yang kau inginkan dariku?”tanya wanita itu terdengar lelah. Aku bersandar di kepala ranjang, mengabaikan kalau aku masih tidak mengenakan apapun. “Aku sudah mengatakannya, Gabby. Aku membutuhkan kehadiranmu, dirimu disaat yang tepat. Dan karena waktunya belum tiba, aku tidak bisa mengatakan apapun.” “Kenapa kau tidak pulangkan saja aku, Zac? Kau bisa menjemputku lagi kalau waktunya memang sudah tepat.” “Itulah yang tidak bisa kulakukan. Kau mungkin tidak sadar, tapi memang ada bahaya yang sedang mengincarmu.”ujarku pelan. Dan aku-lah bahaya itu, luv. Gabriella menggeleng cepat. “Aku tidak punya musuh, Zac. Aku tidak pernah melakukan kejahatan. Aku selalu berusaha membatasi pergaulanku agar aku tidak terlibat terlalu jauh dengan siapapun. Tidak mungkin ada bahaya yang mengincar wanita biasa sepertiku.” “Kau salah untuk itu, luv. Kau wanita luar biasa. Percayalah kalau aku tidak akan pernah tertarik dengan wanita yang biasa-biasa saja.”bisikku parau. Gabriella menatapku sejenak sebelum kembali mengalihkan tatapannya kemana saja asal bukan ke arahku. Dia wanita baik-baik. Merona hanya karena melihat tubuh telanjang seorang pria. Tapi itu tidak membuat perbedaan.bisikku dalam hati. Tiba-tiba wajah Gabriella menjadi pucat dan tangannya langsung menekan bagian bawah perutnya, dengan cepat aku menyambar jubah kamar, mengikatnya sembarangan sebelum menghampiri Gabriella. “Apa yang terjadi padamu?” Wanita itu menggeleng cepat. “Tidak ada apa-apa. Hanya sakit perut biasa.” “Kau pucat, luv.” “Percayalah...” “Ada apa?”tanyaku berkeras. “Hanya sakit perut, dan ini selalu terjadi setiap bulan. Siklus bulanan, kau puas?” Setiap bulan? “Astaga. Maafkan aku. Apa kau membutuhkan sesuatu untuk ‘itu’?”tanyaku bingung karena baru kali ini terlibat urusan dengan manusia dan parahnya aku langsung berhadapan dengan wanita yang sedang menstruasi. Gabriella menatapku penuh selidik sebelum mengangguk. “Aku butuh sesuatu. Dan itupun kalau kau atau anak buahmu bisa membelinya.”bisik Gabriella pelan dan aku langsung menyadari apa yang dia maksud dari pikirannya yang malu-malu. “Aku akan meninggalkanmu sendiri dan meminta seseorang mencarikan kebutuhanmu itu. Setelah itu kita akan makan siang karena melihat jam sudah tidak mungkin menyebutnya sebagai sarapan.”ujarku lalu berjalan keluar kamar sambil berpikir siapa diantara ketiga orang itu yang bersedia membelikan pembalut untuk Gabriella. Setidaknya itu bukan masalah besar, awalnya mereka mungkin memang malu, tapi mereka selalu bisa menghipnotis setiap manusia yang melihat mereka seolah tidak terjadi apa-apa. Gampang, bukan? ~*~ Kalau aku berpikir Gabriella adalah wanita yang penurut, maka aku jelas salah. Beberapa hari ini suasana hatinya sangat buruk. Dia memang tidak melampiaskannya padaku, tapi aku kasihan pada ketiga vampir bawahanku. Gabriella sering kali mengomeli mereka bahkan saat tidak melakukan kesalahan apapun. Kalau saja Gabriella bukan masalah penting yang harus mereka jaga baik-baik, aku yakin kalau salah seorang dari mereka pasti sudah mencekik leher wanita itu dan menguras habis darahnya. Dan Harvey-lah mungkin yang paling pertama akan mencoba mencekik Gabriella karena Harvey yang paling sering menjadi pelampiasan Gabriella. Terbiasa menjalani rutinitas menyibukkan selama dua tahun membuat beberapa hari ini terasa membosankan. Aku hanya bisa berkeliling suite, membaca dan mengurus Gabriella. Untuk hal yang terakhir mungkin tidak membosankan karena aku suka memandangi wanita itu dengan segala hal yang dimilikinya. Tapi tetap saja. Tidak ada lagi berkas-berkas yang harus dibaca dan ditandatangani. Tidak ada lagi pekerja yang bisa dimarahi. Tidak juga ada rapat yang harus kuhadiri. Dan itu semua adalah kesalahan Wren karena dia yang mengenalkanku pada semua kesibukan ini. “Aku bosan!”seru sebuah suara memecah lamunanku. Aku juga.jawabku spontan di dalam hati. Aku berbalik, mengalihkan perhatianku dari jendela yang menghadap lalu lintas Dallas ke sesosok tubuh mungil yang kini duduk di sofa lembut tidak jauh di belakangku. “Ada apa lagi, luv? Apa kau sudah bosan memarahi anak buahku dan sekarang mengganti targetmu menjadi aku?”tanyaku pelan. Gabriella menatapku sejenak sebelum mengangguk. “Ide bagus.”gumamnya. “Zac... Aku tidak bisa seperti ini terus. Aku terbiasa memiliki banyak hal untuk kulakukan. Membersihkan rumah, mengurus tanaman, pergi bekerja, berbelanja dan banyak hal lainnya. Tapi lihat apa yang aku lakukan selama seminggu ini? Tidak ada, Zac. Dan aku bosan. Kau memang membawaku jalan-jalan sesekali tapi itu tidak cukup. Aku butuh melakukan sesuatu. Tidak bisakah kau membawaku pulang dan menjemputku lagi saat kau memang membutuhkan bantuanku?” “Berapa kali aku harus menjelaskannya padamu, luv? Aku tidak bisa melakukannya.” “Tidak bisa atau tidak mau? Ada perbedaan besar diantara keduanya, Zac.” Aku terdiam. “Aku tidak mau.”ujarku cepat. “Ada banyak sekali bahaya yang mengancammu di luar saat ini, luv. Apalagi setelah kau menghabiskan waktu bersamaku. Percayalah, keamananmu lebih terancam daripada presiden Amerika saat ini.” “Dari apa? Apa kau seorang pembunuh massal? Pembunuh berantai? Bandar narkotika? Atau mafia? Kenapa aku harus terancam bahaya setelah bersamamu? Kita bahkan tidak melakukan apapun.” “Kau berubah, ya?”bisikku tiba-tiba. “Apa maksudmu?” “Aku pikir kau wanita pemalu, pendiam dan lembut. Tapi beberapa hari ini kau cukup pemarah, penuntut dan ribut.” “Itu karena aku muak dengan semua ini, Zac! Dan jangan mengalihkan pembicaraan. Kenapa keamananku harus terancam? Apa kau salah satu dari yang kusebut tadi?”tanya Gabriella kesal. Aku bahkan lebih berbahaya dari itu semua. “Kita akan segera pergi, luv. Kau ingin kesibukan? Maka kau akan mendapatkannya. Di tempat yang akan kita tuju kali ini, kau akan mendapatkan banyak kegiatan.”ujarku kembali mengabaikan pertanyaannya. Apa yang harus kujawab? Kalau aku lebih berbahaya dari semua itu karena aku adalah vampir? Atau yang lebih buruk, raja para vampir? “Pergi lagi? Kemana lagi kau akan membawaku kali ini? Kita sudah menjelajahi tiga negara bagian dalam waktu satu minggu. Apa kau akan membawaku ke benua lain kali ini?”tanya Gabriella terdengar frustasi dan siap meledak kapan saja kalau aku tidak pintar menyikapinya. “Tepat sekali. Kali ini kita akan ke London.”ujarku tenang.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN