5

3127 Kata
*Author POV* Dibesarkan dengan kasih sayang membuat Gabriella tumbuh menjadi wanita ramah yang sopan dan penuh kasih. Tidak pernah ada hal yang bisa membuatnya lepas kendali. Bahkan saat tunangannya muncul dan mengungkapkan beberapa fakta mengejutkan, Gabriella tetap berusaha berpikir yang terbaik dari semuanya. Gabriella juga tidak mudah menyerah, itu yang membuatnya menjadi sekretaris kepercayaan hingga saat ini. Tapi apa yang terjadi seminggu terakhir ini membuat kendali dirinya lepas. Dipaksa menghadapi satu situasi ke situasi lain tanpa diberi kesempatan untuk menyesuaikan diri jelas membuat kesabaran Gabriella mencapai batas akhir. “Aku tidak mau menjadi tawananmu, Zac!”seru Gabriella saat pesawat berhasil mendarat dengan selamat di bandara Heathrow hampir tengah malam. “Kau bukan tawanan, luv. Kau tamuku.”ujar Zac tenang. “Aku tidak ingin dikurung lagi di kamar.” “Kapan aku pernah melakukannya?”tanya Zac cepat. “Aku akan membuatmu menyesal sudah melakukan ini padaku. Aku ingin pulang, Zac!”sembur Gabriella lagi saat pesawat sudah benar-benar berhenti dan pintu pesawat telah dibuka. “Kalau bisa aku pasti akan memulangkanmu, luv. Tapi aku tidak bisa. Kau harus bersabar seminggu lagi. Setelah itu kau akan mendapatkan kebebasanmu lagi.” “Demi Tuhan! Seminggu lagi menjalani hidup seperti ini aku pasti akan gila!” “Kemunculan yang dramatis, Zac.”ujar sebuah suara yang berhasil menarik perhatian Zac dan Gabriella. Wren berjalan mendekati pesawat dengan senyum geli di wajahnya. Mengenakan celana jeans hitam dan kaos hitam tanpa lengan yang dipasangkan dengan jaket coklat tebal membuat pria itu terlihat muda dan segar. Tidak akan ada yang mengira kalau pria itu adalah vampir berusia ratusan tahun. “Selamat datang di London, Ms. Hudson.”ujarnya lagi. Gabriella yang sudah menuruni tangga tiba-tiba berjongkok dan kemudian menangis histeris. Baik Wren maupun Zac keduanya benar-benar terkejut melihat apa yang terjadi dan hanya bisa saling memandang dengan bingung. Sudah cukup apa yang dialaminya seminggu ini. Sudah cukup dia bertemu dengan orang-orang asing tapi sudah mengetahui segala hal tentangnya dengan baik seolah dia sudah tidak memiliki privasi apapun. Zac sudah akan menghampiri Gabriella saat sebuah suara menahannya. “Biar aku yang menenangkannya.”ujar Lily yang entah sejak kapan sudah bergabung bersama mereka dan menghampiri Gabriella. “Apa kau baik-baik saja?”tanya Lily lembut. “Baik-baik saja?”ulang Gabriella diantara isak tangisnya. “Tidak... Aku tidak baik-baik saja... Aku frustasi! Semua ini... Asing.”ujarnya kacau tanpa berniat untuk berhenti menangis. Lily yang sudah bergabung berjongkok bersama Gabriella menepuk punggung wanita itu lembut. “Tenanglah... Ayo masuk ke mobil dan kau bisa menceritakan semuanya padaku.”bujuk Lily lembut sambil membantu Gabriella berdiri. Lelah dengan semua keadaan di sekelilingnya membuat Gabrielle menerima bantuan Lily dan mengikutinya berjalan menuju sebuah limosin putih yang sudah menunggu mereka. Begitu tiba di dalam limosin, Lily mengulurkan sekotak tissue dan sebotol air mineral. “Tenangkan dirimu.”ujar Lily lembut. Gabriella mengangguk dan mengambil tissue untuk membersihkan wajahnya dari airmata. Dan untuk pertama kalinya dia melihat Lily dengan jelas. “Siapa kau?”tanya Gabriella parau akibat tangis histerisnya tadi. “Kau bisa memanggilku Lily. Suamiku teman dekat Zac.”ujarnya ringan. “Dimana pria itu? Aku harap dia tidak bergabung disini.” “Untuk menjawab pertanyaanmu agar kau bisa tenang, tidak, Zac dan suamiku tidak akan bergabung bersama kita.”jawab Lily lalu menambahkan, “Apa yang terjadi? Kenapa kau menangis sampai seperti itu?”tanya Lily cepat. “Aku tidak tahu. Aku hanya muak dengan semua yang terjadi seminggu terakhir. Rasa sesak itu memenuhi dadaku, dan begitu melihat pria itu menghampiri Zac, aku merasakan dorongan kuat untuk menangis. Semua ini menyesakkan. Dibawa dari satu tempat ke tempat lain, dari satu situasi ke situasi lain yang tidak kukenal. Bertemu dengan banyak orang asing yang mengetahui segalanya tentangku. Semua penerbangan dengan jet pribadi itu... Demi Tuhan! Sepanjang hidupku baru bersama Zac aku naik jet pribadi.” Lily menggenggam tangan Gabriella dan meremasnya lembut. “Percayalah aku tahu perasaan itu.” Gabriella langsung mengangkat kepalanya dan menatap Lily. “Kau? Aku tidak percaya.” “Aku pernah mengalami situasi dimana selama 22 tahun hidupku aku selalu memiliki kehidupan yang teratur, tapi tiba-tiba segalanya berubah drastis. Aku pernah mengalaminya, sayang. Dan aku tahu bagaimana cara mengatasinya supaya ini tidak terlihat terlalu buruk.”ujar Lily lembut lalu tersenyum yang membuat Gabriella sedikit tenang. Sangat drastis. Apa yang kau anggap hanya legenda tiba-tiba menjadi fakta tepat di depan hidungmu.pikir Lily kemudian. “Zac bilang dia membutuhkan bantuanku. Tapi dia sama sekali tidak mengatakan apapun. Dia hanya membawaku dari kota ke kota lain hingga ke tempat ini. Aku frustasi, Lily. Dia melangkah memasuki hidupku dengan sesukanya tanpa memperdulikanku dan tidak membiarkanku mengendalikan hidupku lagi.” “Aku tidak terlalu dekat dengan Zac, Wren-lah yang lebih mengerti tentangnya. Tapi kalau ada satu hal yang bisa kupastikan padamu itu adalah fakta kalau Zac tidak pernah berbohong. Kalau dia mengatakan dia membutuhkan bantuanmu, maka memang itulah yang dia butuhkan.”ujar Lily tiba-tiba menjadi serius. Gabriella mengangguk paham. Dia hanya diam sambil menikmati pemandangan malam di London. Lampu-lampu jalan, mobil, dan bangunan membuat London terang benderang bahkan di malam hari. Lalu lintas masih ramai saat mereka melintasi Baywaster tapi mulai sedikit begitu memasuki Wellington Road. Dan saat itulah Lily menyadari kalau mobil mereka diikuti oleh dua mobil hitam lainnya. Lily lebih dulu menyadari itu karena limosin mereka berada paling belakang, sementara Zac dan Wren ada di mobil di depan mereka. “Gavriel?”panggil Lily pada orang yang duduk di sebelah pengemudi limosin. “Ya, Lily?” “Apakah kita ada anggota baru?”tanya Lily sambil melirik ke belakang, membuat Gavriel juga menyadari mobil yang mengikuti mereka itu. “Tidak, Lily. Tenang saja.”ujar Gavriel ringan. “Ada apa?”tanya Gabriella bingung sambil memutar tubuhnya untuk melihat ke kaca belakang sebelum Lily sempat menahannya. “Apa kita diikuti?”tanya Gabriella terdengar mulai cemas. Lily langsung tersenyum. “Tenang saja. Tidak akan terjadi apapun.”ujar Lily yakin. “Sudah lama aku ingin bertanya pada orang lain yang mengenal Zac. Siapa dia sebenarnya? Setiap kali aku bertanya siapa dia, dia hanya menjawab kalau dia adalah Zac.”ujar Gabriella pelan. Tentu saja dia menjawab seperti itu. Bagi ras-nya, tidak ada yang tidak mengenal nama itu. Tidak perlu penjelasan lebih jauh mengenai si pemilik nama. Lagipula kau tidak akan berharap mendengar dia mengenalkan dirinya sendiri sebagai sang Anasso, raja para vampir, bukan?sahut Lily hanya di dalam hati. “Dia tidak terbiasa mengenalkan dirinya.” “Apa seharusnya aku tahu siapa dia?”tanya Gabriella terdengar menyesal “Tidak juga.”sahut Lily cepat. Tidak karena kau bukan kaum mereka tapi ya kalau kau adalah kaum mereka. Karena suatu penghinaan bila kau tidak mengenal rajamu sendiri.bisik Lily dalam hati. “Apa kalian terlibat sesuatu yang melanggar hukum?”tanya Gabriella tiba-tiba. “Kenapa kau menanyakan hal itu, Gabby?”tanya Lily bingung. “Oops, tidak masalah aku memanggilmu Gabby, bukan? Aku pikir Gabriella terlalu panjang untuk diucapkan.” Gabriella mengangguk pelan. “Entahlah. Zac selalu mengatakan kalau aku berada dalam bahaya dan aku tidak mengerti. Apalagi melihat mobil di belakang kita. Aku yakin kalau kita diikuti.”ucap Gabriella. “Kau pasti bermimpi, Gabby. Tidak ada mobil yang mengikuti kita.”ujar Lily penuh percaya diri. “Lihatlah.”sambungnya sambil mendorong Gabriella untuk melihat ke belakang melalui kaca. Dan benar saja, dua mobil yang tadi mengikuti mereka sudah lenyap. “Tidak mungkin. Aku yakin sekali kalau tadi ada dua mobil yang mengikuti kita!” “Mungkin mereka hanya kebetulan berada di belakang kita dan berbelok di suatu tempat.” Gabriella menggeleng cepat, sesaat Lily takut kepala wanita itu akan lepas. “Tidak ada persimpangan. Hanya ada pohon sepanjang jalan. Tidak mungkin mereka berbelok.” “Berarti kau hanya bermimpi.”ujar Lily datar. “Tidak. Aku tidak bermimpi.”ujar Gabriella berkeras. Lily mengulurkan tangannya dan mengelus rambut panjang Gabriella, mengusap pipi Gabriella dengan ibu jarinya sebelum menatap mata wanita itu. Berbeda dari vampir yang menghipnotis dengan mata hijau zamrud mereka, Lily menghipnotis dengan sentuhannya. “Kau bermimpi. Karena itu tidurlah.”bisik Lily dan Gabriella pun langsung jatuh tertidur. “Apa sudah tidak ada masalah?”tanya Gavriel sambil menoleh ke belakang. “Aku seperti penjahat, Gavriel.”bisik Lily sambil mengatur kembali posisi duduk Gabriella hingga berbaring di kursi limosin yang cukup panjang itu. “Aku tidak ingin melakukan ini padanya. Tapi dia sudah terlalu shock dengan semua kejadian yang dialaminya, menambah fakta kalau kita diikuti oleh sekelompok mafia tidak membuatnya lebih baik.”sambung Lily. “Kau benar. Mereka mafia, dari kelompok terakhir yang dihalangi Wren untuk mengedarkan narkotika di London. Tapi mereka hanya manusia. Percayalah, aku tidak percaya kalau kita berurusan dengan mafia.”ujar Gavriel kembali duduk dengan rapi di kursinya. “Apa kalian membunuh mereka?” “Entahlah, Lily. Sejak mafia mulai memasuki Inggris dan mengedarkan heroin, Wren membentuk tim sweeper yang bertugas membersihkan semua tikus-tikus itu.” “Vampir atau manusia?” “Campuran, Lily, seperti biasa.”ujar Gavriel cepat. “Aku curiga kalau Wren punya misi untuk menyatukan vampir dan manusia dalam satu komunitas yang sama.”bisik Gavriel kemudian. “Aku harap tidak ada yang terbunuh.” “Kau masih saja sebaik ini setelah hampir 4 tahun menikah dengan Wren.” “Karena sampai sekarang masih ada darah manusia di dalam tubuhku.”sahut Lily datar. ~*~ “Jadi, kapan pertemuan itu akan diadakan, Eliza?”tanya Zac saat mereka semua, kecuali Gabriella berkumpul di perpustakaan Acasa Manor. Ruangan yang terdiri dari dua lantai dengan interior di d******i warna-warna kayu alami. Satu set sofa kulit hitam di tengah ruangan lantai satu, satu set meja kerja di sudut lainnya dan barisan rak-rak buku memenuhi dindingnya hingga ke langit-langit. Lantai dua ruang itu hanya ditujukan untuk mengambil dan mengembalikan buku, sama sekali tidak ada sofa untuk membaca disana. “Akhir minggu ini di Pentonville Road. Tempatnya akan diberitahukan beberapa jam sebelum pertemuan.”ujar Eliza sambil memangku Axel, anak laki-lakinya yang sudah berusia dua tahun. “Kalau begitu, Gabriella akan tetap disini sampai saat itu. Pertanyaannya adalah apakah aku bisa mendapat jaminan kalau dia tidak akan hilang mengingat keinginannya untuk kembali ke Washington semakin hari semakin besar.” “Kau tidak bisa menyalahkannya, Zac. Dia dibesarkan sebagai manusia, dia tidak pernah tahu kalau ada makhluk non manusia di dunia ini. Saat ini yang dia butuhkan adalah dukungan dan teman. Aku yakin kalau dia bisa mendapatkan teman, dia tidak akan terlalu terobsesi untuk kembali ke Washington.”tukas Lily cepat. “Ayo sini, Axel Arisaka, main dengan Ma.”ucap Lily kemudian sambil mengulurkan tangannya pada anak laki-laki berambut hitam lebat dan ikal itu. Bocah laki-laki itu berjalan perlahan menuju tempat Lily berlutut sambil menyeringai, memperlihatkan deretan pendek gigi putih bersih yang belum tumbuh seluruhnya. “Kami akan berusaha membuatnya nyaman disini, Zac. Lagipula tidak ada yang bisa keluar dari Inggris tanpa diketahui oleh Wren.”ujar Amelia tenang sambil bersandar di kursinya sementara suaminya, Aleandro, duduk di lengan kursi dengan tangan memeluk bahu Amelia. Zac mengamati ketiga wanita yang kini sudah menjadi pasangan para makhluk non manusia itu. “Dia bisa bersikap buruk.”ujar Zac datar. “Tidak ada yang lebih menyusahkan dibandingkan Lily dan Amelia.”ujar Aleandro dan Wren bersamaan. Aleandro dan Wren saling pandang sebelum tertawa bersama. Dan diam-diam Zac mengangguk pelan, diantara ketiga wanita itu, memang Lily dan Amelia-lah yang paling sering membawa masalah. Mungkin Eliza bisa saja bersikap seperti kedua temannya itu, tapi mempunyai anak jelas membuat pasangan sang malaikat itu bersikap jauh lebih baik dibandingkan kedua temannya. “Aku sudah mengerti apa yang Wren rasakan setiap kali Lily mengabaikan larangannya. Aku nyaris mengikat Amelia di ruang bawah tanah rumah kami hanya untuk menahannya agar tidak mengikutiku berburu.”gumam Aleandro sambil menyeringai pada Wren. Wren memberikan tatapan ‘akhirnya kau tahu rasa’ pada Aleandro. “Kau bisa tenang, Zac. Kami akan menjaganya. Kau tidak meragukan kemampuan kami, bukan?”ujar Lily lagi sambil tersenyum penuh kasih pada Axel yang kini sudah bermain dengan sayap Lily di lantai perpustakaan. Dengan satu gerakan ringan, Lily menyapukan tangannya ke udara tak kasat mata di punggung Axel hingga sepasang sayap mungil muncul di punggung anak itu. “Menurut kalian, kapan dia bisa belajar terbang?”tanya Lily sambil mengagumi sepasang sayap putih dengan bercak biru lembut itu. “Begitu dia sudah bisa berjalan dengan lancar, kami akan mengajarinya terbang.”sahut Eliza terdengar bangga dengan anak laki-lakinya. Zac memperhatikan keceriaan di ruangan itu dalam keheningannya sendiri saat sebuah tangan menyentuh bahunya. Tanpa melihatpun Zac tahu kalau orang itu adalah Wren. “Kau merindukan mereka bukan?”tanya Wren pelan, hanya bisa didengar oleh Zac seorang. Zac tahu percuma saja berbohong pada Wren, karena walaupun pikiran Zac aman dari kemampuan Wren membaca pikiran, tapi hatinya tidak. Dengan enggan Zac mengangguk pelan. “Sudah sangat lama. Tapi terkadang aku masih bisa merasakan sakitnya, Wren. Seolah semuanya baru saja terjadi kemarin. Dan kalau sakit itu datang, aku ingin sekali menghancurkan mereka.” “Kau sudah melakukannya. Menghancurkan ras mereka dan hanya mereka yang memohon pengampunanmu yang bisa selamat. Ingatlah kalau ras mereka yang sekarang sudah tidak ada hubungannya lagi dengan kejadian itu. Dan kalau dipikir-pikir, mereka yang hidup saat ini berhutang nyawa padamu. Kau yang memberikan mereka kesempatan untuk hidup.” “Aku tahu.”bisik Zac pelan. “Kau tahu, saat seusia itu, Kean bahkan sudah bisa berjalan dengan lancar, giginya sudah tumbuh semua.” “Aku tahu, Zac. Keandre adalah anak yang menakjubkan. Sulit untuk melupakan anak sepintar itu.” “Menurutmu apa Navaro mengizinkanku untuk menyentuh anaknya? Masihkah dia membenci kaum kita?”tanya Zac sambil memperhatikan Axel yang sibuk bergelayutan di sayap abu-abu gelap milik Lily. Wren tersenyum. “Tentu saja. Navaro mungkin sedikit keras kalau berhubungan dengan vampir, tapi kita pengecualian. Kau ingin bermain dengan Axel?”tanya Wren balik. “Aku ingin membawanya ke halaman belakang, kalau diizinkan.” “Silakan saja.”sahut Navaro tiba-tiba sambil menatap Zac. “Aku percaya pada semua orang yang dipercayai Wren.”sambungnya ringan. Eliza menatap suaminya terkejut lalu meremas tangan Navaro lembut. Semua orang tahu kalau Navaro masih tidak menyukai ras vampir sama besarnya dengan rasa suka vampir pada malaikat, tapi selalu ada pengecualian bahkan untuk sang Cerubhim. Dan pengecualian dalam kebencian Navaro adalah klan Libra dan para sahabat Wren. Bahkan Navaro bisa memaafkan Aleandro yang sudah membunuh Sulli. “Tapi jangan lama-lama, kami harus segera kembali ke Dragoste Hall, beberapa inspektor akan datang melihat perkembanganku.”ujar Eliza tanpa berniat memamerkan statusnya yang baru sebagai malaikat ciptaan Navaro. Zac mengangguk pelan lalu menghampiri Lily sebelum berlutut di dekat Axel. “Kemarilah, pria tampan. Ayo kita bermain layaknya laki-laki.”ujar Zac sambil mengulurkan tangannya pada Axel. Dengan langkahnya yang kecil-kecil, Axel berjalan menghampiri Zac dan masuk ke dalam pelukan sang raja vampir itu. Zac bangkit dengan gerakan yang sangat anggun bahkan dengan seorang bocah laki-laki dalam pelukannya. Lily yang bangkit beberapa saat kemudian kembali menyapukan tangannya ke sayap mungil Axel dan membuat sayap itu tak kasat mata. Axel mungkin keturunan sang malaikat, tapi dibesarkan diantara para vampir membuatnya menyukai para makhluk penghisap darah itu. “Dia akan menjadi anak yang manja.”gumam Navaro sambil menatap anak laki-lakinya dengan kelembutan seorang ayah. “Bayangkan saja dengan siapa dia dibesarkan...”sambung Navaro sambil menyapukan pandangannya ke semua orang yang ada di ruangan itu. Zac hanya mengedikkan bahunya dan kemudian berjalan keluar perpustakaan dengan Axel di dalam gendongannya. Zac menggumamkan beberapa kata yang membuat Axel tertawa terkikik dengan suaranya yang kecil. Melihat pemandangan langka itu, Wren hanya tersenyum kecut saat matanya beradu pandang dengan Aleandro yang juga memikirkan hal yang sama. Dulu sekali, saat Wren baru menjadi vampir muda, mereka pernah melihat pemandangan yang sama. Suara tawa Zac saat menggendong anak laki-laki mungil. Hanya saja yang berada di dalam gendongan Zac saat itu adalah anak laki-lakinya sendiri, Keandre. ~*~ *Gabriella POV* Sekali lagi aku terbangun di kamar yang benar-benar asing bagiku. Hanya saja kali ini tidak ada Zac di sisiku. Kamar ini benar-benar indah. Nuansa coklat lembut dan putih mendominasi perabotannya. Kandelir Kristal tergantung di langit-langit. Meja, sofa kayu, nakas, lemari dan meja rias semuanya terlihat seperti peninggalan zaman dahulu yang begitu berharga. Aku duduk dan mengamati kamar ini sekali lagi. Tempat tidurnya begitu besar dengan kepala ranjang cukup tinggi berlapis bantalan empuk. “Hotel.”gumamku pasrah lalu bangkit dari ranjang, memakai jubah kamar dan berjalan menuju jendela, membuka tirai dan membiarkan cahaya matahari pagi menyelinap masuk ke dalam kamar. Saat itulah aku sadar kalau aku tidak berada di hotel. Padang rumput luas memberikan pemandangan kehijauan yang dilengkapi dengan barisan pepohonan yang mengelilinginya. “Indahnya.”bisikku pelan sambil membuka jendela dan berdiri di beranda untuk menikmati pemandangan itu. Udara dingin menerpa kulitku yang tidak tertutup jubah, membuatku mengetatkan ikatan jubah kamar di pinggangku. Dari tempatku berdiri, aku bisa melihat undakan di lantai bawah dan mengamati bagian rumah itu. Rumah yang besar. Atau jangan-jangan ini istana? Sekelebat bayangan terlihat menuruni undakan menyita perhatianku. Dan aku yakin sekali kalau orang itu adalah Zac. Tidak ada orang lain yang bisa membuatku bergidik hanya dengan melihat sosoknya, bahkan tidak dengan tunanganku. Hanya saja dia tidak sendirian. Zac sedang menggendong seorang bocah berambut hitam. Entah apa yang mereka lakukan tapi aku bisa mendengar suara tawa Zac yang langsung membuat lututku lemas. Dia mempesona hanya dengan berdiri diam. Dia bisa membuat wanita o*****e dengan suaranya. Dan dengan tawanya, aku bahkan serasa di surga.pikirku seenaknya. Tapi kenapa dia jarang tertawa kalau suara tawanya begitu menyenangkan? Bukankah dia pria yang sangat beruntung? Bagaimana bisa dia memiliki segalanya seperti ini? Pesawat jet, rumah mewah, pengawal dan segalanya?  Entah berapa lama aku mengamati Zac bermain dengan bocah itu sampai seorang wanita cantik menghampiri mereka. Zac tersenyum pada wanita itu lalu menyerahkan si bocah ke pelukan wanita itu sebelum mereka bertiga berjalan bersama kembali ke dalam rumah. “Keluarga yang harmonis.”bisikku pelan lalu masuk kembali ke dalam kamar tepat saat pintu kamarku diketuk seseorang. “Masuk.” Lily membuka pintu dan melangkah masuk. Tangannya membawa cukup banyak kantong kertas sebelum meletakkan barang-barang itu di atas meja. “Zac sudah mengatakan ukuran pakaianmu, jadi aku meminta langganan kami untuk menyiapkan pakaian ganti untukmu. Aku tidak tahu seperti apa seleramu, karena itu aku membawa beberapa yang menurutku cantik dan sesuai untukmu.”ujarnya sambil melirik kantong-kantong di atas meja. “Terima kasih. Aku tidak tahu harus berkata apa selain terima kasih. Aku tidak membawa pakaian atau barang apapun.”ujarku pelan. Tiba-tiba Lily menghampiri dan memelukku. “Santai saja, Gabby. Kau bebas melakukan apapun dirumahku, dan aku akan selalu menemanimu. Kita akan berteman baik bukan?”tanyanya ringan. Aku mengangguk dan Lily tersenyum puas begitu melepaskan pelukannya. “Mandilah. Aku akan menunggumu di bawah. Setelah sarapan kita akan berkeliling London.”ujarnya bersemangat lalu meninggalkanku sendirian.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN