3

3447 Kata
*Zac POV* Aku tidak terbiasa menghadapi wanita seperti ini. Sudah terlalu lama aku tidak bersikap layaknya seorang pria dihadapan seorang wanita. Tapi aku harus melakukan ini. Aku harus membawa Gabriella menjauh dari kehidupannya yang dulu sampai tiba waktunya ‘orang itu’ menyadari kalau Gabriella tidak ada. Kalau informasi yang didapat Wren benar, maka dia akan melakukan apapun untuk Gabriella. Dan itulah yang kubutuhkan, d******i ras-ku di dunia karena hanya dengan hal itu perdamaian bisa tercapai. Untuk itu, pengorbanan ini tidak ada apa-apanya. Lagipula, aku tidak takut untuk mendekati wanita manapun, tidak takut akan kemungkinan memiliki pasangan karena hal itu sudah pernah kujalani. Jadi aku tidak akan mungkin kembali berpasangan karena cintaku sudah mati bersamanya. Aku masih menemani Gabriella makan siang saat pikiran Harvey memasuki pikiranku. Ada werewolf disekitar tempat ini, sire. Pastikan kalau mereka tidak memasuki gedung ini, Harvey. Mereka akan merasakan keberadaan kita kalau mereka sampai masuk ke tempat ini, dan walaupun dia masih merahasiakan keberadaan Gabriella, mereka pasti akan curiga melihat aku ada di tengah-tengah manusia. Baiklah, sire. Saya akan mengalihkan perhatian mereka, Jaye sudah menunggu anda di basement. Aku mengerti. Berhati-hatilah, Harvey. Terima kasih, sire. Yang aku cemaskan bukan hanya keberadaanku diketahui mereka, tapi juga kenyataan kalau tiga vampir berkeliaran di tengah hari berarti bencana. Matahari tidak pernah benar-benar menjadi musuh bagi kaumku, matahari hanya menjadi musuh bagi mereka yang baru menginjakkan kaki di kehidupan tanpa akhir ini. Bagi klanku, yang sudah hidup jauh lebih lama daripada keberadaan negara ini, matahari sudah menjadi teman kami_walau masih dalam batas tertentu. Dan fakta itu juga diketahui oleh seluruh bangsa non manusia, vampir yang bisa berkeliaran saat matahari berada di puncak adalah vampir-vampir tingkat tinggi. Kenyataan itu saja sudah cukup untuk menimbulkan kecurigaan tanpa harus di tambah dengan kehadiranku diantaranya. “Kau sudah selesai?”tanyaku tenang, berusaha tidak menunjukkan apapun pada Gabriella. Wanita itu mengangguk pelan membuat rambut hitamnya yang diikat bergoyang lembut. Aku memanggil pelayan dan menyerahkan kartu kredit pada mereka. Beberapa saat kemudian kami berdua sudah berjalan keluar dan langsung masuk ke dalam lift yang mengantarkan kami langsung ke basement. Jaye langsung menjemput kami di depan pintu basement dan kamipun berkendara keluar dari Brunswick Plaza. “Kemana Harvey, Jaye?”tanya Gabriella sambil mencondongkan tubuhnya ke depan. “Duduklah, kau bisa menyebabkan kecelakaan serius saat tubuh mungilmu itu tersungkur ke depan saat dia mengerem mendadak.”bisikku. Gabriella kembali duduk dan menatapku. “Kemana orangmu yang satu lagi?”tanyanya penasaran. “Harvey sedang melakukan sesuatu. Lupakan saja tentang dia. Sekarang, kemana kau ingin pergi, luv?” Gabriella mengedikkan bahunya. Dia memutar tubuhnya hingga menghadap ke jendela. “Bangunan apa itu, Zac?”tanyanya sambil menunjuk sebuah gedung besar yang sedang ramai dikunjungi masyarakat. “Civic Opera House.” Gabriella langsung menatapku dengan mata berbinar. Dan untuk pertama kalinya aku mempertanyakan apa warna bola mata wanita ini sebenarnya? Saat ini matanya terlihat berwarna hijau lembut dengan bintik-bintik abu-abu yang selama ini tidak pernah kusadari. “Apa kita bisa kesana?”tanyanya cepat. “Mereka baru menjual tiket, luv. Acaranya baru akan diselenggarakan nanti malam.” “Jadi mereka berduyun-duyun hanya untuk membeli tiket opera?” “Ya. Aku pikir mereka sedang ada promo sesuatu hingga masyarakat yang datang bisa sebanyak itu. Tapi bisa saja aku salah mengingat Chicago merupakan kota langganan yang selalu dikunjungi beberapa kelompok opera.” Gabriella mengangguk pelan. “Apa nanti malam kita bisa pergi? Kau tidak harus ikut kalau tidak bisa. Aku bisa pergi sendiri atau bersama Harvey atau Jaye.” Bisakah kami keluar lagi nanti malam? Rasanya akan berbahaya kalau kami keluar lagi nanti malam sedangkan siang ini saja ada kemungkinan makhluk non manusia selain vampir merasakan keberadaan kami. Dan akan menjadi masalah kalau para werewolf-lah yang menyadari keberadaan kami. “Master?”panggil Jaye memecah lamunanku tentang apa yang akan terjadi kalau aku mengabulkan permintaan Gabriella. “Ada apa?” “Archard menelpon saat anda sedang di Brunswick.” Apa yang dia katakan, Jaye? Wren ingin anda membebaskan wanita itu sebelum terjadi masalah. Hanya itu? Ya, Master. Melepaskan Gabriella? Yang benar saja! Setelah apa yang kukorbankan selama ini? “Kita berkeliling, Jaye. West Wacker-Michigan-East Chicago-George Halas baru kembali ke Gold Coast.”ujarku pelan sembari menyebutkan nama jalan-jalan yang harus dilalui Jaye, “Kita akan berkeliling, luv, sebagai ganti karena nanti malam kau tidak bisa keluar. Sore ini kita akan terbang ke Dallas.” “Lagi? Sebenarnya kemana kau akan membawaku?” “Kau akan tahu nanti. Kau cukup tahu kalau kita tidak bisa berlama-lama di suatu tempat, luv.” ~*~ Tidak ada masalah sejak pertama kali aku membawa Gabriella bersamaku. Bahkan kami terbang ke Dallas tanpa masalah yang berarti selain kenyataan kalau izin penerbangan pribadi di malam hari jauh lebih sulit sehingga Archard harus menghipnotis petugas itu untuk mendapatkan izin terbang. Tapi ternyata ada lebih dari masalah yang menanti kami di landasan di Dallas. Bahkan tanpa perlu menunjukkan wujudnya aku sudah menyadari siapa yang menunggu kami di landasan pesawat. Energi yang menyatu di udara terlalu alami untuk dimiliki oleh makhluk non manusia selain dari jenisnya. Dan salahku adalah melupakan kalau Dallas adalah kota yang paling sering dikunjungi oleh makhluk itu. Aku turun dari pesawat diikuti oleh Gabriella dan ketiga klan Ursa-ku hanya untuk mendapati kalau ada mobil lain yang menunggu disana selain limosinku. Seorang wanita mungil berambut ikal coklat keluar dari salah satu mobil dan menghampiri kami. “Senang sekali melihat tamuku kali ini.”ujarnya lembut. “Sungguh membanggakan untukku karena wanita cantik sepertimu bersedia menyediakan waktu menyambut kami di kotamu.”balasku tenang. Wanita itu memperhatikan rombonganku sebelum menatap Gabriella lama, kerutan muncul di dahinya. “Aku hanya penasaran apa yang membuat orang sepertimu mengunjungi kotaku dengan rombongan seperti ini. Tapi sepertinya aku sudah bisa menebak alasannya.”ujarnya lagi dengan tatapan yang jelas mengatakan kalau rombongan yang kubawa bisa menghabisi penduduk satu negara. “Temanmu?”tanya Gabriella nyaris berbisik dari sebelahku. Aku menunduk menatap Gabriella dan wanita itu bergantian. “Teman dari kenalan temanku, luv.”ujarku dingin. “Senang bertemu denganmu, Gabriella.”ujar wanita itu ramah sambil mengulurkan tangannya pada Gabriella. Gabriella menerima uluran tangan itu sebelum tiba-tiba pingsan. Dengan cepat aku menopang tubuh mungil itu sebelum membopongnya dengan mudah. “Apa yang kau lakukan, angel?”tanyaku sambil menatap Jade tajam. “Aku tidak melakukan apapun, vampir. Dia hanya menyentuh tanganku, bahkan aku tidak mengeluarkan kekuatanku. Aku pikir dia terlalu lemah.”tukas wanita itu cepat. “Aku hanya ingin mengatakan kalau kau akan diterima di daerah ini selama tidak ada manusia yang menjadi korban.”sambungnya cepat sebelum berbalik. “Bagaimana kau tahu aku ada disini?”tanyaku spontan, benar-benar ingin tahu kapan tepatnya dia tahu aku ada di wilayahnya hingga dia bisa melakukan penyambutan dramatis ini. “Kau tidak melupakan siapa aku bukan?”tanyanya balik. “Perbedaan antara vampir biasa dengan dirimu adalah aku bahkan bisa merasakan perbedaan energi begitu kau memasuki wilayah, bahkan saat di udara. Aku harap kau datang tanpa membawa masalah, Nosferatu, karena kumpulan energi yang kalian timbulkan akan membuat semua makhluk menyadari sesuatu.” “Aku tidak ingin membuat masalah, angel. Aku hanya ingin menghabiskan beberapa hari di sini sebelum harus kembali pergi.”bisikku lalu berjalan melewatinya menuju limosin yang menunggu kami. Jade jelas telah melakukan sesuatu pada Gabriella. Tidak ada alasan bagi seorang malaikat untuk memperngaruhi manusia dengan kekuatannya tanpa sengaja. Berbeda dengan makhluk lainnya, kekuatan malaikat yang keluar tanpa sengaja tidak akan berpengaruh pada manusia karena mereka menggunakan kekuatan alam. Jadi bisa disimpulkan kalau sesaat tadi, dengan kekuatan yang dikeluarkannya dalam jumlah kecil telah membuat Gabriella pingsan dengan sengaja. *** Aku masih duduk diam di tempatku selama 2 jam terakhir saat ide itu muncul dalam kepalaku. Cerita Gabriella tentang masa lalunya saat kami makan siang sebelumnya membuatku memikirkan apakah memang benar apa yang dia dengar atau itu hanya cerita karangan si b******k itu untuk membuat kaumku terdengar lebih jelek. Archard? Ya, Master? Apakah kau ada disekitar sini? Ya. Kemarilah. Aku punya tugas untukmu. Tidak butuh waktu lama sampai Archard berjalan masuk ke dalam kamar dan baru berhenti begitu menghadapku. “Masuklah ke dalam pikirannya, Archard. Lihat apakah memang vampir yang membunuh kedua orang tuanya atau bukan.”ujarku pelan. Archard mengangguk cepat dan berjalan menghampiri ranjang tempat Gabriella masih terbaring pulas. Suatu saat tadi wanita itu sudah sadar, tapi langsung jatuh tertidur karena kelelahan. Salah satu hal yang pasti akan kau temukan dari klan-ku adalah mereka tidak pernah menanyakan apapun untuk setiap tindakan yang kulakukan atau kuperintahkan. Mereka mempercayaiku sepenuhnya. Dan aku menghargai kepercayaan yang mereka berikan. Belum sempat Archard menyentuh dahi Gabriella, wanita itu bergerak resah dan kemudian membuka matanya. Aku yakin sekali kalau dia nyaris melompati tempat tidur saat melihat sosok Archard yang menjulang di atasnya sedang berusaha untuk menyentuhnya, mengingat tubuh Archard memiliki tinggi hampir sama denganku. “Kau sudah bangun?”tanyaku pelan. Gabriella menarik selimut hingga ke bawah dagunya. Ketakutan yang sempat terlihat di wajahnya semakin lama mulai memudar digantikan rasa ingin tahu yang begitu besar saat dia bergerak turun dari ranjang dan menatapku serta Archard bergantian. “Bisa dijelaskan kenapa kalian berdua ada di tempat ini dan kenapa kau terlihat berusaha menyentuhku tadi?”tanyanya cepat dan pertanyaan terakhir jelas ditujukan pada Archard. Rambutnya yang tergerai membingAleandro wajahnya dengan sempurna. Dan wajah itu... Percayalah kalau kukatakan wajah Gabriella tidak memiliki kecantikan luar biasa seperti Elizabeth atau Amelia. Bahkan dia juga tidak memiliki pesona meunyebalkan seperti Lily. Tapi siapapun akan tenggelam dalam kedamaian saat melihat wajahnya seperti yang kulihat saat ini. Mata yang sebelumnya kuyakini berwarna hijau itu kini lebih banyak mengandung warna biru kehijauan. Dan bulu mata panjang dan lentik membingAleandro kedua bola mata bulat itu. Pipinya lebih berisi dan lebih merona dibandingkan wanita-wanita lain yang pernah kutemui, tapi tidak masuk dalam standar berlebihan. Hidungnya tidak terlalu mancung tapi cukup untuk membuat sempurna wajahnya. Dan bibirnya... Itu bibir paling indah yang pernah kulihat dan rasanya pasti akan menakjubkan kalau aku sampai mengecap bibir itu. “Master?” Suara Archard berhasil menembus kabut khayalanku dan membuatku jengah dengan semua yang kupikirkan tadi. Bagaimana mungkin aku bisa berpikir kalau wanita yang menjadi tunangan ‘orang itu’ menarik untukku? “Keluarlah, Archard. Aku yang akan menjelaskannya.”bisikku tanpa mengalihkan pandanganku dari Gabriella. Archard hanya mengangguk sebelum melesat keluar dari kamar dengan kecepatan yang masih bisa dilihat manusia. Aku mengulurkan tanganku ke arah Gabriella, dan wanita itu langsung meraihnya kemudian duduk di pangkuanku. “Kenapa kau terlihat begitu ketakutan tadi, luv?”tanyaku pelan. Gabriella terdiam sebelum menjawabku dalam bisikan pelan. “Vampir itu ada.”bisiknya lirih. Kali ini giliran aku yang terdiam. Bagaimana mungkin tidak sampai 24 jam kemudian Gabriella sudah mengubah pendapatnya? “Kenapa kau berubah pikiran, luv? Seingatku kemarin kau berkeras mengatakan kalau vampir itu tidak ada, hanya ada dalam legenda dan novel.” “Aku tidak tahu siapa wanita tadi, tapi saat aku bersalaman dengannya...”ujar Gabriella terputus. “Entahlah, Zac. Aku tidak bisa menjelaskannya dengan baik!” “Cobalah. Pelan-pelan saja.”bisikku sambil menggeser posisi duduknya di atas pangkuanku hingga semakin mendekat ke tubuhku dan memeluk pinggangnya. “Sejak kau bertanya tentang kehidupanku, aku selalu bertanya-tanya, apakah yang dia katakan itu benar? Apakah kedua orang tuaku benar-benar dibunuh oleh vampir? Dan pertanyaan itu ada dalam pikiranku saat kita tiba tadi. Begitu aku menyentuh tangan wanita itu... Tiba-tiba saja sebuah visi masuk ke dalam kepalaku. Kau mungkin tidak akan percaya kalau aku mengatakan aku bisa melihat kenangan saat orang tuaku terbunuh. Dan memang vampir yang membunuh mereka, Zac.”bisiknya. Aku kembali terdiam. Membiarkan tanganku berlama-lama di lekukan pinggangnya. Mungkin Jade benar-benar tidak melakukan apapun dan itu hanya efek dari kekuatan malaikatnya yang terlalu besar. Tapi mungkin juga Jade sudah tahu segalanya dan sengaja melakukan hal itu. Itu alasan kenapa aku tidak menyukai keberadaan malaikat selain sikap arogansi mereka yang lebih besar dari kami. Dan apa yang terjadi pada Gabriella ini jelas memudahkan segalanya. Aku tidak perlu menyuruh Archard untuk memasuki mimpinya lagi. “Aku benar.”bisik Gabriella kemudian. “Apa?” “Kau pasti tidak akan percaya dengan apa yang kukatakan tadi.” Aku membelai rusuknya dan terus meluncur hingga ke punggung dan leher belakangnya. “Aku percaya.”bisikku parau. Sialan hormon laki-laki dalam tubuhku! Dengan lembut aku menundukkan kepala Gabriella hingga bibirku menyentuh bibirnya. Aku benar. Bibir itu bibir paling lembut yang pernah kurasakan. Lidahku tergoda untuk menjelajahi struktur bibir itu. Erangan kecil meluncur dari bibir Gabriella saat lidahku menelusuri bibir bawahnya, memberikan gigitan lembut, tapi tiba-tiba dia menarik diri dan menatapku terkejut. “Apa yang kau lakukan?”tanyanya serak sambil menutup bibirnya dengan tangan. Aku menarik tangannya dan kemudian menciumi buku-buku jari ramping itu. “Kau terlalu indah untuk diabaikan lebih lama, luv.”bisikku sambil membalik tangannya hingga bibirku menemukan nadi yang berdenyut di pergelangan tangannya. Darah! Tiba-tiba rasa haus itu menyerangku. Dengan cepat aku bangkit dan menjauhkan Gabriella dari jangkauanku dan meninggalkannya seorang diri di kamar. Archard! Harvey! Jaye! Master?itu suara pikiran Harvey. Aku akan pergi berburu. Jaga wanita itu! Baik, Master. Dan hanya itu yang kuperlukan sebelum melesat keluar hotel dan bergabung dengan kerumunan pejalan kaki di luar hotel, mengabaikan kenyataan kalau matahari sebentar lagi terbit dan akan timbul kerusuhan kalau aku memuaskan dahagaku dengan satu orang. ~*~ Aku baru kembali ke kamar hotel saat jam sudah menunjukkan pukul 9 pagi. Gabriella masih tertidur di kamar sedangkan Harvey berjaga di kamar sebelahnya. Setiap kali kami menginap di hotel, kami selalu mengambil suite paling atas dan menyewa satu lantai. Aku tidak ingin ada kemungkinan manusia mengetahui keberadaan kami dan kemudian menyebarkan kabar yang bahkan lebih menyusahkan daripada cerita kuno tentang penghisap darah selama ini. “Master?”panggil Archard begitu aku akan naik ke ranjang dan beristirahat_yang sebenarnya tidak kuperlukan. “Ada apa?” “Wren menelpon. Video call.”ujarnya sambil melirik tablet tipis di tangannya. Archard tidak melakukan apapun, dia menunggu reaksiku selanjutnya. Wren. Dia pasti sudah tahu kalau aku ada di Dallas saat ini. Sialan para malaikat yang suka bergosip itu. “Sambungkan.”ujarku pelan. Archard mengangguk dan kemudian meletakkan tablet dalam posisi berdiri di atas meja kecil di kamar hingga aku bisa melihat wajah Wren dari layar itu. Aku tidak pernah bisa memegang langsung benda-benda elektronik seperti ponsel, tablet ataupun komputer. Semua benda-benda itu akan lebih dulu rusak sebelum aku sempat menyentuhnya karena listrik yang mengalir di tubuhku terlalu besar untuk bisa kutahan setiap saat. Karena itu Archard yang selalu menggantikanku untuk berkomunikasi melalui benda-benda rapuh itu. “Zac.”sapa Wren datar. Raut wajahnya di layar menunjukkan kalau dia bisa melihat ada seseorang di ranjangku. “Diakah sang ratu?”tanya Wren cepat, dan aku tahu kalau pemandangan Gabriella yang sedang tertidur masuk dalam kamera hingga Wren bisa melihatnya. “Ya. Ada apa kau menghubungiku lagi?” “Kau mengabaikan peringatanku bukan? Kita sepakat hanya menyelidiki dan melakukan pendekatan kalau itu diperlukan. Tapi yang kau lakukan? Kau membawanya bersamamu, menculiknya.”ujar Wren mulai menceramahiku. “Keadaan sudah mendesak. Aku tidak ingin berbaik hati lagi dengan mereka, Wren. Kau tahu apa yang kurasakan pada mereka. Dan aku tidak mungkin berjaga di sekitar kantor dan apartemennya hanya untuk menunggu ‘dia’ datang.” Wren mengangguk. “Kita tidak memberi mereka kesempatan, Zac. Hanya saja sejak kapan kita melibatkan orang yang tidak bersalah dalam masalah ini?” “Sejak dia menjadi tunangannya dan terbukti memiliki darah bangsa itu, Wren. Sejak takdir itu menghampirinya.” “Sejauh yang aku tahu, dia bahkan tidak tahu siapa dirinya, Zac.” “Itu tidak lantas membuatnya menjadi tidak bersalah, Wren.” “Kau...” “Apa?”tukasku cepat. “Benarkah kau melakukan ini hanya untuk membalasnya, Zac?” “Bukan untuk membalas siapapun, Wren. Ini untuk kedamaian ras kita, ras mereka, dan ras lain yang mencoba untuk melanggar perjanjian. Mereka harus diingatkan kembali tentang perjanjian kuno. Kalau kita masih mematuhi perjanjian itu, tidak ada alasan bagi mereka untuk melanggarnya. Dan itu adalah tugasku.” “Kau selalu bisa mengatakannya layaknya seorang Anasso, Zac. Tapi melihat apa yang kau lakukan aku meragukan kemurnian niatmu.” Tanpa sadar kekuatanku mengalir keluar lebih besar dari biasanya, lampu-lampu di kamar langsung berkedip karena aliran listrik milikku. “Kau meragukan rajamu, Wren?”tanyaku pelan, tahu bahkan dengan jarak seluas samudera ini, Wren pasti bisa merasakan kekesalanku. “Maaf kalau aku meragukanmu. Kau tidak pernah bertindak di luar batas kecuali kalau ada hubungannya dengan mereka. Aku akan selalu mendukungmu, Milord. Tapi aku mohon ingatlah, Aloysia sudah lama mati dan tidak ada yang bisa membawanya kembali ke sisimu bahkan kalau kau menghancurkan kembali seluruh ras mereka sekali lagi.” “Aku tahu. Senang mendengar kalau orang yang kusayang masih menaruh sedikit kepercayaan padaku.” “Jangan seperti itu, Zac.”tegur Wren yang selalu kesal kalau aku mengatakan aku menyayanginya. Dan dia berhak kesal karena aku memang mengatakan itu untuk menggodanya sekaligus melatihnya. Setiap pemimpin klan lain tahu kalau mereka menginginkan dukungan penuh dariku_seperti yang aku berikan pada Wren_maka mereka harus mengalahkan pemimpin klan Libra itu. Semakin sering aku mengatakan kalau aku menyayanginya, semakin banyak pemimpin klan lain yang menantang Wren berduel dan itu akan melatihnya menjadi vampir tangguh. Dan kalau sesuatu terjadi padaku, Wren bisa mengambil alih posisi ini, karena sesungguhnya, Wren-lah yang seharusnya menjadi sang Anasso saat ini. “Apa kabar Aleandro dan Amelia? Apakah Aleandro masih memastikan kesamaan detail tandanya?” Wren sadar kalau aku berusaha mengalihkan pembicaraan. Dia tersenyum dan mengangguk cepat. “Kau bisa menanyakannya sendiri pada Aleandro. Dia ada di Acasa Manor saat ini bersama Amelia. Percayalah, Zac. Aku tidak merasa kalau sudah dua tahun berlalu setelah kejadian itu karena kapanpun dia sempat, dia selalu memperhatikan tanda di tangan Amelia dan menatapnya hingga berjam-jam.” Aku terkekeh pelan. “Biarkan saja dia menikmati kebiasaan barunya itu. Setidaknya ada yang bisa dilakukannya selain mengusikku dan mencari-cari alasan untuk berburu vampir. Dan bagaimana dengan kebiasaan unik Amelia, Wren? Aku harap Aleandro bisa mengatasinya.” “Sejauh ini aku hanya bisa mengatakan kalau Amelia akan jadi vampir yang tak terkalahkan dan tak terduga. Dia kuat, jauh lebih kuat daripada vampir-vampir seusianya. Apalagi dengan kebiasaannya yang aneh itu, Amelia terbukti menjadi semakin kuat. Dia menyerap kekuatan vampir dan bisa menggunakannya melalui darah yang dia minum. Dengan meminum darah Aleandro, Amelia bisa mengeluarkan energi yang cukup besar seperti yang Aleandro lakukan. Beberapa minggu yang lalu kami sempat mengadakan percobaan untuk melihat sejauh mana Amelia bisa menyerap kekuatan, Zac. Dan aku memberikan darahku. Amelia benar-benar menakjubkan. Dia bisa mengeluarkan api_seperti yang aku dan kau lakukan_sesaat setelah dia meminum darahku. Dan yang paling penting dia bisa menggunakan Spathi Ourano. Kami juga memberikannya darah Alby dan ternyata dia juga mendapakan kekuatan Alby, dia bisa memburu mimpi, Zac.”jelas Wren cepat. “Berapa lama dia bisa menggunakan kekuatan itu? Aku tidak yakin hanya dengan meminum darah vampir lantas membuat Amelia bisa memiliki kekuatan yang sama untuk selamanya. Tidak ada yang pernah bisa memiliki kekuatan vampir lain tanpa berbagi darah dan sumpah darah seperti kita, Wren.”gumamku pelan. “Kau benar. Amelia hanya bisa mempertahankan kekuatan itu paling lama 1 minggu setiap kali mendapatkan darah vampir. Mengingat selama ini dia mendapatkan darah Aleandro, maka aku tidak ragu kalau kekuatan Amelia Nefenip dengan Aleandro.”jelasnya. “Amelia dan Aleandro sudah bisa dikatakan berbagi darah dalam sumpah darah, Wren. Saat mereka menikah, mereka sudah melakukan sumpah darah itu, dan selama ini Amelia sudah mendapatkan darah Aleandro.” Wren mengangguk setuju. Untuk beberapa alasan, aku dan Wren sependapat, seperti kali ini. “Zac?”panggil Wren kemudian. “Ada apa lagi?” “Datanglah ke London. Kalau kau memang ingin membawanya menghindari rasnya, dan membuat jejak-jejak palsu, menunggu sampai saat itu tiba, maka datanglah ke London. Aku akan membantumu. Kami_aku dan klanku.”ujar Wren tiba-tiba. “Kau yakin? Semenit yang lalu kau benar-benar menentang apa yang kulakukan sampai meragukan kemurnian niatku. Dan sekarang?” “Apapun yang kau lakukan, bahkan kalau itu akan menimbulkan perang, aku akan selalu di pihakmu.”ujar Wren cepat, dan itulah alasan lain kenapa aku selalu berkata aku menyayanginya. Bahkan di saat terburukku sekalipun, saat aku hanya berdiam diri saat bahaya mengancam keutuhan ras kami, Wren akan tetap di pihakku dan berusaha meyakinkanku untuk berjuang menantang bahaya itu demi ras kami. Aku mengangguk paham. “Aku akan datang, tapi bukan hari ini atau besok.” “Aku akan menunggumu. Acasa Manor sudah terbiasa menghadapi krisis dan keramaian. Jadi dua tahun belakangan ini hidup kami terasa sepi.”ujarnya sambil menyeringai lebar sebelum layar tablet kembali menghitam begitu Wren memutuskan koneksi. Archard langsung mengambil tablet dan keluar dari kamar, meninggalkanku hanya berdua dengan Gabriella yang masih tertidur pulas di sebelahku. Pembicaraan dengan Wren tadi membawa ingatanku ke malam pertarungan antara Aleandro dan Conrad, salah satu vampir kuno penguasa sihir dua tahun yang lalu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN