BAB 10

1838 Kata
“Aman?” tanya Bang Opung kepada yang lainnya. Kelima orang itu pun menjawab dengan serentak, “AMAN!!” Beberapa kali Bang Opung menanyakan hal yang serupa dan dijawab dengan kata yang sama oleh kelima orang yang berada di belakang pemimpin tersebut. Mereka masih menyisir jalan dan mulai mempercepat langkah karena matahari mulai terbenam. Tentu saja mereka juga merasa takut jika waktu malam hari mereka belum sampai di pos kedua. Herannya sudah berjalan sampai jauh dan menghabiskan waktu yang tidak sebentar, seolah-olah mereka hanya berputar di tempat itu saja. Bahkan gorengan yang berisi tiga puluh biji itu sudah ludes dari tadi tetapi mereka belum juga menemukan rombongan lain atau sampai di pos kedua. Jelas saja hal ini membuat Bang Opung semakin yakin kalau ada hal aneh yang sedang terjadi kepada mereka berenam. “Perasaan gua atau emang beneran kita cuma muter-muter doang dari tadi?” Bang Opung mulai bertanya dengan segala keraguan yang ada di dalam hati karena sejak tadi memang merasa ada sesuatu yang aneh tetapi belum berani mengungkapkan. “Bang, berhenti dulu aja. Kita juga capek dari tadi jalan belum nemu pendaki lain,” sahut Kodel yang sejak tadi lengannya ditarik-tarik oleh Ririn yang mulai merengek dan mengeluh kalau capek. “Bener! Gua juga ngerasa ada yang aneh, nih! Dari tadi gua di belakang juga belum lihat ada pendaki yang nyusul terus belum sampai di pos kedua padahal tadi orang di bawah bilang kalau kita jalan duluan bisa sampai pos kedua sebelum maghrib,” imbuh Dalwi yang segera mematikan ponselnya terlebih dahulu dari rekaman video saat mereka berhenti untuk istirahat. Memang rasanya begitu aneh karena mereka belum bertemu dengan pendaki grup lainnya entah yang berada di depan atau yang menyusul dari belakang. Lalu hal yang menjadi heran lagi jarak antara pos satu ke pos dua sebenarnya tidak begitu jauh tetapi mereka seperti berputar-putar saja. “Gua rasa ada sesuatu yang terjadi, nih. Gua ngerasa kalau sejak tadi kita cuma muter-muter doang. Nggak bisa lepas dari daerah ini. Lu lu pada ada yang melanggar pantangan, nggak?!” Bang Opung jadi merasa curiga dengan anggotanya. Kondisi seperti ini biasanya terjadi karena ada yang melanggar pantangan. “Eh, bener, gua udah kasih tanda ke pohon beberapa kali. Tadinya gua ngerasa nggak yakin mau bilang ini tetapi emang bener kita udah muter sini selama tujuh kali. Gua jadi merinding, nih bilang begitu?” imbuh Rahmat yang sejak tadi sebenarnya juga merasakan hal yang aneh tetapi tidak berani berbicara kepada teman yang lainnya karena takut membuat mereka menjadi panik. Dalam perjalanan seperti ini apalagi berada di tengah gunung panik bukanlah merupakan hal yang menguntungkan. Bukannya selamat mereka bisa saja masuk dalam bahaya jika tidak berpikir jernih dalam melakukan tindakan. “Nah, kan, apa gua kata. Sekarang, jujur lu pada ada yang melanggar sesuatu, nggak? Gua yakin banget kalau salah satu dari antara kita berenam pasti ada yang melanggar peraturan dan bikin kita semua jadi muter-muter di sini terus nggak bisa pergi ke mana-mana sebelum menyelesaikan masalah itu.” Bang Opung jadi kesal karena belum pernah merasakan hal ini sebelumnya sampai berputar-putar di satu tempat dengan kondisi berjalan cukup jauh berjalan tetapi tetap di tempat yang sama. Mereka berenam akhirnya menghentikan perjalanan dan duduk sambil memikirkan apa yang sebenarnya terjadi. Bang Opung tidak mau sebenarnya mengalami hal seperti itu tetapi harus diluruskan bahwa salah satu dari mereka berenam pasti ada yang melakukan kesalahan. “Sekarang pada jujur aja ama gua, ada yang ngomong kasar, nggak?” “Nggak.” “Gua nggak.” “Apalagi gua, nggak.” Satu per satu mengatakan kalau tidak berkata hal yang kasar. Namun, Bang Opung masih curiga dengan kelima orang itu pasti ada salah satu dari mereka yang melanggar sesuatu. “Berarti kalau nggak ada yang ngomong kasar berarti ada dari antara kalian yang nyuri sesuatu. Hayo ngaku?!” Bang Opung terlihat mendiskriminasi mereka berlima karena memang pria itu yang menjadi pemimpin dan berjalan di depan serta tidak mungkin melanggar peraturan yang sudah diketahui. Mereka berlima pun saling menatap satu dengan yang lainnya sambil berpikir sebenarnya siapa yang melanggar peraturan dan membuat kelompok itu jadi berputar-putar saja di tempat yang sama. Ririn pun jadi teringat pada cabai yang tadi dia petik dari sebelah kanan jalan untuk makan gorengan bersama teman-temannya. Apakah memetik cabai dari tanaman liar termasuk dikategorikan sebagai mencuri di gunung? Ririn sebenarnya tidak yakin ingin bertanya atau mengungkapkan hal ini karena takut teman-temannya akan marah dan menyalahkan wanita itu. Selain takut disalahkan atau dimarahi, Ririn juga tidak mau kalau Putri mencemooh dan menganggap Ririn bodoh sudah melanggar peraturan. Ririn tahu kalau para pria lebih menyukai Putri daripada dirinya. Ririn awalnya terdiam dan berpikir apakah harus mengatakan hal itu atau tidak. Namun mengingat hari semakin gelap dan mereka harus segera sampai di pos selanjutnya untuk mendirikan tenda, maka Ririn memberanikan diri untuk mengungkapkan hal itu. “Ehmm ... Kalau gua tadi metik cabe di pohon sebelah kanan waktu jalan, itu ... Emm ... Termasuk nyuri, nggak, sih?” ucap Ririn dengan lirih karena takut dimarahi oleh yang lain. “Lah, ngapain lu metik cabe?” tanya Bang Opung dengan heran karena pria itu yang sama sekali tidak mau makan cabai saat menyantap gorengan tadi sambil berjalan. “Tadi, kan, kita makan gorengan terus nggak ada cabenya jadi gua waktu lewat lihat ada tanaman cabe udah berbuah juga. Gua nggak pikir panjang langsung ambil aja beberapa terus kasih ke Kodel, Rahmat, Putri, dan Dalwi. Bang Opung di depan jadi nggak dapet cabenya. Gua nggak tahu kalau nggak boleh metik cabe di sini,” ungkap Ririn yang jadi ketakutan mengatakan hal itu. Kodel langsung mengusap-usap punggung pacarnya karena tahu Ririn merasa bersalah dan takut dengan yang lain. Terlihat kalau Ririn sudah berkaca-kaca matanya dan hampir menangis. Bang Opung terkejut mendengar hal itu. Hampir saja pria itu marah tetapi tetap menahan diri agar tidak memperkeruh suasana. “Lah, itu lu namanya nyuri. Udah gua kasih tahu jangan ambil apapun di gunung ini. Gua nggak mau kejadian seperti ini. Baru kali ini gua diputar-puterin sebanyak tujuh kali di tempat yang sama. Lu, kan, nggak tahu sebenarnya pohon cabe itu apa’an.” Bang Opung jelas saja langsung marah kepada Ririn atas tindakan yang dianggap membahayakan yang lain. “Lah, cuma cabe doang. Slow aja nape, Bang?” Kodel tahu kalau Ririn merasa bersalah dan ketakutan apalagi Bang Opung mengatakan hal itu dengan nada yang tinggi. Kodel jelas saja tidak terima dan mencoba menenangkan suasana. Bukannya menjadi tenang, Bang Opung justru semakin marah. “Lah, lu kira cuma cabe? Lu nggak tahu kalau Ririn ngelakuin hal itu bisa aja bikin nyawa kita melayang! Gua udah bilang jangan ambil apapun dari gunung ini. Itu peraturan bukan mitos tetapi harus ditaati biar kita semua naik dengan selamat dan bisa balik lagi juga dengan aman. Pantesan aja gua dari tadi ngerasa ada yang aneh ternyata emang bener, ya, ada yang melanggar pantangan!” Bang Opung sama sekali tidak bisa slow dalam berbicara karena baru kali ini dia merasakan jalan begitu jauh tetapi ternyata cuma berkeliling di tempat yang sama. Biasanya pria itu mendengar cerita seperti itu dari teman-teman lain yang sering naik gunung dan ada sesuatu terjadi. “Lah, gimana Ririn mau tahu kalau metik cabe itu juga nggak boleh. Jangan gitu, lah, Bang sama cewek pula.” Kodel mulai terpancing emosi karena mendengar sendiri wanita yang menjadi pacarnya saat ini dimaki oleh orang lain. “Maaf, Bang. Gua nggak tahu sama sekali Kalau ternyata metik cabe juga dianggap nyuri. Maafin gua, Bang,” ucap Ririn yang hampir saja menangis karena merasa bersalah dengan apa yang terjadi saat ini. “Udah, nggak usah minta maaf. Lu nggak salah, Sayang. Mana lu tahu cabe aja nggak boleh diambil padahal dimakan di sini!” Kodel makin emosi karena Ririn justru meminta maaf kepada Bang Opung yang masih marah-marah saja. “Lah, lu kira gua ngomong seperti itu cuma mengada-ada?! Coba lu jelasin, kenapa kita dari tadi cuma muter-muter di sini doang dan nggak bisa pergi dari area ini kalau bukan karena pacar lu itu yang udah nyuri cabe!!” Bang Opung dan Kodel makin emosi serta langsung cek cok. Adu mulut pun tidak bisa terelakkan dari dua pria yang sama-sama sudah tersulit emosi. Ririn yang ketakutan mau tidak mau jadi ditenangkan oleh Putri karena seperti biasa wanita itu mencari muka di depan pria-pria yang lain dan agar terlihat baik hati. Meski sebenarnya di dalam hati Putri merasa kesal dan juga ingin sekali memojokkan apa yang dilakukan oleh Ririn. “Lah, ngegas lu! Lu kira mentang-mentang jadi pemimpin rombongan bisa aja seenak mulut lu ngatain pacar orang?! Awas aja ya kalau udah selesai acara naik gunung ini! Gua bener-bener nggak terima sama orang yang songong kayak lu!” Kodel justru membakar amarah Bang Opung. “Maksud lu apa? Mau ngajak duel? Ayok! Gua ladeni! Nggak perlu nunggu nanti turun dari gunung sekarang aja juga ayo!” “Udah, udah. Jangan gini dong, Bang.” Dalwi langsung memegang Bang Opung. “Jangan gitu, bro. Tenang, slow.” Rahmat segera memegang Kodel yang hampir saja maju sambil mengepalkan tangan. “Gini, kita cari jalan keluarnya bareng-bareng jangan malah bertengkar gini. Ini juga hampir malam. Kasihan, tuh, dua cewek jadi ketakutan begitu,” imbuh Dalwi sambil melihat ke arah Ririn dan Putri yang hanya terdiam sambil duduk meringkuk. “Udah, gini aja. Gua ada ide. Kita jalan lagi sambil entar kalau Ririn nemuin tanaman cabe yang tadi dipetik, mending minta maaf aja di sana. Gua yakin kalau niatnya emang nggak tahu cabe itu nggak boleh dipetik, terus kita juga udah minta maaf bareng-bareng di sana karena kita juga ikut makan cabe itu, pasti ntar ada jalan keluar. Kalau lu lu pada marah begini sampai mau berantem, jelas aja nggak bakal ada jalan keluar. Gimana mau coba ide gua dulu?” Rahmat menjelaskan apa yang dipikirkan saat ini dan bisa diterima oleh teman-teman yang lain. “Ide bagus. Ya udah, ayo!” Bang Opung melepaskan pegangan tangan dari Dalwi. “Gitu doang? Maaf maafan dulu, lah, Bang. Kita semua nggak boleh terpecah cuma masalah seperti ini. Baru juga jalan sebentar,” ucap Dalwi sambil tersenyum mencoba mencairkan suasana. “Maafin gua, ya. Yok, jalan lagi,” ujar Bang Opung ke Ririn. Dia tidak merasa bersalah kepada Kodel karena awal mula masalahnya pembicaraan Bang Opung dengan Ririn. “Iya, Bang.” Ririn dan Putri pun berdiri dan merasa lega. Kodel awalnya tidak mau meminta maaf tetapi melihat Bang Opung sudah meminta maaf terlebih dahulu kepada Ririn membuat pria itu mau tidak mau juga harus meminta maaf. “Bang, maafin gua, ya.” “Iya, ayo jalan lagi. Bener yang dibilang Rahmat. Kita coba dulu aja.” Bang Opung meminta mereka semua untuk melanjutkan perjalanan sesuai dengan apa yang diusulkan oleh Rahmat. Lebih baik melanjutkan perjalanan sambil mencari di mana tanaman cabai yang tadi Ririn petik untuk meminta maaf bersama-sama. Siapa tahu setelah ketemu lagi dengan tanaman cabai itu dan meminta maaf dengan setulus hati, maka akan ada jalan keluar dari permasalahan ini. Posisi berjalan mereka pun masih sama. Barisan dipimpin oleh Bang Opung di depan dan Dalwi yang berada di paling belakang.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN